Bagaimana wujud Jin dalam Islam? Sebelum ke sana, baiknya kita memahami, Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam dan sumber rujukan utama membahas berbagai hal dalam kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat. Al-Qur’an juga sarat dengan keterangan-keterangan ilmu pengetahuan. Salah satu pengetahuan yang diterangkan Al-Qur’an ialah makhluk halus, baik malaikat, jin, hingga setan.
Ketiga makhluk tersebut ditulis oleh Pakar Tafsir Al-Qur’an Muhammad Quraish Shihab dalam ketiga bukunya tentang malaikat, jin, dan setan dalam Al-Qur’an. Review buku tentang Malaikat dalam Al-Qur’an sebelumnya telah ditulis dengan judul Mengenal Malaikat dalam Al-Qur’an.
Dalam buku tentang Malaikat tersebut, Quraish Shihab berupaya menerangkan bahwa hanya orang-orang istimewalah yang dapat merasakan langsung kehadiran malaikat. Hal ini terjadi ketika Muhammad yang saat itu berumur 40 tahun merasakan kehadiran makhluk saat dirinya berkontemplasi di Gua Hira. Saat itu malaikat jibril menghampiri Muhammad dengan membawa wahyu pertama dari Allah.
Adapun tentang makhluk bernam Jin ini, Quraish Shihab menjelaskan bahwa jin secara harfiah bermakna sesuatu yang tersembunyi. Makna tersebut menunjukkan bahwa jin merupakan makhluk halus. Sifat halusnya jin bisa menyerupai manusia secara fisik, namun manusia sendiri tidak bisa melihat jin secara kasat mata kecuali diterangkan oleh Quraish Shibab orang tersebut mempunyai kemuliaan dan keistimewaan.
Salah satu dasar pokok keimanan seorang Muslim ialah percaya pada hal-hal ghaib. Sesuatu yang ghaib ini merujuk pada sesuatu yang tidak terjangkau oleh pancaindera, baik disebabkan oleh kurangnya kemampuan maupun oleh sebab-sebab lainnya.
Perihal ghaib, Quraish Shihab menerangkan bahwa banyak hal ghaib bagi manusia serta beragam pula tingkat keghaibannya. Pertama, ada ghaib mutlak yang tidak dapat terungkap sama sekali karena hanya Allah yang mengetahuinya, contoh kematian. Kedua, ghaib relatif, sesuatu yang tidak diketahui seseorang tetapi bisa diketahui oleh orang lain, contoh ilmu pengetahuan, makhluk halus, dan lain-lain.
Istilah jinn dalam Al-Qur’an berarti yang tersembunyi dan tertutup. Quraish Shihab menngungkapkan sejumlah akar kata yang sama, di antaranya majnun (manusia yang tertutup akalnya), janin (bayi yang masih dalam kandungan, karena ketertutupannya oleh perut ibu), al-junnah (perisai, karena ia menutupi seseorang dari gangguan), junnah (orang munafik menjadikan sumpah untuk menutupi kesalahan dan menghindar dari kecaman dan sanksi), janan (kalbu manusia, karena ia dan isi hati tertutup dari pandangan serta pengetahuan).
Di lihat dari perspektif linguistik atau kebahasaan, bisa dipahami bahwa jin merupakan makhluk halus yang tersembunyi, karena tertutup. Tersembunyi dan tertutup ini bukan berarti sama sekali tidak terlihat karena ghaibnya relatif, sebagian orang bisa melihat jin karena keistimewaan yang dimilikinya, biasanya manusia yang dekat dengan Allah karena akhlak dan ilmunya.
Barangkali yang menarik dari buku Jin dalam Al-Qur’an setebal 147 halaman ini ialah soal kontroversi ada atau tidak adanya jin. Quraish Shihab mengungkapkan pendapat Ibnu Sina (980-1037 M) dalam risalahnya menyangkut Definisi Berbagai Hal, menyebutkan bahwa jin adalah binatang yang bersifat hawa yang dapat mewujud dalam berbagai bentuk.
Pendapat Ibnu Sina tersebut diterjemahkan oleh Fakhruddin Ar-Razi bahwa definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Sina hanyalah penjelasan tentang arti kata jinn. Sedangkan jin itu sendiri tidak memiliki eksistensi di dunia nyata. Para filsuf penganut pendapat di atas berdalih bahwa jika jin memang ada wujudnya, ia tentu mengambil bentuk makhluk halus atau kasar.
Dalam hal ini, Quraish Shihab mencatat bahwa ketika seseorang menyatakan bahwa jin adalah mekhluk halus, maka kehalusan yang dimaksud tidak harus dipahami dalam arti hakikatnya demikian, tetapi penamaan itu ditinjau dari segi ketidakmampuan manusia untuk melihatnya. Jika demikian, bisa jadi jin merupakan makhluk kasar, tetapi karena keterbatasan mata manusia, maka ia tidak terlihat, jadi bahasa manusia menamakannya sebagai makhluk halus.
Pandangan kedua ialah, pakar-pakar Islam yang justru sangat rasional tidak mengingkari bahwa ayat-ayat Al-Qur’an berbicara tentang jin, tetapi mereka memahaminya tidak dalam pengertian hakiki. Paling tidak, ada tiga pendapat yang menonjol dari kalangan ini menyangkut hakikat jin.
Pertama, memahami jin sebagai potensi negatif manusia. Karena menurut pandangan ini yang membawa manusia pada hal-hal positif ialah malaikat, sedangkan jin dan setan sebaliknya. Pandangan ini juga menilai bahwa jin tidak memiliki wujud. Kedua, memahami jin sebagai virus dan kuman-kuman penyakit. Namun pandangan ini mengakui eksistensi jin. Ketiga, memahami jin sebagai jenis makhluk manusia liar yang belum berperadaban.
Dari ketiga pandangan tersebut, sekilas bisa dipahami bahwa jin merupakan makhluk yang mewujud pada sesuatu. Namun, keberadaan jin sendiri diterangkan dalam Al-Qur’an bahwa, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribdaha kepada-Ku” (QS. Adz Dzariyat [51]: 56).
Karena diciptakan, tentu wujudnya ada. Perbedaannya ialah, manusia diciptakan dari unsur tanah, sedangkan jin diciptakan dari api. Menurut Quraish Shihab, iblis dalam Al-Qur’an diterangkan dari jenis jin. Namun demikian, iblis maupun setan mempunyai karakteristik tersendiri sehingga tidak semua makhluk jin adalah iblis atau setan.
*Selengkapnya, bisa klik juga di sini