Yahya Waloni dan Kursi Keras Ustaz Mualaf

Yahya Waloni dan Kursi Keras Ustaz Mualaf

Yahya Waloni dan Kursi Keras Ustaz Mualaf
ini pencarian di google terkait dengan ustadz mualaf. gambar ini tentu saja tidak mencerminkan semua mualaf yang jadi ustadz di Indonesia. pict by ISTIMEWA

Rasa-rasanya, tiada kata yang pantas untuk menggambarkan Yahya Waloni selain “keras”. Baru-baru ini, ia kembali viral karena sebuah potongan video yang menunjukkan bagaimana tingkah Waloni ketika berada di tengah-tengah ceramah, lalu tiba-tiba meminta kursi penceramah diganti, hanya karena kursi awal disebut Yahya Waloni sebagai “kursi Kristen”.

Belum selesai di situ, usai kursi ceramahnya diganti, Yahya Waloni juga mengibaratkan bahwa Islam itu adalah keras, dan oleh karenanya ia lebih menyukai kursi yang lebih keras, bukan kursi yang empuk dan memanjakan seperti “kursi Kristen” itu.

Sikap “keras”nya tersebut tampak cukup berbahaya jika ditarik ke dalam ruang sosial yang lebih luas, karena bisa jadi orang-orang non-Islam akan mengasosiasikan para penceramah Islam sebagai pihak yang sangat anti terhadap Kristen. Ibarat kata, sentimen berlebihan yang ditunjukkan Yahya Waloni sangat berpeluang mengganggu stabilitas hubungan antara Islam-Kristen di Indonesia.

Tidak sekali ini saja, sebelumnya, ia terhitung rajin menghiasi warta-warta media sosial dengan sikap-sikapnya yang justru tidak mewakili ajaran Islam yang, ironisnya, sedang ia dakwahkan. Dari mulai mengajak seorang jamaah ribut sampai menantang berkelahi, tersinggung dengan panitia karena microphone yang bermasalah, sampai cerita dengan bangga menabrak (secara sengaja) seekor anjing di jalanan. Ya, anjing, salah satu binatang yang dalam versi kisah Ashabul Kahfi termasuk binatang yang ada di surga Allah, kelak. Herannya, jama’ah macam apa yang masih setia menggandrungi dan menikmati ceramah-ceramah sentimental semacam ini?

Jika mengacu pada aspek sosial, ada banyak argumentasi yang bisa menunjukkan bahwa perilaku “ustadz” mualaf ini tidak patut dilakukan, bukan hanya bagi seorang penceramah, namun bagi semua umat Islam sekalipun. Aspek sosial, misalnya, bagaimana perasaan para pengrajin mebel yang telah bersusah payah membuat kursi-kursi nyaman, mereka barangkali merasa terhormat karena kursi tersebut hendak diletakkan di rumah Allah, digunakan untuk ceramah, namun hanya karena “ucapan” Yahya Waloni, kebanggaan mereka jadi terganggu.

Barangkali, ta’mir-ta’mir masjid itu sudah memesan kursi yang empuk, agar sang penceramah tetap duduk dengan nyaman sehingga tidak kelelahan ketika berbicara berjam-jam, namun niat baik itu seakan dirusak oleh justifikasi “kursi Kristen” Yahya Waloni. Lagipula, jika hendak diperhatikan, kursi-kursi yang ada di gereja justru berbentuk bangku kayu panjang yang keras juga. Bangku kayu panjang tersebut disusun dengan rapi sehingga bisa memuat jemaat yang banyak ketika melakukan peribadatan.

Pun jika hendak memaksa adanya kursi Islam, sebenarnya dalam ber-Islam, kursi justru kurang mendapat peran yang signifikan. Rasulullah selalu berdiri di mimbar atau duduk lesehan bersama sahabat jika hendak berdiskusi atau mendakwahkan Islam. Jika benar-benar hendak merefleksikan Islam, Waloni harusnya meminta sajadah saja, dan duduk di lantai berdasar sajadah tersebut.

Melihat dari sisi transendental, yang berkutat pada dalil-dalil keagamaan, Waloni mungkin tidak mengetahui adanya QS. al-An’am: 108.

وَلَا تَسُبُّوا۟ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّوا۟ ٱللَّهَ عَدْوًۢا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan

Pesan Allah tersebut secara nyata bertentangan dengan tipikal dan gaya ceramah Waloni. Ia masih saja membawa sentimen terhadap agama lamanya. Jika memang memaksakan untuk ceramah dan mendakwahkan Islam, Waloni harusnya lebih berfokus terhadap kisah bagaimana ia menemukan kesejukan dalam Islam, bagaimana agama barunya mengubah hidup dan pola pikirnya, bagaimana Islam membawanya ke jalan damai, sehingga para jama’ah semakin yakin bahwa Islam merupakan agama yang rahmatan lil ‘alamin, bukan malah menyinggung dan mencela agama lamanya. Untuk apa kita menjelek-jelekkan agama orang lain, toh manusia tidak mempunyai kuasa untuk menilai keyakinan seseorang. Ceramah-ceramah semacam ini malah cenderung bersifat provokatif yang diarahkan untuk membenci agama-agama tertentu. Pertanyaan saya lalu begini, bagaimana output Islam yang diimajinasikan oleh Waloni? Islam yang baik secara vertikal, namun bobrok secara horizontal?

Misi tersebut selain tidak merepresentasikan Islam, juga sangat mustahil dicapai. Bagaimana kita bisa menciptakan hubungan baik dengan Allah tanpa membina hubungan yang baik terlebih dahulu di antara ciptaan-Nya. Allah telah berfirman dalam QS. al-Kahfi: 29,

وَقُلِ ٱلْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ ۖ فَمَن شَآءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَآءَ فَلْيَكْفُرْ ۚ

Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”

Kebenaran yang hakiki itu berasal dari Allah, kita sebagai manusia tidak mempunyai otoritas, bahkan hak, untuk menghakimi siapa benar siapa salah. Bahkan Allah pun, sudah memberikan kebebasan bagi manusia untuk memilih beriman atau memilih kafir. Lalu mengapa masih ada hamba Allah yang justru mensegmentasi sebuah kursi berdasarkan agama. Ya Allah, maafkan hambamu yang satu ini.