Pernahkah anda merasakan dipukul rotan saat melakukan kesalahan waktu belajar membaca Alquran? Mungkin beberapa kita pernah merasakannya, sebagai hukuman karena salah baca harakat atau kesalahan lainnya. Pengalaman ini mungkin membekas dalam ingatan kita sebagai bagian dari keberagamaan kita.
Pengalaman dalam menjalankan ritual agama memang tidak selalu terkait dengan kesakralan. Ada kalanya agama menjadi bagian sesuatu yang sangat manusiawi. Seperti, guyonan, sindiran, hinaan hingga hal yang paling pribadi sekalipun, seperti sex. Bukan hal yang aneh, jika agama beirisan hal-hal tersebut sebagai bagian dari ekspresi keberagamaan. Mungkin yang sering kita dengar istilah “membunuh Yahudi” yang dipinjam untuk menyebut hubungan suami istri di malam Jumat.
Beragama memang tidak bisa dipandang tunggal, banyak hal bisa berkelindan. Sebagaimana dijelaskan di atas, pengalaman kita akan beragama di masa lalu masih melekat hingga sekarang sebagai bagian dari hidup kita. Hal yang sama akan dirasakan para anak muda sekarang, namun dengan artikulasi dan ekspresi yang berbeda dengan kita sekarang.
Perbincangan keberagamaan anak muda adalah hal yang sedang hangat dalam kajian Islam. Dari model hingga kreativitas mereka dalam mengekspresikan keberagamaan, dibicarakan oleh peneliti hingga otoritas keagamaan. Keberislaman mereka lebih banyak dipandang sebagai objek ketimbang menjadi subjek.
Islam di tangan anak muda sering dianggap kehilangan batas-batas yang selama ini menavigasi keberagamaan mereka. Model ekspresi mereka sering dianggap keluar dari “pakem” keberagamaan atau jalur Islam mainstrem. Padahal, distorsi terhadap agama yang selama ini bertahan, belum tentu benar terjadi. Atau mereka hanya objek dari arogansi para orang tua yang menganggap diri sebagai kebenaran absolut.
Agama dan Media Baru di Tangan Anak Muda
Agama adalah salah satu topik yang diperbincangkan masyarakat di ruang publik, seperti di cafe sambil minum kopi. Anak muda juga tak ketinggalan turut menampilkan juga membincangkan soal agama di ruang publik. Di titik ini agama kemudian menjadi familiar di kalangan anak muda, karena perbincangan agama bisa masuk dalam hal- hal yang receh.
Anak muda memang kreativitas sendiri dalam mengekspresikan keberagamaannya sendiri. Di tengah euforia kehadiran media baru, anak mudalah yang mencoba tampil ke depan dalam mengakomodir kehadiran media tersebut. Akselerasi agama di era media sosial hampir bisa dikatakan dikuasai oleh anak muda.
Kegamangan akan kehilangan nilai-nilai tradisionalis dari ekspresi keberagamaan anak muda akhirnya menjadi perbincangan, diantaranya ditandai bertanya apakah mereka akan melupakan tradisi lokal yang selama ini melekat di dalam keislaman kita?
Memang menjawab pertanyaan tersebut butuh penelitian yang mendalam. Sebab, di sisi lain ada artikulasi baru dalam keberagamaan atau keislaman anak muda. Seperti, “hijrahfest” dan pengajian agama di kafe seperti “Komuji (Komunitas Musisi Mengaji)”. Nasib perayaan keislaman tradisional dianggap terancam atas kehadiran perayaan yang lebih menonjolkan anak muda.
Identitas anak muda memang tidak bisa dipandang tunggal dan kaku. Pam Nilan dan Carlos Feixa menuliskan dalam buku “Global Youth”, bahwa identitas masyarakat lama akan direfabrikasi lewat model ekspresi yang baru. Maka, kekhawatiran otoritas keagamaan sekarang harusnya diselesaikan dengan mencoba bernegosiasi dan berkompromi dengan nilai-nilai yang dibawa anak muda dalam keagamaan.
Ekspresi keberagamaan anak muda tersebut memang tidak bisa dipandang sebelah mata, hibriditas yang lekat di dalamnya bukan hanya persoalan perpaduan belaka. Namun, artikulasi yang berbeda adalah negosiasi yang kompleks dan konstan yang berupaya hibriditas kultural tersebut menjadi sebuah tranformasi. Jadi, ekspresi keberislaman anak muda sekarang memang bisa saja menggeser model yang terlebih dahulu ada.
Tapi, beragama bukan seperti lomba lari yang miliki karma menggeser siapapun yang terlambat beradaptasi. Sebab, sisi yang sering terlupakan dalam beragama adalah kenyamanan. Setiap individu memiliki hak mengekspresikan kenyamanannya dalam satu model beragama, walau hak tersebut akan terus menerus berinteraksi dengan berbagai hal yang juga turut mewarnai keberagamaan.
Apakah anak muda yang lahir di lingkungan tradisionalis kental akan tetap mengekspresi tradisi yang sama di era media sosial? Proses hibriditas anak muda menjadi faktor cukup berpengaruh dalam menjawab pertanyaan tersebut. Jika anak muda tersebut mulai tercerabut dari lingkungannya, maka ekspresinya cenderung berbeda atau menjauhi tradisionalisme. Jika tidak tercerabut, maka ekspresi tradisionalisme akan muncul di media sosial, dengan berbagai bentuk.
Namun, konten-konten tradisionalisme bisa disebut kalah bersaing dengan konten keagamaan yang lain. Pengajian kyai atau habaib membaca kitab, perayaan maulidan, tahlilan atau haul terlihat kalah bersaing dengan hijrahfest, vlog artis hijrah, influencer anak muda macam Hawariyun atau Fuadbakh.
Masuk menjadi konten yang disukai oleh kebanyakan anak muda bukan hanya persoalan kemasan, tapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh content creator yang ingin menampilkan tradisionalisme di media sosial. Jika merujuk apa yang disebutkan Merlyna Lim dalam artikel “Many Clicks Little Sticks: Social Media Activism in Indonesia”, maka ada tiga prinsip dalam konsumsi konten. Pertama, konten yang ringan. Konten bisa semakin dibaca dan mendapat atensi yang memiliki muatan yang ringan dalam arti tidak perlu banyak waktu untuk membaca dan tidak perlu pemikiran mendalam untuk memahaminya.
Kedua, informasi yang disajikan harus renyah dan selaras dengan keinginan publik mayoritas. Ketiga, informasi yang tampilkan bersifat ringkas, namun tetap menjaga aspek sensasi. Jika ketiga aspek tersebut dapat dipenuhi maka kemungkinan besar informasi akan menjadi viral dan menarik perhatian publik.
Konten agama yang diartikulasikan kalangan milenial mayoritas selaras dengan ketiga aspek di atas. Dampaknya, titik keselarasan menjadikan konten agama tersebut sebagai hibriditas dilakukan milenial terhadap artikulasi dan pengalaman baru dalam beragama. Di sanalah terjadi negosiasi dengan nilai baru yang dimiliki kalangan milenial dengan nilai lama yang selama ni bertahan, di saat bersamaan menjadi pengalaman keagamaan yang baru, terutama di kalangan milenial.
Fatahalllahu alaihi futuh al-arifin.
Artikel ini diterbitkan kerja sama antara islami.co dengan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo