Waspadalah, Kotak Pandora Berisi Hoaks dan Kebencian Ada di Sekitar Kita

Waspadalah, Kotak Pandora Berisi Hoaks dan Kebencian Ada di Sekitar Kita

Ada sebuah pandora yang terbuka dan ia bernama hoaks dan kebencian

Waspadalah, Kotak Pandora Berisi Hoaks dan Kebencian Ada di Sekitar Kita
Jakarta dinaungi awan kebencian. Ilustrasi by Toto Prastowo

Ketika akses informasi dibuka dengan mudah, selalu ada konsekuensi logis yang akan terjadi: informasi yang melimpah ruah. Akan tetapi, hal tersebut membuka kotak Pandora yang seharusnya tidak dibuka. Kotak Pandora tersebut berisi ujaran kebencian, hoax, SARA, dan lain sebagainya. Konon, hal itu sengaja diproduksi, baik untuk melawan individu, lawan politik, hingga membunuh karakter seseorang.

Sayangnya,  kebanyakaan dari kita pengguna gawai kebanyakan mengkonsumsi informasi dan membagikan tanpa peduli kualitas kebenaran informasi tersebut. Apabila ketidakpedulian tersebut terus berlanjut, bukan tidak mungkin informasi yang ada di sosial media berseliweran konten tidak benar.

Baru-baru ini, saya mendapatkan kesempatan mengikuti forum grup diskusi yang diadakan oleh Wahid Foundation (07/03) yang dihadiri oleh ahli media sosial, peneliti, aktivis dan pelbagai profesi lain. Acara tersebut bertema “Memperkuat Peran Media Mainstream Dalam Melakukan Kontranarasi”. Adapun materi yang menarik perhatian saya dalam acara ini ialah, “Peta Konten Dan Aktor Radikal Di Media Sosial dan Media Online”.

Pembahasan tersebut hadir pada sesi kedua, sebagai presenter Hasanuddin Ali selaku Founder and CEO Alvara Research Center. Materi yang disampaikan oleh Hasanuddin, sejujurnya memberikan gambaran cukup komprehensif tentang kondisi pengguna media sosial Indonesia. Gambaran cukup gamblang diberikan mulai dari penetrasi pengguna internet, hadir angka 54.68% atau setara dengan 143.23 jiwa dari total populasi penduduk Indonesia 262 juta jiwa.

Dari data tersebut 83.4% ialah generasi millennial yang lebih banyak mengakses internet, dibandingkan dengan gen X, Y, dan Z. Kemudian dibagi pada segmen penggunaan internet dengan durasi waktu menjadi; pertama, light user (5.1%) adalah pengguna internet yang rendah. Kedua, medium user (44.1%) adalah pengguna internet di bahwa 3 jam/hari. Ketiga, heavy users (31.9%) adalah pengguna internet 4-6 jam/hari. Dan terakhir addicted users (18.9%) adalah menggunakan internet lebih dari 7 jam/hari.

Temuan para addicted users merupakan generasi millennial dengan kisaran umur 17-25 tahun, Hasanuddin Ali mengatakan,“Temuan yang kami dapatkan, para addicted users memberikan posisi lebih penting kepada internet, atau dapat dikatakan internet sebagai pacar atau istri pertama pada kehidupan pengguna tersebut. Kebanyakan millennial muda lebih tinggi, dibandingkan millennial tua. Ciri dari pengguna yang addicted users ialah, memeriksa gawai lima menit sekali ada atau tidak adanya notifikasi.”

Segmentasi yang hadirkan peneliti utama Alvara Research Center itu, bagi saya, begitu penting karena dapat memudahkan para akademisi atau peneliti, dalam menentukan responden yang paling cocok atas penelitian lanjutan. Tak hanya itu, pembagian tersebut memberikan penggambaran yang bisa jadi menginterpretasikan pengguna gawai dan media sosial saat ini.

“Hasil yang didapatkan pula oleh Alvara Research Center, layanan yang banyak diakses oleh masyarakat dewasa ini ialah, layanan pesan singkat hadir dengan persentase 89.35%. Lebih kecil dari penggunaan media sosial (87.13%), mesin pencarian (74.84%), melihat foto dan gambar (72.79%), menyaksikan video (69.64%), mengunduh video (70.23%), mengunduh gambar (56.77%), dan membaca artikel (55.30%), adapun yang paling rendah ditempati oleh pelbagai transaksi perbankan (7.39%),” papar Hasanuddin Ali.

Penggambaran tersebut masih pada tataran segmentasi pengguna kemudian juga umur, adapun pada kelompok penggunaan aplikasi yang hadir. Alvara Research Center menempatkan Facebook sebagai platform yang lebih banyak digunakan oleh pengguna Muslim, diikuti dengan Instagram, Twitter dan yang terakhir ialah Path. Akan tetapi dari pelbagai platform tersebut, Twitter lebih banyak digemari oleh generasi X yang berumur 36 tahun ke atas.

Oleh karenanya, permasalahan politik begitu ricuh hadir ketika di platform tersebut apabila dibandingkan dengan platform lainnya.

Lalu, diskusi pun berlanjut dengan pertanyaan penting, apabila dikaitkan dengan keagamaan, dari mana sumber informasi kehidupan keberagamaan masyarakat? Hasanuddin Ali memberikan keterangan yang justru membuat kita bergidik.

“Survei yang pernah dilakukan Alvara Research Center pada tahun 2013, tokoh agama masih menjadi sumber primer masyarakat (92.8%), diikuti dengan stasiun televisi (90.1%), buku (58.9%), organisasi keagamaan (21.2%), dan internet (20.6%). Dugaan saya, tahun ini internet akan naik secara signifikan menempati posisi ketiga,” jelas alumnus Institute 10 November Surabaya (ITS) Surabaya ini.

Lalu, bagaimana seharusnya islam ramah dan moderat mengisi ruang ini, apakah tetap kalah dengan islam konservatif lainnya?

Hal ini tentu harus dipelajari lebih lanjut. Tidak dapat dipungkiri hal tersebut kontribusi dari media mainstream, yang pada akhirnya memberikan pengaruh pada diskursus keagamaan level akar rumput sekarang ini.

Oleh karenanya, para pembuat konten sosial media perlu rasanya memberikan pandangan alternatif, agar diskursus keagamaan pada level akar rumput lebih dinamis dan berkembang tidak hanya pada tataran elit Muslim yang berkemajuan atau pun moderat.

“Perlu langkah nyata bagi para untuk memproduksi alternatif konten yang lebih dinamis pada isu keagamaan, agar pada akhirnya memberikan jatah lebih panjang kepada generasi millennial, dalam melihat isu keagamaan yang lebih positif, ramah, indah dan cantik dipandang, yang pada akhirnya menutup pelbagai konten radikalisme yang hadir,” tutup Hasanuddin Ali.

Tentu saja masih banyak hal lain yang penting untuk diketengahkan, tapi setidaknya hal-hal itu yang saya dapatkan dari forum grup diskusi bersama pelbagai jaringan Wahid Foundation, yang pada akhirnya memberikan gambaran terkini tentang hutan belantara yang begitu luas, bernama dunia maya.

Untuk itulah, sebagai muslim, tentu saja sejarah hadis palsu telah memberikan gambaran dalam sejarah kita bahwa kita tidak bisa serta merta menerima informasi, harus ada proses tabayun atau verifikasi agar tidak salah melangkah. Dan dalam dunia kekinian, hal itu begitu penting mengingat dunia maya kita yang dipenuhi sentiment negatif, berita palsu dan hoaks dan sebuah kotak Pandora yang berada dekat dengan diri kita, dalam gawai yang kita pakai.