Yang Liyan: Menjadikan Islam Agama Populis

Yang Liyan: Menjadikan Islam Agama Populis

Islam bisa menjadi agama yang populis. Begini analisisnya

Yang Liyan: Menjadikan Islam Agama Populis

Vedi R. Hadiz pernah memberikan ceramah soal “Populisme Islam” yang sekarang sedang mewabah di Indonesia. Melihat Indonesia dalam bingkai populisme adalah hal yang menarik, sebab pasca kejadian reuni gerakan yang demo berjilid-jilid kemarin ini dipandang oleh Vedi Hadiz sebagai bagian populisme Islam.

Apa itu “Populisme Islam”? dan apa hubungannya dengan pandangan Islam terhadap “yang lain”? inilah yang akan coba saya jawab dalam tulisan yang singkat ini. Dalam rangka menyambut tahun baru Imlek, saya persembahkan tulisan ini sebagai ucapan tahun baru untuk teman-teman Tionghoa.

Istilah populisme sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam perbincangan dalam ilmu politik, sebab populisme dipandang sebagai metode yang cukup efektif untuk meraup suara dari beberapa kalangan antar kelas sosial yang biasanya disatukan dalam satu identitas primordial seperti agama, suku atau warna kulit.

Ernesto Laclau, pemikir asal Argentina, pernah menyebutkan untuk mendefenisikan populisme adalah hal yang sulit. Populisme menurut Laclau, sebuah analisis politik yang menghadapkan kita pada masalah kebahasaan. Di satu sisi adalah keadaan masyarakat dalam sebuah negara tapi juga bagian dari gerakan politik.

Laclau pun menuliskan “Populisme adalah gerakan multi-kelas, yang tidak memilih antara kanan atau kiri. Populisme memang mendambakan persamaan dalam pandangan politik, tapi di sisi lain malah menginginkan otoritarianisme di bawah kepemimpinan yang kharismatik. Gerakan ini biasanya diinisiasi dari dari satu golongan yang menganggap diri mereka mewakili sebuah masyarakat yang kemudian dihadap-hadapkan dengan golongan yang lain atau negara”.

Dalam setiap gerakan populisme sangat memungkinkan perbedaan di setiap gerakan populis, misalnya gerakan populis di Amerika yang digawangi oleh kelompok Donald Trump sangatlah berbeda dengan gerakan populisme Islam di Indonesia, tapi mengusung gerakan yang sama yaitu populisme. Namun Laclau merumuskan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi apabila gerakan tersebut bisa dikatakan sebagai gerakan populisme, diantaranya eksisnya sebuah golongan yang dirugikan dalam menghadapi modernisme dan neoliberalisme atau kekuatan modal, adanya kelompok tradisional yang punya modal sosial pergerakan, kelompok populis biasanya mengangkat isu-isu umum di masyarakat, gerakan ini diwakili oleh sebagian orang yang mengklaim sebagai masyarakat keseluruhan dan gerakan ini sangat memanfaatkan masyarakat kelas bawah atau buruh yang biasanya di kota-kota besar.

Vedi Hadiz menyebutkan perbedaan paling mendasar dalam gerakan populisme kiri dengan populisme kanan adalah fokus serangannya. Populisme kiri lebih cederung menyerang ke atas dalam hal ini pemerintah atau negara yang berkuasa, sedangkan populisme kanan menyerang ke pemerintah atau negara juga ke bawah yaitu kelompok-kelompok minoritas yang dianggap oleh gerakan ini sebagai the others atau yang liyan sebagai musuh mereka.

Yang liyan atau the others dianggap berbahaya sebab dianggap menganggu ketika mengangkat isu-isu masyarakat umum yang cenderung memenangkan mayoritas. Titik persuaan antara mayoritas dengan populisme yaitu golongan yang dikecewakan atau terpinggirkan pada proses pembangunan yang bercirikan neoliberal. Kelompok minoritas yang dianggap mengambil keuntungan terbesar dari pembangunan ini adalah kelompok tionghoa. Oleh sebab inilah, isu-isu berafiliasi dengan kelompok PKI, anti Islam, serbuan pendatang yang akan memadati Indonesia selalu diidentikkan kepada kelompok Tionghoa.

Isu-isu penyerangan tempat ibadah dan pemuka agama beberapa waktu ini semakin gencar dihembuskan untuk menciptakan suasana ketidakamanan dan ketidaknyamanan. Ketika suasana ketidakamanan tercipta, di sinilah otoritarianisme yang dalam populisme dipimpin oleh seorang pemimpin kharismatik mulai dimunculkan sebagai solusi terbaik.

Nilai-nilai civil society seperti membangun perdamaian antar umat beragama, pemerataan distribusi kekayaan, toleransi antar suku, ras dan mereka yang berbeda tidak terlalu dilirik sebagai solusi untuk membangun peradaban kemanusiaan yang lebih baik. Isu-isu ini tidak dilirik oleh kelompok pengusung populisme disebabkan dengan mengusung isu tersebut bukanlah jalan yang tercepat untuk mencapai cita-cita mereka yaitu berkuasa.

Islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas penduduk rakyat Indonesia adalah komoditas paling berharga dalam membangun gerakan populisme, jika kita sebagai muslim tidak berhati-hati dalam menyuarakan pendapat kita malah akan menjebak kita pada tindakan rasis atau membenci mereka yang berbeda (the others).

Padahal Islam adalah agama yang ramah pada yang liyan atau the others. Sebab Islam memandang manusia pada perbuatannya apakah bermanfaat atau malah merugikan bagi kemanusiaan, bukan pada suku, agama apalagi ras. Nilai humanisme dalam Islam sangatlah dijunjung bahkan menjadi cita-cita utama Islam.

Di tengah kegembiraan tahun baru Imlek, seharusnya kita bisa belajar dari apa yang telah dicontohkan oleh seorang bapak Bangsa yaitu Gus Dur saat mencabut inpres no. 14/1967 yang melarang masyarakat Peranakan Tionghoa di Indonesia untuk menjalankan budaya, adat istiadat hingga acara agama mereka. Gus Dur seakan memberikan warisan bahwa negara seharusnya memberikan keamanan dan kebebasan dalam menjalankan ibadahnya yang sudah dijamin Undang-undang. Jadi perayaan tahun baru Imlek seharusnya menjadi role model bahwa kita adalah bangsa yang bermartabat dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.