Mafhumnya jelang bulan suci, lagu-lagu bernuansa religi selalu bermunculan dengan segala variannya. Lihat saja pada Ramadhan dua tahun lalu (2018), betapa pasar-pasar pusat perbelanjaan dan mini-market kita diselimuti oleh suara merdu Maher Zain dengan lagu terkenalnya berjudul “Ramadhan”. Atau, pada bulan suci tahun lalu (2019), telinga kita mungkin kelewat akrab oleh cover Nisa Sabyan yang melantun “Deen Assalam” dengan intronya yang terkenal, hmhmhm. Dan, ya, menjelang Ramadhan tahun ini (2020), kita telah disuguhi oleh lagu berjudul “Aisyah Istri Rasulullah”.
Seperti diketahui, tidak butuh waktu lama untuk lagu “Aisyah Istri Rasulullah” mendapat sambutan secara gegap gempita oleh banyak masyarakat Indonesia. Ditelusuri dari muasalnya, lirik lagu “Aisyah Istri Rasulullah” awalnya digubah Mr Bie, seorang YouTuber asal Malaysia dari lagu berjudul “Aisyah” yang sebelumnya dibawakan oleh grup musik Projector Band, kemudian banyak di-cover beberapa artis, seperti Sabyan, Syakir Daulay, Ria Ricis, Andre Taulany, hingga Via Vallen (untung gak dalam versi koplo) dan diposting di jagat maya.
Bahkan, seperti laporan vicecom, lagu “Aisyah Istri Rasulullah” terbilang sukses menguasai pasaran dengan cover, yang versi cover-nya itu di-cover lagi sama banyak orang lain, sehingga mendominasi daftar trending se-Indonesia-Malaysia dalam beberapa pekan.
Di luar itu, para akademisi dan pemerhati isu-isu keperempuanan juga banyak urun rembuk perihal isu ini. Ada yang menganggap lirik lagu itu cukup sensual, ada yang merasa perlu mengontestasikan figur Aisyah dengan Khadijah hingga muncul faksi pro-Khadijah atau pro-Aisyah. Sebaliknya, ada juga yang tidak peduli dengan lagu itu karena gambaran roman Aisyah dan Nabi dianggap masih kalah romantis dengan drama-drama Korea Selatan.
Respon terkait figur Aisyah di beberapa abad yang lalu pun bervariasi, ada yang suka dan tidak suka. Bagi yang tidak suka Aisyah, figurnya dianggap sangat kontroversial seperti pandangan kelompok Syiah yang pasti bermuram durja kalau memikirkan sosoknya karena beberapa polemiknya kepada Fatimah dan Ali. Pun demikian dengan beberapa akademisi agama lain, Yahudi dan Kristen, yang menganggap Aisyah sebagai korban dari praktik kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur (the victim of some form of child and marital abuse) yang dilakukan oleh Nabi Muhammad.
Terkait ini, Zahid Aziz dalam artikelnya berjudul “Age of Aisha (RA) at Time of Marriage”, memiliki pernyataan yang menarik, begini:
We ask in particular the Christian and Jewish critics of Islam, who are reviling the Holy Prophet Muhammad on the basis of his marriage with Aisha, whether they can point out any example of a woman in their religions who played a role like that of Aisha in learning the religion from its founder and becoming the teacher and instructor of all his followers, including men, after his death.
(Kami meminta, khususnya dari para kritikus Kristen dan Yahudi yang mencerca perkawinan Nabi Saw dengan Aisyah: apakah mereka dapat memberikan satu contoh perempuan dalam agama mereka yang memainkan peran strategis seperti yang telah dilakukan Aisyah, yakni belajar agama dari pengembannya secara langsung (Nabi), untuk selanjutnya menjadi guru dan pembimbing bagi semua pengikutnya (sahabat dan tabiin), baik laki-laki maupun perempuan, setelah kematiannya?)
Aisyah mulai memasuki kehidupan rumah tangganya bersama Nabi tidak berselang lama pasca-hijrah ke Madinah, yakni pada saat ajaran Islam di semua bidang kehidupan mulai diwahyukan kepada Nabi dan ditransmisikan oleh-Nya melalui contoh dan praktik. Kualitas intelektual Aisyah sangat dibutuhkan dalam konteks ini, di mana ia yang setiap harinya berinteraksi dengan Nabi diharapkan mampu menyerap seluruh ajaran Nabi secara holistik melalui kata dan perbuatan.
Figur Aisyah dianggap memiliki beberapa keistimewaan, seperti: pertama, daya ingat yang kuat menyimpan detail informasi yang berjumlah besar secara akurat; kedua, pemahaman mendalam hingga mampu merekam prinsip-prinsip ajaran yang fundamental; ketiga, kekuatan penalaran, analisis, dan kemampuan menarik kesimpulan untuk menyelesaikan berbagai persoalan; keempat, keterampilan dalam menyampaikan pengetahuan kepada pendengar yang secara intelektual beragam; dan kelima, memiliki prospek hidup untuk jangka waktu yang cukup panjang pasca-kewafatan Nabi guna menyebarluaskan pesan-pesan kenabian kepada generasi sesudahnya.
Aisyah memiliki semua kualitas di atas dan mengemban misi tersebut dengan sangat baik. Terbutkti pasca-meninggalnya Nabi, ia bertindak sebagai guru dan juru tafsir Islam, bahkan memberikan bimbingan yang bernilai lebih dibanding para sahabat Nabi laki-laki lainnya. Sebaliknya, mereka justru menciptakan poin penting itu—di mana para sahabat Nabi itu seringkali pergi kepada Aisyah untuk meminta pendapat dan menimba pengetahuan darinya.
Aisyah tidak hanya mengutip perkataan Nabi Muhammad dan melaporkan pengamatannya atas peristiwa-peristiwa tertentu, namun lebih dari itu ia menafsirkannya sebagai solusi atas pertanyaan yang diajukan kepadanya. Aisyah tidak segan mengoreksi beberapa pandangan dari para sahabat senior. Ia juga ikut berpartisipasi dalam pembakuan perundangan-undangan dan hukum Islam (Zahid Aziz, 2008).
Beberapa sahabat tak segan memuji sosok Aisyah. Abu Musa al-Asyari, misalnya, mengatakan jika kami menemukan hadis yang sulit kita pahami, kami akan berkonsultasi, memverifikasi kebenaran, sekaligus meminta pemahaman isi hadis tersebut kepada Aisyah. Banyak sekali pujian atas prestasi intelektual yang menjadi sisi paling menonjol dalam kisah hidup Aisyah—sesuatu yang membuatnya menempati posisi terhormat di antara semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan.
Pasca-meninggalnya Nabi, ada beberapa madrasah ilmu dan keagamaan yang eksis di Madinah. Beberapa di antaranya diasuh oleh Abu Hurairah, Ibn Abbas, dan Zaid bin Tsabit. Tetapi, madrasah yang paling besar di Madinah adalah yang terletak di pojok Masjid Nabawi, di samping pusara Nabi SAW dan persis di depan kediaman salah seorang istrinya. Madrasah ini menjadi tujuan orang-orang yang hendak belajar dan meminta fatwa hukum atas berbagai persoalan. Ke sanalah para penuntut ilmu itu merapat. Dan, Aisyah-lah yang menjadi guru dan pengasuh madrasah itu.
Madrasah asuhan Aisyah itu melahirkan banyak ulama, terutama dari kalangan tabiin. Di dalam Musnad Ahmad, umpamanya, Ibn Hanbal mencantumkan sejumlah besar riwayat Aisyah yang bersumber dari murid-muridnya. Berdasarkan kalkulasi yang ia lakukan, jumlahnya mencapai 200 riwayat, baik yang diriwayatkan oleh para sahabat maupun tabiin, oleh orang merdeka maupun budak, oleh orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Aisyah maupun tidak.
Ibnu Sa’ad dalam karya al-Thabaqat al-Kubra mencantumkan nama dan biografi murid-murid Aisyah. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Tahdhib al-Tahdhib juga menyebutkan nama orang-orang yang meriwayatkan hadis dari Aisyah, baik mereka yang memiliki hubungan kerabat, mawla (budak yang dimerdekakan), sahabat maupun tabiin.
Dari kalangan sahabat tercatat nama-nama sekaliber, antara lain: Abu Musa al-Asyari, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Amr bin Ash, Zayd bin Khalid al-Juhani, Rabi’ah bin Amr al-Jurashi, dan lain-lain.
Sementara, dari kalangan mawla, tercatat ada Abu Yunus, Dhakwan, dan lain-lain. Dari sanak kerabat Aisyah sendiri, tercatat, antara lain: Ummu Kultsum binti Abi Bakr (saudari kandung Aisyah), Awf bin Harits (saudara sesusuan Aisyah), Qasim bin Muhammad (kemenakan Aisyah), dan lain sebagainya.
Akhirnya, mengingat Aisyah seyogianya bukan sekadar merenungi kisah romantis yang terjalin antara Aisyah dan Nabi. Ia—Aisyah—sesungguhnya juga guru, teladan, dan juru tafsir atas ajaran Islam. Ia wanita progresif yang cerdas dan multi-talenta. Inilah alasan utama mengapa ia dipilih oleh Nabi Muhammad untuk mendampinginya, sebagaimana hal itu terbukti secara jelas melalui sederet peristiwa sejarah pasca-kemangkatan Nabi Muhammad. [AC]
BACA JUGA Lagu Aisyah Istri Rasul dan Komoditas Budaya Populer Baru Atau Artikel-artikel Menarik Lainnya di Sini