Setelah 30 hari menahan diri dari segala dorongan kemanusiawian di bulan Ramadan, Hari raya Idul Fitri tentu menjadi hari yang membahagiakan bagi semua orang. Selain diberkahi dengan kondisi suci sebagaimana bayi yang baru lahir, kelengkapan anggota keluarga adalah keberkahan yang juga patut disyukuri karena tidak semua orang masih disediakan berkah yang kedua ini.
Namun yang lebih utama dari rasa syukur atas kondisi suci dan atas kelengkapan anggota keluarga adalah menjaga ambang batas kemanusiawian kita agar tetap rendah—tidak hanya hingga lebaran tahun depan, tapi—hingga akhir hayat kita nanti. Jika kita bisa menjaga ambang batas kemanusiawian kita tetap rendah, artinya kita benar-benar belajar dan memperbaiki diri.
Sebaliknya, jika ambang batas kemanusiawian kita tidak ada perubahan, maka boleh dicurigai bahwa selama ini Idul Fitri yang terulang setiap tahunnya terjatuh pada lubang selebrasi tanpa makna, dan kita tidak pernah benar-benar belajar menata diri sama sekali.
Kondisi ini dapat menyebabkan kita selalu mengulangi kesalahan yang sama setiap tahunnya, atau bahkan mempersempit piranti pemaafan kita terhadap orang lain. Pada kesempatan yang kurang beruntung, pengulangan kesalahan yang sama kerap terjadi secara tidak sadar, baik itu oleh anggota keluarga yang muda ataupun yang lebih dewasa. Sehingga, lebaran sesekali memperlihatkan fenomena “usia tidak berbanding lurus dengan kedewasaan.”
Alih-alih menjadi momen yang menenangkan, melegakan dan nyaman, lebaran kerap menjadi momen yang bising. Entah karena semua anggota keluarga membolehkan intervensi gawai saat kumpul keluarga, atau entah karena tagihan status apapun (kedewasaan, hubungan, nasib, dll.) yang diartikulasikan lewat pertanyaan sindiran terhadap hal-hal privat.
Implikasinya, akan selalu ada anggota keluarga yang terluka, dan akan selalu ada bara dalam sekam saat lebaran. Dalam skenario yang seperti itu, lebaran masih dicampuri oleh sifat-sifat kemanusiawian. Sementara itu kita tau bahwa sifat kemanusiawian saat ini bersemayam di tiga drama kehidupan: story whatsapp, harta warisan dan status sosial.
Kadang, drama-drama ini diterima begitu saja dan dianggap normal karena halusinasi ‘imbalan’ (harga diri, kekayaan, prestis, dll.) yang ditawarkannya, sehingga pengotor lebaran seperti ketamakan, mistifikasi diri dan prejudis sepihak luput kita singkirkan. Dampaknya, ketidak-hati-hatian sikap dalam menghormati lebaran mengalir tanpa disadari.
Akhirnya, dalam beberapa situasi, kita mudah terjebak pada batas abu-abu antara syukur dan ingar-bingar, antara berkumpul dan being-alone together, antara menghormati lebaran dan mempertegas ketimpangan sosial. Potretnya dapat ditemukan di banyak tempat: di ruang tamu, antara anak dan orang tua dengan grup daringnya masing-masing; antara kacamobil dan gelas air mineral penadah koin di jalanan; dan lain-lain.
Setiap orang punya lebaran yang berbeda-beda, dan tidak semuanya beruntung. Namun ini bukan berarti kecuekan terhadap perbedaan itu diperbolehkan karena tenggelamnya kita pada kebahagiaan selebrasi keluarga inti.
Tugas kita adalah membebaskan lebaran dari polusi sifat kemanusiawian. Sehingga, lebaran adalah benar-benar sebuah proses menyemai sifat kemanusiaan, bukan sifat kemanusiawian (apalagi selebrasi ingar-bingar). Sayangnya, jarang diantara kita yang benar-benar memanen apa yang disemai saat lebaran. Dalam jangka waktu 14 sampai 30 hari setelah lebaran, sifat kemanusiaan memang tumbuh, namun sangat sedikit yang dapat bertahan hingga panen.
Saya melihat, hal ini disebabkan karena keterbatasan kita dalam memperkaya empati saat Ramadan (hingga saat lebaran tiba). Saya percaya bahwa selain fungsi maaf-maafan, lebaran juga berkaitan erat dengan relasi kesejahteraan antar kelas sosial. Sehingga, ditengah kepapaan empati, wajah lebaran yang emansipatoris masih tertutup kabut.
Akan tetapi, ada faktor lain, yakni piranti pemaafan. Alasan di bawah naungan kata ‘manusiawi’ kerap menawarkan kenyamanan bagi kita untuk membenarkan kemarahan terhadap tindakan orang lain, ataupun terhadap kekecewaan tak terduga. Dan titik bosan penggunaan kata ini masih belum ditemukan, mulai dari kemarahan di kejadian “baju baru tante yang ketumpahan kuah opor,” hingga kemarahan dalam peristiwa “serempetan antar kendaraan di jalanan penuh lalu-lalang orang silaturahmi.”
Sempit luasnya piranti pemaafan ditentukan oleh dua hal: persepsi indrawi (beserta sistem kognisi moral, norma, kuasa wacana dll. yang ada di belakangnya), dan keterputusan materil. Problem persepsi indrawi adalah, sering kali apa yang tidak terlihat tidak diperhitungkan dalam proses pertimbangan kita. Umpamanya, betapa serempetan antar kendaraan sering menimbulkan ke-alot-an minta maaf antar pengemudi, karena masing-masing pengemudi luput mempertimbangkan hal yang tidak terlihat dari sudut pandangnya, dan enggan mentransendenkan diri pada variasi-variasi sudut pandang. Sehingga, wawasan untuk memaafkan orang lain cenderung sempit.
Adapun keterputusan materil, Ibn Athoillah Al-Iskandary mengilustrasikan “tiada suatu nafas yang berhembus darimu, kecuali di situ takdir Tuhan berlaku padamu. Selama engkau berada di dunia ini, janganlah terkejut dengan adanya penderitaan. Sesungguhnya penderitaan muncul hanyalah karena memang menjadi sifat pantasnya atau karakter aslinya.”
Artinya, dengan tidak mengikatkan diri pada ekspektasi kebendaan (termasuk tubuh) dan selalu melatih diri untuk menerima apa adanya (qona’ah), keluasan piranti pemaafan akan tercapai. Jangankan baju baru lebaran yang terkena tumpahan kopi, tubuhpun harus diikhlaskan. Lewat lapar dan haus kita alami selama 30 hari, Ramadan secara tidak langsung berusaha melatih kita untuk mampu membayangkan/ngrasani sudut pandang yang berbeda, dan untuk mampu memutus tali ekspektasi materil.
Lewat latihan ini, sifat kemanusiawian kita dibunuh berulang-ulang, dan sifat kemanusiaan dilahirkan berulang-ulang. Namun sejauh apa komitmen kita pada latihan ini jika digoda oleh kenikmatan materialisme ala postmodern? Semoga kita semua dilimpahkan banyak hikmah dari Idul Fitri tahun 2020.