Bulan rajab adalah bulan mulia dan memiliki kedudukan terhormat salah satunya, ada Isra Miraj di dalamnya.Selain itu, Bulan rajab merupakan salah satu diantara al-asyhur al-hurum (bulan-bulan mulia) yang diabadikan Allah dalam QS. al-Taubah ayat 36. Sebagian ulama menjelaskan sebab penamaan bulan tersebut karena bulan ini dimuliakan dan diagungkan (yutarajjabu) oleh masyarakat Arab.
Bulan rajab disebut juga bulan Mudhar, karena konon suku ini yang paling menghormati dan mengagungkan bulan rajab, dibanding suku-suku yang lain. Mereka tidak mengotak-atik bulan ini agar terbebas melakukan larangan-larangan.
Dalam QS. al-Taubah ayat 36 tersebut, Allah mengawali firman-Nya dengan kata “subhana” yang menunjukkan bahwa peristiwa ini sangat menakjubkan. Kemudian proses perjalanannya menggunakan kata asra (memperjalankan) bukan sara (berjalan) yang menunjukkan adanya subjek dan objek, yaitu yang memperjalankan dan yang diperjalankan.
Kemudian ditambah dengan keterangan waktu bahwa peristiwa yang menakjubkan itu terjadi hanya semalam (lailan). Kata lailan dalam bahasa Arab diawali dari terbenamnya matahari hingga terbitnya fajar. Ibnu Khalifah dalam bukunya Mukjizat al-Nabi al-Mukhtar min Shahih al-Akhbar mengatakan bahwa peristiwa isra’-mi’raj, dimana Rasulullah melempaui tujuh langit hingga ke Sidratul Muntaha hanya membutuhkan waktu antara 2 sampai 4 jam.
Menurut Abu al-Qasim Isma’il bin Muhammad al-Taimi dalam al-Hujjah fi Bayan al-Mahajjah wa Syarh Aqidah Ahli al-Sunnah, penjemputan Rasulullah oleh Jibril dan Mikail dengan Buraq terjadi setelah shalat Isya’ dan kembali sebelum terbit fajar.
Setelah itu, Allah menjelaskan rute perjalanan yang dilewati Buraq dimulai dari Masjid al-Haram, lalu transit di Masjid al-Aqsha (Palestina) sebelum meneruskan perjalanan ke langit. Masjid al-Haram yang dimaksud di sini adalah Ka’bah di Mekkah. Sedangkan Masjid al-Aqsha adalah Bait al-Maqdis yang merupakan kiblat pertama umat Islam. Sehingga perlanana isra’, start dan finishnya di antara dua kiblat.
Syaikh Nawawi al-Bantani dalam Marah Labid mengatakan bahwa dipilihnya Masjid al-Aqsha sebagai tempat take-off-nya Buraq, supaya saat kendaraan super cepat itu berjalan menuju ke langit, jalan yang dilaluinya lurus, tidak belok-belok. Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa posisi Masjid al-Aqsha tegak lurus dengan pintu langit yang biasa dilalui oleh para Malikat. Selain itu, Masjid al-Aqsha merupakan kawasan suci yang menjadi pusat dakwah para nabi Bani Isra’il, seperti Nabi Musa, Nabi Isa dan nabi-nabi yang lain.
Kemudian di akhir firman-Nya, Allah menutupnya dengan kalimat linuriyahu (dari kata ara) yang artinya “Kami memperlihatkan kepadanya”, bukan liyara (supaya dia melihatnya), dengan maksud Rasulullah dijadikan mampu melihat sesuatu yang pada dasarnya tidak dapat dilihatnya sendiri. Maka, setiap ada hal-hal yang sifatnya gaib selama isra’-mi’raj, Allah menjadikannya mampu melihat.
Berbeda saat perjalanan isra’, dalam proses mi’raj, Allah menggunakan redaksi walaqad ra’ahu:
وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى (١٣) عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى (١٤) عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى (١٥) إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى (١٦) مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى (١٧) لَقَدْ رَأَى مِنْ آيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى
“Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada syurga tempat tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS. al-Najm:13-18)
Dengan redaksi itu, Rasulullah melihat Jibril dan hal-hal gaib lain selama perjalanan mi’raj secara langsung lewat kemampun malakut-nya. Bahkan saat beliau menembus Sidratul Muntaha, Jibril tidak mampu melakukannya