Rupanya, 2020 ini merupakan tahun yang berat bagi Presiden Jokowi. Tentu saja Anda boleh sepakat, boleh tidak. Tapi, percayalah, sebagai presiden, menghadapi pandemi corona itu bukan hal yang mudah bagi Jokowi.
Ada banyak kepentingan yang berkontestasi di sana. Perdebatan publik di masa-masa awal pandemi yang secara menjenuhkan berkutat di ranah “Kesehatan vs Ekonomi” mungkin hanya salah satunya. Lebih dari itu, Jokowi musti menghadapi akrobat para pejabat negara yang justru memandang remeh bahkan konyol tentang fenomena Covid-19.
Dan, diam-diam, di penghujung 2020 ini Jokowi musti menelan ludah dengan berat ketika secara mengejutkan dua Menteri Kabinet Indonesia Maju ditangkap KPK. Yang pertama adalah Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (25/11/2020), lalu yang kedua adalah Menteri Sosial Juliari Batubara (05/12/2020).
Tak butuh waktu lama, Presiden Jokowi langsung mencuitkan pernyataan resminya lewat akun Twitter @jokowi.
“Semenjak dari awal, saya mengingatkan para menteri Kabinet Indonesia Maju: jangan korupsi! Karena itulah, terkait penetapan Menteri Sosial sebagai tersangka oleh KPK, saya menghormati proses hukum yang tengah berjalan. Saya tidak akan melindungi siapapun yang terlibat korupsi.”
Sekilas, lewat tweet itu, Presiden Jokowi (seolah-olah) sedang memposisikan dirinya sebagai petinggi negara yang tidak akan kompromi dengan praktik korupsi. Ini terbaca lewat pamungkas kicauannya, bahwa “Saya tidak akan melindungi siapapun yang terlibat korupsi.”
Meski begitu, tweet tersebut sebetulnya membuka celah pembacaan lain. Tapi sebelumnya, mari kita bersepakat bahwa ada sedikitnya lima pihak yang sedang terlibat dalam tweet tersebut. Pertama adalah “Saya” (Jokowi); Kedua, Para Menteri Kabinet Indonesia Maju; Ketiga, Mensos; Keempat, KPK; dan Kelima, Hukum.
Pertanyaannya, siapa atau apa yang sedang dibicarakan dalam tweet tersebut?
Tanpa perlu berpanjang lebar, tampak jelas bahwa tweet itu adalah teks tentang “Saya” yang sedang meluapkan rasa kecewa sekaligus kesal. Siapa yang kesal? Tentu saja Presiden Jokowi. Kepada siapa? Jelas kepada pejabat korup, dalam hal ini Mensos.
Nah, karena kecewa, berarti sebelumnya ada ekspektasi yang sempat dijangkarkan. Kita bisa berasumsi bahwa Jokowi pada prinsipnya menginginkan agar para menterinya bekerja secara bersih dan tulus melayani kepentingan publik.
Hanya saja, perlu diperhatikan bahwa dalam teks itu terdapat kata “mengingatkan” yang didahului keterangan “semenjak dari awal”.
Artinya, Presiden sebetulnya sadar betul bilamana praktik korupsi itu merupakan sebuah aib sekaligus penyakit yang lazim membayangi para pejabat publik. Atau dengan kata lain, Jokowi telah menyadari adanya potensi kekorupan pembantunya di tengah rapuhnya sistem politik Indonesia.
Sayangnya, kesadaran itu hanya berhenti di level pikiran dan keluar dalam wujud petuah: “jangan korupsi!”. Karenanya, sosok “Saya” dalam tweet tersebut kemudian melibatkan pihak atau kekuatan lain di luar dirinya dan di luar yang dia bicarakan, yaitu KPK dan Hukum.
Di titik ini, kita bisa mengidentifikasi bilamana teks dalam tweet Jokowi itu sekaligus ingin menegaskan bahwa sekelas Presiden saja ternyata masih kecolongan, dan di atas itu semua, masih kedodoran ketika dihadapkan pada realitas politik yang kompleks. Kenapa kompleks? Karena koruptor yang terakhir itu masih satu bendera dengan Presiden: PDI-P.
Maka, cukup menarik jika Prof. Ariel Heryanto memberi komentar lewat akun Twitternya, begini:
Bapak Presiden kog gitu sih ngomongnya?
Seakan-akan beliau sama sekali nggak merasa ikutan bersalah pada masyarakat, . . . misalnya dalam memilih menteri negara dalam kabinetnya, dan mengawasi kerja mereka.
— Ariel Heryanto (@ariel_heryanto) December 6, 2020
Ah, saya kok jadi teringat sentilan Kapten Vostrikof (Harisson Ford) kepada para perwira yang membantunya dalam film K-19: The Widowmaker.
Ceritanya, sewaktu ada kesalahan teknis yang dilakukan oleh awak kapal, Vostrikof langsung berkhutbah bahwa itu semua dimungkinkan gegara ketidak-becusan pimpinannya, alih-alih bilang semenjak dari awal saya sudah ingatkan, dan bla, bla, bla…
Atau, jika boleh menyadur khutbah Vostrikof, maka kira-kira akan jadi begini: kesalahan seorang pembantu presiden itu sesungguhnya dapat terjadi jika pimpinannya gagal menetapkan standar yang tinggi untuk memperbaiki kekurangan seorang Menteri. Jika Presiden melakukan tugas Presiden, maka menterinya pun akan melakukan tugas mereka.
Lagi pula, bukankah Pak Jokowi sendiri sejak awal sudah bilang, bahwa tidak ada visi misi menteri, yang ada visi misi Presiden?
Jadi, jika dipikir-pikir lagi, angka 10k kalau ditekuni itu hasilnya ternyata memang lumayan ya… Ya, lumayan bikin nelangsa banyak orang. Lha gimana, duit bantuan jhe!!