Penelitian yang saya lakukan ini memang selalu diselingi oleh banyak kejutan-kejutan yang datang dari dalam tradisi. Kejutan yang mengagetkan itu menandakan betapa kaya peradaban kita. Namun hal itu sekaligus juga penanda betapa dangkal pengetahun kita. Juga betapa banyak yang terlupakan, atau sengaja dilupakan dari warisan yang kaya itu. Ketika mengatakan “kita” saya merujuk pada tradisi Islam.
Untuk kepentingan studi, saya diharuskan membaca baik karya primer maupun skunder terkait bagaimana hukum Islam dibentuk pada periode awal, era yang sering disebut sebagai masa pembentukan hukum Islam (formative period). Para sarjana berbeda pendapat terkait rentang waktu masa itu: Orientalis awal seperti Schacht biasanya menandai berakhirnya masa pembentukan hukum Islam pada tahun 850 Masehi/abad 3 Hijri, sementara studi belakangan mengatakan bahwa periode itu selesai pada abad 4 Hijriyah–satu abad lebih lama dari perkiraan Schacht.
Yang menjadi ciri utama periode awal ini, terutam pada satu abad pertama, menurut kalangan sarjana Barat adalah adanya ketidaksesuaian antara praktik umat Islam dengan etika, norma dan hukum Qur’an. Teori ini disederhanakan dengan teori disjungsi (disjunction): norma dan hukum Al-Qur’an kurang dianggap penting dan tidak terlalu dihiraukan pada masa itu. Yang banyak dipakai, menurut padangan ini, adalah praktik administrasi Dinasti Umayyah dan pandangan (ra’y) orang bijak yang lebih banyak dipengaruhi tradisi lokal, terutama Romawi-Bizantium dan Sasania. Al-Qur’an dan Sunnah baru dianggap penting belakangan, terutama setelah Imam Al-Shafi’i mengokohkan teori-teori dasar hukum Islam dalam Al-Risalah.
Asumsi kedua dari pandangan para orientalis awal terkait adanya keterputusan antara tradisi Nabi di Medinah dengan tumbuhnya sendi-sendi dasar hukum Islam. Asumsi ini disederhanakan menjadi teori diskontinuitas (diskontinuity): fundamen hukum Islam lebih banyak berkembang di Syiria dan Irak, dan tidak tumbuh secara organik dari tradisi Nabi di Medina.
Baik asumsi disjungsi maupun diskontinuitas berujung pada satu hal: hukum Islam tumbuh dari pinjaman dan bantuan Romawi-Bizantium dan Sasania dan bukan sebuah produk yang tumbuh secara organik dari evolusi umat Islam sejak dari Medinah. Kalangan ekstrim revisionis bahkan lebih jauh mengasumsikan bahwa Islam yang ada sekarang mungkin tumbuh dari Syria, bukan dari Arabia.
Kedua asumsi ini sudah dibantah. Dan bantahannya kurang lebih terkait bias Eurosentris: para Orientalis mengasumsikan bahwa Arab dan Islam terlalu miskin untuk bisa tumbuh menjadi sebuah peradaban. Mustahil mereka tumbuh dan berkembang tanpa pinjaman dan bantuan Romawi-Byzantium, nenek moyang bangsa Eropa. Islam, karena itu, seperti pada masa kolonialisme di mana orientalisme tumbuh, dianggap seperti kaca-diri dari peradaban Eropa.
Tetapi terlepas dari asumsi dan bantahannya, pendekatan para sarjana tersebut telah mendorong munculnya banyak studi pada era Islam awal dari beragam pendekatan. Dan karena itu studi Islam menjadi sangat kaya.
Ketika membahas praktik umat Islam pada generasi awal, salah satu yang didiskusikan para sarjana adalah praktik konsumsi minuman berakohol. Pada masa itu, praktik ini cukup fleksibel dan tidak sekaku pada masa setelahnya, terlebih masa sekarang. Para sarjana orientalis, dengan fakta ini, lantas mengambil kesimpulan adanya ketidakcocokan antara norma Qur’an dengan praktik umat (asumsi disjungsi). Padahal, kita bisa melihat ini dari sudut pandang lain: adanya keberagaman tradisi sumber rujukan yang pada masa tertentu kemudian direpresi, dihilangkan atau sekedar dilupakan.
Mari kita lihat dinamika yang jarang ditengok itu. Untuk melihat sisa-sisa dinamika terkait konsumsi minuman beralkohol pada masa Islam awal, kita bisa merujuk pada pandangan-pandangan Madzhab Hanafi, Madzhab paling awal dalam tradisi Islam Sunni.
Agar tidak menjadi salah faham, kita mulai diskusi ini dengan sebuah postulat yang disepakati oleh semua ulama, dari masa Islam awal sampai sekarang: bahwa khamr itu diharamkan. Pengharaman itu tidak boleh kita bantah dan kita jadikan saja sebagai sebuah asumsi dengan postulat berbasis keimanan. Di sini saya tidak mau masuk dalam diskusi antropologis atau sufisme seperti sudah didiskusikan oleh Shahab Ahmed.
Yang menyebabkan munculnya dinamika itu adalah definisi apa itu khamr. Di siniah yang menjadi soal. Sebagian besar ulama setelah Hanafi (Maliki, Syafi’i dan Hambali), berpendapat bahwa ‘setiap yang memabukkan haram’. Prinsip ‘banyak atau sedikit, setiap yang memabukkan haram’ menjadi satu-satunya pandangan yang sekarang mapan. Sepertinya tak ada alternatif lain. Padahal, dinamikanya tidak sesederhana itu.
Ulama Irak dan Kufah, yang belakangan diwakili oleh pandangan Madzhab Hanafiah, mempunyai pandangan lain: yang jelas-jelas diharamkan adalah wine/arak yang dibuat dari anggur dan kurma, sementara minuman lain yang punya potensi memabukkan karena beralkohol (selain dari dua jenis buah itu) hanya diharamkan jika dikonsumsi sampai memabukan. Bagi kalangan ini, yang menjadi penyebab keharaman minuman lain selain wine/anggur dan kurma bukanlah substansinya, tetapi sifat memabukkannya.
Artinya apa? Artinya, minuman lain yang mengandung alkohol tetapi bukan terebut dari anggur atau kurma selama dikonsumsi tidak sampai memabukan, diperbolehkan. Atau setidaknya hanya dimakruhkan.
Dari mana para Ulama Hanafiyah ini mengambil kesimpulan itu? Silahkan anda buka Kitab al-Athar karya Imam Al-Shaybani pada halaman 699 sampai 817 (saya memakai terbitan Dar al-Nawadir, Damaskus, terbitan 2008). Buku ini berisi hadis dan atsar sahabat yang dikumpulkan oleh Al-Shaybah dari periwayatan Abu Hanifah, gurunya. Dalam bab-bab di halaman itu kita bisa melihat riwayat tentang konsumsi beragam minuman.
Jika kita menelusuri kitab lain, misalnya dalam Akhbar Al-Qudat karya Waki’ Muhammad Ibn Hayyan (wafat 306), salah atau ulama awal yang menulis buku tentang sejarah dan biografi para qadi/hakim, kita bisa melihat cerita yang membuat kita mengerutkan dahi. Pada halaman 212, ketika Waki’ menceritakan biografi Syuraih, seorang hakim pada masa Islam awal yang sangat dihormati, mengatakan bahwa Syuraih Al-Qadi meminum tila’ yang keras (tila al-shadid) yang disebut munassaf. Tila‘ adalah sejenis minuman keras mengandung alkohol yang juga berbahan anggur namun dibuat dengan proses yang berbeda dengan wine. Di halaman 226, cerita dari jalur periwayatan serupa, yakni dari Imam Ahmad Ibn Hambal, juga diulang. Kali ini, Al-Sya’bi, juga salah satu ulama dan Qadi yang dihormati, mengatakan bahwa dia ‘minum-minum tila’ bersama Syuraih. Kok bisa Qadi sekelas Syuraih dan Al-Sya’bi mengkonsumsi minuman (yang diduga beralkohol). Informasi mengenai minuman tila ini juga bisa dilihat di banyak riwayat hadis (jika mau mudah anda cek dengan Maktabah Al-Shamilah).
Jika kita lantas menelusuri jenis-jenis minuman dalam kitab-kitab klasik, kita akan menemukan beraneka macam, seperti tila’, badhiq, munassaf, bukhtuj, jumhuri, naqi, nabidh, sakar, fadikh, dan tentunya khamr. Semua minuman itu rata-rata dibuat dari anggur dan kurma, dua jenis buah yang memang tersedia di Arabia. Yang membedakan mereka adalah cara pembuatannya. Tila, misalnya, adalah jus anggur yang dimasak sampai airnya menyusut dan tinggal sepertiga. Munassaf, mirip seperti tila’ namun dengan kandungan air jus yang lebih banyak. Badhiq adalah jus anggur yang dimasak dan airnya menyusut setelah fermentasi dan lantas dikonsumsi sebelum airnya mendidih. Khamar, yang paling umum kita tahu, adalah minuman dari jus anggur yang didiamkan melalui fermentasi alamiah (tidak memalui proses pemasakan) sampai jus tersebut mengeluarkan busa air.
Tila‘, dan minuman lain seperi badhiq dan nabidh adalah minuman umum yang biasa dikonsumsi, meski sebagian mengandung alkohol. Yang jelas-jelas dilarang, setidaknya jika kita mengambil kesimpulan Madzhab Hanafiah adalah khamr, arak anggur atau kurma dari hasil fermentasi alamiah. Minuman lain diperbolehkan dalam jumlah yang tidak memabukan. Dengan demikian, prinsip ‘banyak atau sedikit untuk setiap yang memabukan adalah haram’ tidak disepakati ulama Hanafi. Prinsip itu hanya berlaku untuk khamr, tidak untuk jenis minuman lain.
Bisa juga qiyasnya menjadi begini: semua minuman yang mengandung alkohol melalui fermentasi alamiyah seperti wine yang jelas diharamkan. Bahannya bisa dari beras atau dari gandum. Namun tidak serta merta yang mengandung alkohol menjadi haram. Tentu ini jika kita mengikuti alur logika diskusi ini.
Tulisan ini tidak ingin mengatakan bahwa khamr boleh di konsumsi. Sebagaimana saya katakan, wine atau khamr, jelas secara qathi’ diharamkan. Yang ingin saya ungkap dalam tulisan singkat ini sederhana saja: fariasi sumber rujukan yang beragam yang merupakan bagian dari kekayaan tradisi kita yang kita lupakan. Fariasi dan dinamika ini perlu kita jaga dalam kesadaran umat sebagai bagian dari usaha kita melestarikan tradisi.
*) Zezen Zainal Mutaqin, mahasiswa doktoral University of California at Los Angeles (UCLA)