Yang Lebih Berbahaya dari Pertemuan Anies Baswedan-Surya Paloh atau Prabowo-Megawati

Yang Lebih Berbahaya dari Pertemuan Anies Baswedan-Surya Paloh atau Prabowo-Megawati

Ternyata, ada yang lebih berbahaya dari pertemuan para politisi ini

Yang Lebih Berbahaya dari Pertemuan Anies Baswedan-Surya Paloh atau Prabowo-Megawati
Pertemuan antara Anies Baswedan dan Surya Paloh memberikan banyak tafsir untuk kita (ANTARA FOTO/FAUZI LAMBOKA)

Pertemuan Anies Baswedan dan Surya Paloh atau Prabowo Subianto dan Megawati Soekarno Putri adalah hal wajar dalam demokrasi. Memang sebaiknya begitulah mereka bekerja. Apapun motivasi dan tujuannya, kita sebagai warga justru diberi kesempatan untuk menduga-duga dan lalu menimbang-nimbang: mau memilih mereka atau tidak.

Bagi saya, ancaman terhadap demokrasi yang sungguh di depan mata adalah netralitas. Istilah ini mempunyai akar intelektual yang panjang dan dalam. Kalau belajar sejarah pemikiran, kalian akan paham bahwa konsep netralitas lahir dan berkembang seiring dengan filsafat Pencerahan.

Netralitas mengandaikan kita, manusia, lahir tanpa sejarah. Kita diandaikan merupakan pribadi individual yang utuh. Seolah-olah rasionalitas sudah dengan sendirinya melekat pada diri kita sejak lahir. Tidak ada masyarakat, tidak ada identitas.

Konsep netralitas lalu masuk dalam politik. Berbagai teori politik yang lahir dari rahim filsafat Pencerahan, khususnya yang bermuara pada pemikiran Kant, mengusulkan netralitas sebagai pokok yang mendasari keterlibatan seseorang dalam negara. Orang-orang individual mewakili dirinya sendiri, bukan siapapun, apalagi Tuhan sebagaimana diyakini oleh iman Abad Pertengahan.

Namun sesungguhnya netralitas menyimpan resiko. Para filsuf Romantik abad ke-18, seperti Hegel, telah mengingatkan bahayanya. Netralitas menyembunyikan kenyataan bahwa pada hakekatnya manusia adalah bagian dari sejarah dan masyarakat tertentu. Padahal, Marx kemudian merumuskan, manusia selalu merupakan bagian dari kepentingan kelas tertentu.

Dalam kenyataanya, netralitas memang efektif digunakan sebagai alat kontrol terhadap demokrasi. Di era Seoharto, netralitas adalah senjata yang mematikan. Ia bisa menghentikan langkah PNS yang mencoba berlaku kritis pada kekuasan. Netralitas membuat partisipasi menjadi haram.

Penguasa boleh berganti, tetapi ternyata konsep netralitas terus eksis hingga sekarang. Para aktivis politik memakainya sebagai tameng untuk berkolaborasi dengan siapapun tanpa perlu repot mengurusi stempel moral. Para birokrat juga bisa leluasa mengamankan posisi dirinya sendiri tanpa perlu keluar keringat mengurusi tugas mulianya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.

Sayang diskusi mengenai netralitas tidak berkembang. Ia diterima begitu saja sebagai konsep suci. Apalagi di kantor-kantor pemerintahan, mana ada pegawai yang mempertanyakan hal ini. Saya sendiri sudah mengalami konsekuensinya. Demokrasi secara umum akan terus menanggung resikonya.