Saya memang lebih yakin menikah harus dengan seiman dan berjilbab. Pandangan ini lahir dari ajaran keluarga dan ajaran agama. Meski begitu pemahaman ini bukanlah menjadi alasan memandang sebelah mata muslimah yang tidak berjilbab. Mengapa? Karena keluarga saya pun mengajari bahwa dalam pemahaman agama, kadang ulama memiliki penafsiran berbeda terhadap sumber agama (Al Qur’an dan hadits).
Misalnya tafsiran tentang jilbab. Salah satu ayat yang sering menjadi dasar wajibnya berjilbab adalah surah Al Ahzab ayat 59, kira-kira artinya seperti ini “Hai Nabi katakanlah kepada istri -istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang”.
Sepahaman saya, sebab turunnya ayat ini karena seringkali istri nabi mendapatkan pelecehan dari lelaki kucing garong jaman old karena dianggap budak. Sehingga nabi diperintahkan untuk memberitahu muslimah agar menggunakan jilbab sebagai identitas dan bukan budak yang bebas dari pelecehan. Budak perempuan boleh untuk dilecehkan di zaman nabi. Dari kisah ini kita dapat memperoleh penjelasan bahwa jilbab di zaman Rosulullah adalah identitas manusia yang merdeka, bukan hanya identitas muslim, sebab jilbab pun digunakan oleh umat agama lain.
Pada dasarnya jilbab merupakan pakaian yang terhormat dan menenangkan, namun kini telah kehilangan nilai dasar. Seperti saat ini netizen merespon isu kekinian tentang Rina Nose, artis yang memutuskan tidak mengenakan jilbab untuk keseharian. Fenomena ini sebaiknya disikapi dengan woles dan kepala dingin. Saya memilih untuk menganggap bahwa itu urusan pribadi beliau, bijaklah bermedia sosial (medsos).
Tidak semua yang ada medsos adalah sesuatu yang wajib untuk di komentari, apalagi kemampuan kita untuk menjadi komentator tidak cukup komprehensif. Cuma belajar agama di youtube dan jarang membaca buku dengan berbagai pandangan.
Kedua, melepaskan jilbab adalah pengaruh tekanan psikologis. Semenjak mengenakan jilbab, Rina Nose sering jadi sorotan media. Popularitasnya meningkat, sehngga netizen pun dengan aduhai mengomentari segala macam, mulai dari moralitas dan perilakunya. Seolah jilbab dengan pasti dan cepat mengubah akhlak. Pada akhirnya, secara nyata kerudung gagal menciptakan kenyamanan dan melindunginya. Makin ke sini orang-orang ramai “menghakimi” beliau.
Jilbab Tekanan Psikologis
Nyatanya jilbab membuat tertekan secara psikologis. Secara utuh ada 3 faktor besar, yakni perihal resiliensi, hardiness, loneliness yang melatar belakangi itu. Terlebih sejak dia sering masuk akun gosip yang mengandalkan kekuatan hengpong jadul. Mari kita ulas satu persatu:
Pertama, Resiliensi. Dalam dunia psikologi istilah ini berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Berkaca dari yang dialami Rina Nose, melepaskan jilbab adalah bisa menjadi keputusan melepas sebuah katarsis karena ketidaknyamanan. Siapa sih yang nyaman, selalu menjadi sorot media dan ingin menjadi lebih baik, tapi masyarakat menuntut untuk cepat.
Rina Nose adalah korban dari masyarakat yang mengangungkan selebritis yang hijrah gaya pakaian. Bukankah kita selalu meminta orang yang dulunya tidak mengenakan jilbab lalu kemudian menggunakan, akhlaknya harus berubah sesuai standar islami milenials, yakni dikit-dikit bilang astagfirullah, dikit-dikit bilang subhanallah dan standarisasi lainnya.
Mereka yang baru hijrah gaya pakaian, wajib berperilaku sesuai yang kita inginkan. Kalau tidak mengikuti, akan kita serang dengan pencerahan. Padahal di masa awal nabi berdakwah, beliau memulai dari memperbaiki diri dan kelurganya, lalu kaum arab jahiliyah secara umum. bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah menginterogasi diri sebelum memperbaiki orang lain dengan penghakiman yang kejam?
Kedua, Lonelines. Hal ini dipercaya menjadi pengalaman manusia secara universal. Loneliness atau sering terjadi karena terjadinya loneliness (precipitate event). Hal ini bisa disebabkan berakhirnya hubungan dekat akibat kematian, perceraian atau putus hubungan cinta. Perubahan juga dapat terjadi saat seseorang pindah ke suatu lingkungan baru dan berpisah secara fisik dengan orang-orang dekatnya
Rina Nose pernah mengalami perceraian. Sehingga bisa saja pilihannya untuk berjilbab adalah caranya membangun kembali relasi yang baik dengan orang lain. Sayang sekali alih-alih mendukung, tekanan selalu muncul dari netizen. Gosip disebar dengan kegagalan menikahnya Rina Nose, sebagai bagian dari masyarakat kita cenderung kejam terhadap janda dan menerapkan standar berbeda terhadap mereka.
Ketiga, Hardiness. Pada akhirnya kita pun harus membahas hardiness yang dimiliki Rina Nose. Berhubungan dengan beberapa dimensi ketahanan, ketabahan individu yang lebih luas dalam menghadapi stres kerja. Mungkin menjadi selebriti dengan jam kerja yang tinggi tidak membuatnya cukup kuat menahan semua gelombang kehidupan yang ada. Bisa jadi laku melepas jilbab Rina adalah akumulasi segala beban yang sedang beliau alami.
Saya tidak akan membicarakan salah dan benar perilakunya, sudah saatnya membicarakan masa depan. Pasrahkan (Tawakkal) segalanya kepada Tuhan, “(Dialah) Allah tidak ada Tuhan selain Dia. Dan hendaklah orang-orang mukmin bertawakkal kepada Allah saja” ( Q.S. At Tabagun: 13)”
Sudah Cukup, Jangan Dilebarkan
Saya heran masih ada pemuka agama fokus membicarakan moralitas individu daripada hal-hal yang merugikan umat dengan skala lebih besar, misal isu korupsi dan koruptor tiang listrik itu. Padahal dengan potensi besar yang dimiliki youtuber pembicara agama itu (berupa viewers mencapai ratusan ribu), bisa menjadi potensi yang sangat bisa digunakan membangun opini masyarakat untuk mendesak lembaga negara untuk memerangi korupsi dan memberikan hukuman sosial bagi koruptor.
Youtuber pembicara agama sebaiknya mulai mempertimbangkan tematik dakwahnya tidak hanya urusan individu dan moralitas, namun juga masalah kebangsaan. Jangan hanya ketika musim politik baru aktif berbicara kesejahteraan masyarakat, terorisme, korupsi dan pemberantasan narkoba.
Nyatanya pemuka agama juga butuh minum biar tidak salah fokus. Tetiba saya teringat, urusan agama pun tidak lolos dari pelaku korupsi. Barangkali bagi pembicara agama, membicarakan korupsi dalam ranah agama akan menyinggung beberapa rekan “seprofesi”. Mungkin. Wallahu a’lam bishawab.