Media sosial sebagai medium ekspresi keberislaman bukan hal asing, bahkan tak terpisahkan dari keberagamaan masyarakat muslim kita belakangan ini. Dampaknya keberagaman ungkapan keIslaman akhirnya didominasi kalangan kelas menengah, karena kemampuan membeli telepon gawai hingga kouta yang cukup mahal dimiliki kalangan kelas menengah.
Di sisi lain, kalangan kelas menengah juga memandang penting kehadiran simbol-simbol Islam dalam lanskap kehidupan sehari-hari mereka, sebagai bagian dari ekspresi keberislaman mereka. Akhirnya media sosial dipenuhi atau disesaki dengan simbol keislaman yang terkait atau beririsan dengan gaya hidup kelas menengah. Mengapa hal ini bisa terjadi dan apa pengaruhnya terhadap keberislaman kita?
Ritual sehari-hari yang dijalani masyarakat muslim mulai bermunculan di media sosial, dengan berbagai model dan format seperti meme salat Dhuha atau Tahajjud, qoute dari berbagai ulama dan kyai hingga ceramah yang disiarkan langsung. Kemunculan berbagai ekspresi keberagamaan lewat media sosial, keberislaman kita sehari-hari tidak lagi bermakna tunggal yaitu ibadah kepada Tuhan.
Berbagai ekspresi tersebut menjadikan keberislaman memungkinkan memiliki makna yang baru, berlapis atau bergeser. Media sosial dipandang sebagai ruang ekspresi baru yang tersedia bagi siapapun yang ingin mengisinya, yang kemudian dimanfaatkan dengan sangat kreatif oleh kalangan kelas menengah, yang disebut Ariel Heryanto dalam buku “Identitas dan Kenikmatan” sebagai gugusan baru Muslim modern. Ariel menjelaskan ciri dari kelompok tersebut yaitu rata-rata berusia muda, kelompok kelas menengah, dan usaha mendefenisikan ulang arti menjadi Muslim.
Menjadi “Muslim” lewat Media Sosial
Melihat keberislaman yang tampil di media sosial dapat ditelisik dari imaji soal kesalehan yang ditampilkan di linimasa. Konstruksi agama yang sengaja dimunculkan lewat media sosial lewat simbol dan ekspresi, dapat dibaca sebagai usaha atau kampanye massif kalangan kelas menengah dalam mendefenisikan ulang diksi “menjadi Muslim”.
Ariel menjelaskan gugusan muslim baru tersebut tidak mayoritas secara jumlah, tapi sentimen dan karakteristik Islam baru yang tersebar luar lewat yang ditampilkan di media sosial bisa muncul sebagai usaha dan persaingan merebut makna atau standar moralitas (baca: kesalehan). Jejaring pesan dan status tersebut telah menjadikan ritual ibadah menjadi sebuah tontonan yang unik.
Penggunaan teknologi dalam menampilkan pengalaman atau ritual keagamaan sebagai tontonan, berimplikasi menarik banyak orang untuk berpartisipasi dalam pertunjukan kolektif ibadah tersebut, di saat yang bersamaan ada kelindan ideologi sosial-politik dengan budaya pop yang menghasilkan pertunjukan seperti itu.
Kesalehan yang muncul di media sosial akhirnya memainkan komodifikasi ritual sebagai penanda status sosial. menyematkan status, mengunggah foto atau video hingga membagikan berbagai pesan di berbagai aplikasi media sosial, telah dimaknai sebagai bagian dari penanda kesalehan seseorang. Aktivitas tersebut juga menjadi habitus baru dalam melihat keberislaman.
Mungkin tidak luntur dalam ingatan kita, fenomena Ahok dan 212, Meliana di Sumatera Utara, hingga yang terakhir kasus Sukmawati dan Gus Muwafiq yang kasusnya mencuat didorong lewat reaksi kuat dan massif di media sosial, biasanya ditambah diksi seperti “sekedar mengingatkan” atau “jangan berhenti di anda.”. Kasus tersebut terus diperbincangkan, dibagikan hingga dijadikan status tersendiri agar menjadi penanda atau imaji kesalehan pemilik akun. Kesalehan akhirnya juga dinilai dari reaksi atau ekspresi terhadap sesuatu yang “dianggap” bertentangan dengan model kesalehan atau keyakinan yang dipeluk oleh kelompok dominan di media sosial.
Dari persebaran reaksi, ekspresi, pesan-pesan dan pengalaman atau praktik ritual lewat media sosial, bisa dilihat bahwa Islam yang diangkat berikut model praktik atau pengamalan di dalamnya lebih dekat pada kelompok kelas menengah, karena kesalehan disimbolkan dan ditandakan lewat ekspresi. Dampaknya agama tidak lagi dipandang sebagai seperangkat ritual, keyakinan dan doktrin, namun sudah diangkat menjadi komoditas simbolik yang relevan dengan seluruh lapisan kelas diantaranya berkat bantuan algoritma.
Kathryn Lofton dalam buku Consuming Religion saat melihat agama dalam pandangan Emile Durkhiem yaitu agama menyediakan kontrol sosial, kohesi, dan tujuan bagi orang-orang, serta sarana komunikasi dan pertemuan lainnya bagi individu untuk berinteraksi dan menegaskan kembali norma-norma sosial. sehingga Islam di media sosial dimunculkan dengan simbol, narasi pesan, isu hingga ekspresi yang disesuaikan dengan gaya hidup dari kelas menengah sebagai kelas dominan.
Sebagaimana ditegaskan oleh Noorhaidi Hasan dalam artikel “Islam di Kota-Kota Menengah Indonesia: Kelas Menengah, Gaya Hidup, dan Demokrasi” menjelaskan bahwa kelas menengah muslim di perkotaan berada paling depan dalam komodifikasi agama, yang sangat banyak memiliki keterkaitan dengan cara bagaimana agama, dalam hal ini Islam, dikemas dan ditawarkan kepada khalayak yang lebih luas, dan bagaimana hal ini telah menghasilkan kerangka kerja untuk tatanan moral masyarakat melalui objektifikasi dan sistematisasi nilai dan praktik Islam sebagai sebuah model normatif penataan masyarakat.
Alasan tersebut juga menjelaskan kenapa kasus agraria atau penggusuran di kampung kumuh sulit muncul di permukaan di media sosial, atau kasus-kasus kemiskinan biasanya dihadapi lewat agenda amal gaya kelas atas, ketimbang melihatnya sebagai bagian dari pertarungan kelas. Sebab, Islam yang ditampilkan lebih dekat atau damai dengan nilai Kapitalisme atau pasar, ketimbang sebagai suara perlawanan dari penindasan atas kemanusiaan.