Sebagai kelompok yang mewarisi ajaran dan strategi kebudayaan Walisongo, Nahdlatul Ulama (NU) selalu menggunakan cerita wayang dalam dakwah bahkan kampanye politiknya. Cara itu tidak selalu dalam bentuk pagelaran wayang yang utuh, melainkan dengan mengambil ibarat dan hikmah cerita wayang.
Di samping cara itu sangat komunikatif bagi warga yang sangat lekat dengan jagat pewayangan. Kebetulan dalam cerita wayang itu banyak tokoh karikatural yang mudah dijadikan sebagai kiasan untuk kondisi sosial tertentu. Bagi NU yang memiliki ajaran moral dan perilaku tertentu memerlukan contoh bagaimana karakter orang yang mengenal dan mengamalkan ajaran NU dan orang yang sama sekali belum menjadi komunitas NU.
Dalam berbagai ceramahnya di majelis dakwah seringkali Kiai NU mengungkap ucapan: ”Saudara-saudara jelaslah orang NU adalah orang terbaik. Saudara sendiri bisa melihat dalam pewayangan: Wayang yang NU itu baik, wayang yang belum masuk NU itu tergolong jahat!” Sorak sorai menyambut ucapan sang muballligh itu.
”Jangan sorak dulu ini saya beri contohnya, sudara tahu Pendeta Dorno, dia itu pendeta culas, rakus, pengkhianat dan tampangnya pun penuh cacat!” kembali hadirin riuh bertepuk tangan. “Itulah contoh orang atau masyarakat yang Dorno artinya Durung NO (Belum NU)”. Hadirin mengangguk puas.
“Kalau orang sudah mengenal NU tentu akan menjadi orang baik, saling menolong, melindungi dan selalu berbuat adil. Coba sudara lihat di wayang ada Betara Wisnu dia itu sebagai pelindung jagat yang selalu berbuat baik dan adil serta bertampang rupawan. Semuanya itu terjadi karena dia itu Wisnu artinya Wis NO (Sudah NU).” Hadirin menyambut dengan tepuk tangan.
Ternyata contoh pewayangan itu kemudian juga dipakai oleh para juru kampanye dalam Pemilu baik tahun 1955 maupun 1971 dan lumayan mampu memberikan daya tarik masyarakat. Cara itu juga penting bagi NU untuk menegaskan identitasnya serta moralitasnya.