Tulisan Ulil Abshar Abdalla dalam bukunya “Jika Tuhan Mahakuasa, Kenapa Manusia Menderita?” perlu dibaca setiap orang agar tidak salah beraqidah, khususnya pada masa pandemi kali ini.
Saya mengenal Ulil Abshar Abdallah lewat karya-karyanya. Dulu, tokoh fenomenal ini dikenal luas dengan pemikirannya yang, meminjam istilah KH. Said Aqil Siradj, “agak nakal”. Ia dikenal sebagai pendiri Jaringan Islam Liberal dan cendekiawan muslim yang sarat kontroversi.
Tulisannya yang bertajuk “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” menuai pro dan kontra, sehingga pada saat itu, sekitar tahun 2002, Forum Ulama Umat Islam Indonesia mengeluarkan “fatwa” agar Ulil dihukum mati.
Lain dulu lain sekarang, beberapa tahun ini, Ulil mengalami perubahan. Gagasan-gagasan kontroversinya tidak lagi mengudara. Pribadi yang dulunya mengusung gagasan rasionalisme, kini tenggelam dalam lautan kepribadian sufisme.
Ya, Gus Ulil, panggilan akrabnya kini, gandrung akan sosok al-Ghazali. Setiap minggunya, lewat daring, ia membacakan kitab Ihya ‘Ulumuddin karya al-Ghazali. Buku “Jika Tuhan Mahakuasa, Kenapa Manusia Menderita?” karya Ulil ini merupakan pembacaan dan pemaparan ulangnya atas aqidah Islam yang telah dirumuskan oleh al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin.
Di mata saya, Ulil Abshar Abdalla mampu menyuguhkan sesuatu yang rumit menjadi mudah dipahami. Sebagaimana tergambar dalam buku ini, dengan bahasa yang renyah dan santai, gagasan serta ulasan al-Ghazali mampu dimengerti dan mudah dipahami lewat penjelasan Ulil. Itulah salah satu kekuatan dan kelebihan Ulil dalam karyanya ini.
Tentu saja Ulil tidak “letterlijk”, harfiah dalam pembacaan dan pemaparan ulangnya. Ia mencoba melakukan kontekstualisasi terhadap gagasan atau ajaran-ajaran teologis yang ditulis dan dikemukakan oleh al-Ghazali.
Teologi yang dimaksud Ulil ini adalah cara seseorang memahami dan berhubungan dengan Tuhan. Lebih lanjut Ulil menjelaskan bahwa cara seseorang berhubungan dengan Tuhan, sangat mempengaruhi bagaimana kita berhubungan dengan manusia lain, alam sekitar, dan bagaimana seseorang mengelola kehidupan secara umum. (halaman. 3) Inilah pengertian yang dimaksud dirinya sebagai aqidah.
Tuhan yang Mahakasih dan Kuasa, Mengapa Menimbulkan Kesengsaraan?
Pemaparan dan pembahasan tentang aqidah menjadi hal yang perlu dilakukan. Lebih-lebih pada masa pandemi Corona yang memaksa semua orang mengubah cara hidup mereka secara drastis, salah satunya adalah kehidupan keagamaan. Seperti, orangyang tadinya biasa beribadah secara berjamaah, kini harus beribadah secara individual di rumah masing-masih.
Dari peristiwa pandemi ini, kemudian muncul sebuah pertanyaan “skeptis” mengapa Tuhan yang Mahakasih dan kuasa, kenapa Dia menimbulkan kesengsaraan pada manusia melalui pandemi Covid-19? Jika sungguh-sungguh berkuasa, kenapa Dia tak segera melenyapkan penderitaan ini agar manusia hidup normal kembali. (halaman. 19).
Pertanyaan skeptis tersebut tidak hanya terjadi di masa sekarang ini saja. Jauh-jauh hari, pertanyaan ini telah dikemukakan dan dibahas oleh para pemikir, teolog, filosof, dan ulama. Menurut Ulil pertanyaan ini merupakan pertanyaan abadi, yang tidak akan tuntas untuk dijawab hingga kapanpun.
Namun, bukan berarti Ulil tidak mau menjawab pertanyaan ini. Dengan “mengutip” argumentasi al-Ghazali, ia menjawab bahwa memang ada kejahatan, penederitaan, penyakit, dan kesakitan di dunia, dari dulu hingga kapanpun. Tetapi apa yang sudah ada saat ini adalah bentuk dunia yang paling mungkin dan sempurna. (halaman. 22).
Artinya, tidak mungkin ada dunia yang sempurna daripada dunia yang ada sekarang, tentunya dengan segala kekurangannya. Apa yang ada dalam skala kecil penderitaan, pasti ada skala yang besar, dan boleh jadi itu merupakan keberkahan.
Misalnya pandemi yang dilihat dari satu sisi merupakan penderitaan yang besar bagi umat manusia. Namun di sisi lain, terdapat hal yang baik yang secara tiba-tiba muncul. Seperti munculnya media Zoom sebagai sarana komunikasi yang baru, dan munculnya para relawan yang baik, yang dengan rela hati menyumbangkan hartanya kepada sesama.
Al-Ilah al-Mutlaq dan Ilah al-Mu’taqad
Dari peristiwa di atas, seyogyanya seorang mampu “husnudzan” dengan penderitaan yang menimpanya. Seorang yang beriman haruslah berprasangka baik kepada Tuhannya.
Memang Tuhan tidak dapat digambarkan dengan ulasan deskriptif apapun, dan manusia hanya mengenali-Nya melalui asma’, sifat, dan tindakannya. Menurut menantu Gus Mus ini, hal tersebutlah yang membedakan antara orang beriman dan ateis
Baca juga: Ensiklopedi Islam: Perbedaan Ulil Amri, Ulil Albab dan Ulil Abshar
Dari sini Ulil Abshar Abdalla mengajukan pertanyaan: lalu siapa Tuhan yang kita percayai ini?
Dengan mengutip Ibnu ‘Arabi tentang pembedaan antara dua level ketuhanan, Ulil menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, ada Tuhan yang tak mungkin ditembus oleh nalar manusia. Inilah yang disebut dengan Tuhan yang Mutlak atau Al-Ilah al-Mutlaq. Gambaran-Nya tidak akan dapat diringkus, baik oleh mata lahir maupun mata batin manusia.
Kedua, Tuhan yang dapat dipahami oleh manusia atau Ilah al-Mu’taqad. Dilevel kedua ini, manusia dapat mengenal Tuhan atau Tuhan dapat dikenali lewat nama, sifat dan tindakan-Nya. Sebab jika Tuhan tidak dapat dikenali, bagaimana manusia dapat bertuhan?
Namun kendati Tuhan dapat dikenali lewat nama dan sifat yang dinisbahkan manusia kepada-Nya, semuanya adalah semacam bentuk cara manusia dalam mendekati Tuhan. Tetapi Tuhan bersih dari gambaran apapun yang ada dalam benak manusia. Inilah yang dikatakan Ulil bahwa prinsip ini dinamai oleh al-Ghazali dengan tanzih, yakni menjauhkan gambaran Tuhan dengan sesuatu apapupun.
Pemahaman seperti inilah, yang dibawa dan dituangkan Ulil Abshar Abdalla dalam catatan-catatan argumentatif dan kritis buku ini. Lewat buku ini, ia berupaya menjawab persoalan-persolan aqidah, baik yang terjadi di masa lalu maupun di masa kini, sehingga buku ini sendiri layak untuk dibaca di tengah-tengah krisis multidimensi dalam tatanan masyarakat beragama. (AN)
Baca juga tulisan lain tentang Ulil Abshar Abdalla
Profil Buku:
Judul Buku: Jika Tuhan Mahakuasa, Kenapa Manusia Menderita?
Penulis; Ulil Abshar Abdalla
Penerbit: Mojok
Tahun: Cetakan Kedua, Juli 2020
Tebal: vii + 186 halaman
ISBN: 978-623-7284-37-6