The Egg Boy
Ungkapan duka cita, simpati, dan solidaritas dari kalangan umat Islam di se-antero jagat terhadap korban aksi terorisme di Selandia Baru dan kutukan terhadap pelaku sudah semestinya dan sewajarnya. Berbagai ungkapan itu menunjukkan adanya ikatan keagamaan yang kuat laksana satu tubuh dalam diri umat Islam. Hal yang sama jika yang menjadi korban adalah umat Kristen atau Yahudi. Solidaritas dan simpati dari kalangan internal agama sekali lagi wajar dan biasa saja.
Tetapi ungkapan yang sama dari kalangan umat Yahudi atau Kristen, di berbagai tempat di belahan dunia, menunjukkan gejala yang luar biasa dan menarik. Ungkapan itu menunjukkan masa depan kehidupan umat manusia yang berbeda-beda masih ada. Bunga-bunga di kebun yang luas masih akan tumbuh dan mekar. Hasrat akan perdamaian masih kuat dan kasih sayang antarmanusia masih menjadi landasan. Semua itu sangat mengharukan dan melegakan.
Salah satu ekspresi yang plastis dikemukakan oleh pemuda Australia Will Connoly. Ia murka terhadap politisi sayap kanan Fraser Anning, yang sehari setelah peristiwa itu dalam sebuah konferensi pers sama sekali tidak menyatakan duka cita dan kesedihan atas peristiwa tersebut.
Sebaliknya, memanfaatkan insiden itu, ia ingin menyedot perhatian dari pendukungnya yang juga sama rasisnya, dengan mengecam dan menyalahkan korban, para imigran Muslim. Will Connoly marah, dan khas anak muda, ia kemudian melempar sang politisi dengan telur busuk. Anning secara spontan kemudian bangkit dan memukul Connoly. Para pendukungnya dengan beringas melakukan hal yang sama. Connoly dipukul dan ditendang.
Mata kamera menangkap adegan ini. Dalam sekejap, peristiwa ini tersebar. Sang politisi mendapatkan kecaman, dan Connoly mendapatkan dukungan. Sebuah petisi bahkan disebarkan untuk memecat Anning dari kursi parlemen. Penampilannya yang tak lebih baik dari preman bioskop dianggap tidak pantas duduk di parlemen. Connoly, si “egg boy” sendiri kemudian menjadi pahlawan dan sekaligus lambang bagi harapan kehidupan dunia yang damai dan multikultural. Connoly memang baru 17 tahun, dan itulah mengapa dia jadi seperti sebuah harapan.
Setiap kali insiden terorisme terjadi, selalu ada politisi atau tokoh seperti Fraser Anning ini. Ia karena itu bukan satu-satunya dan bukan ada di Australia saja. Manusia sejenisnya ada di berbagai tempat, termasuk di Indonesia. Dan kenyataan itulah yang membuat kita layak bersedih.
Kendati demikian, anak muda seperti Will Connoly juga bukan satu-satunya dan bukan di Australia saja. Anak muda sejenisnya juga ada banyak di Indonesia. Dan ini yang mendorong kita harus selalu optimis pada kehidupan masa depan yang damai.
Bukan tidak mungkin suatu saat anak muda seperti Connoly di Indonesia melakukan hal yang sama: melempar telur busuk kepada politisi rasis dan antikeragaman.
Saya tentu tidak berharap demikian.