Propaganda untuk menyebut orang-orang Yahudi dan Cina sebagai komunitas ‘asing’ dan berbahaya bagi penduduk Nusantara, berlangsung selama beberapa abad. Politik kolonialisme yang dimainkan penguasa Hindia Belanda, merupakan pemicunya.
Trik kotor dari pemerintah Hindia Belanda ini bermula ketika gelombang demonstrasi orang-orang Cina/Tionghoa di Jakarta. Orang-orang Cina yang bekerja sebagai buruh dan pekerja kasar, diperlakukan secara diskriminatif, diperas tenaganya oleh para penguasa Belanda, pada kisaran tahun 1740.
Puncaknya, pada Oktober 1740, orang-orang China di Batavia dibantai, yang mengakibatkan darang menggenang, sekira 10.000 nyawa melayang. Peristiwa pembantaian ini sangat mencekam, hingga orang-orang Cina mengungsi ke kota-kota lain di Jawa. Peristiwa ini melahirkan perlawanan orang-orang Cina di Jawa, yang menyulut perang dengan nama Perang Kuning.
Nah, pada masa itu, penguasa Hindia Belanda menyebut orang-orang Cina sama halnya Yahudi. Penyebutan orang-orang Cina ‘like the Jews’ untuk menyebar di antara pelancong-pelancong Eropa dan penguasa kolonial. Nuansa antisemitik menyebar, hingga menjadi ingatan orang-orang Nusantara.
Strategi ini ternyata efektif digunakan oleh penguasa Hindia Belanda, untuk mengontrol kawasan Nusantara. Sebagaimana mereka membenturkan kelompok elite (terutama di Jawa) dengan penguasa-penguasa lokal, untuk memecah belah kekuatan.
Dari peristiwa-peristiwa inilah, orang-orang menganggap Cina, sebagaimana Yahudi, sebagai musuh besar. Ingatan-ingatan serta label peyoratif terhadap Cina dan Yahudi, ini terus menerus direproduksi hingga Indonesia merdeka. Terlebih, pemerintah Orde Baru menggunakan propaganda ini dalam agenda politiknya.
Pada awal abad 20, penyebutan istilah yang salah kaprah, antara China dan Yahudi, ini menyebar di kawasan Asia Tenggara. Strategi ini, merupakan kesengajaan untuk mengaburkan batas-batas antara ‘Cina’ dan ‘Yahudi’ sebagai kelompok yang berbeda. Kekerasan etnis, dengan menyandingkan gelombang anti-Cina dan anti-semitik, ternyata meluas di Asia Tenggara.
Pada 1914, Raja Rachirawut dari Siam, menulis ‘The Jews of the Orient’, yang isinya mengaplikasikan narasi anti-semitisme terhadap komunitas Cina yang bermukim di Siam. Narasi ini kemudian menyebar menjadi kebencian terhadap orang-orang Cina, yang meluas menjadi ingatan publik.
Gelombang anti-Cina dan anti-Yahudi ini kemudian merebak secara luas, seiring dengan gerakan anti-semitik di Eropa dan anti-kolonial di Asia Tenggara.
Celakanya, di tengah turbulensi situasi ini, orang-orang Cina dan Yahudi menjadi korbannya. Mereka terjepit dalam gerakan nasionalisme dan mengalami ‘kekerasan politik’ karena kebencian serta dianggap sebagai orang-orang asing.
Blake Smith, dalam esai ‘Indonesian Hates the Chinese, because they are Jewish’ (TabletMagz, 17 April 2018), menyebut betapa kebencian terhadap orang-orang China dan Yahudi merupakan warisan kolonial yang terus berulang. Smith menyebut, “… the entanglement of anti-Jewish and anti-Chinese hatred in Indonesia’s history offers a warning about the long reach of colonial legacies and the disturbing power of anti-Semitism to shadow and sustain other hatreds”.
Dalam catatan Smith, label peyoratif bernuansa kebencian terhadap Yahudi dan Cina, menjadi pewarisan ingatan yang susah dihapus. Bahkan, setelah puluhan tahun kolonialisme, pewarisan ingatan masih berlanjut, yang terlihat pada dinamika politik Orde Baru.
Jeffrey Hadler (2004) menyebut bagaimana suasana politik Orde Baru menjadikan Cina dan Yahudi sebagai sasaran kebencian. Bahkan, tidak jarang, anti-Cina juga dianggap sebagai anti-Yahudi. Sentimen rasial ini kemudian menggelora pada masa-masa kekerasan anti-Cina, bahkan hingga tahun 1998.
Dalam laporan riset Hadler, disebutkan bagaimana kekerasan anti-Cina dihembuskan dengan isu ‘anti-komunis’ pada akhir 1960-an. Sedangkan, pada 1998, isu penyerangan terhadap etnis Cina berhembus dengan isu ‘anti-semitisme’.
Orang-orang Cina dituduh sebagai anti-nasionalis, mengeksploitasi pekerja lokal dan melarikan uang ke luar negeri. Bahkan, konglomerat Cina dicap sebagai ‘Yahudi’ untuk membentuk imajinasi negatif dan sasaran kebencian.
Hingga kini, ‘Yahudi’ dan ‘Cina’ masih sering digunakan sebagai peluru tajam untuk menembak orang-orang yang dianggap sebagai musuh besar. Yahudi dan Cina sebagai label negatif, sering bertebaran pada musim politik, untuk menumbuhkan sentimen negatif dan membunuh karakter seseorang. Ironisnya, arena politik menjadikan kampanye anti-Cina dan anti-Yahudi sebagai sarana murah untuk menggiring emosi publik.
Kita bisa menyaksikan bagaimana pertarungan politik menggunakan isu etnis dan agama menjelang Pilkada DKI Jakarta, pada 2017 lalu. Isu-isu etnis menggunakan label ‘Yahudi’, ‘Cina’, dan bahkan ‘kafir’ berembus untuk menumbuhkan kebencian, yang digiring sebagai politik elektoral. Kampanye negatif dengan pelabelan etnis ini terus berlanjut hingga 2019 ini.
Kenapa strategi ini masih terus berlangsung? Karena kita, tidak sungguh-sungguh belajar dan mengenali bagaimana komunitas Yahudi dan etnis Cina bertumbuh, berkembang, dan menjadi bagian dari narasi keindonesiaan kita.
*Selengkapnya, bisa di sini