Manusia sebagai khalifatul ardhi dalam melestarikan generasi di muka bumi ini salah satunya dengan perkawinan. Tentunya, dalam Islam suatu pernikahan bisa sah setelah rukun-rukun dan ketentuan pernikahan terpenuhi.
Apabila salah satu rukun nikah tidak ada (tidak lengkap), maka pernikahan tidak sah menurut syara’. Rukun pernikahan adalah sesuatu yang harus ada dalam pernikahan dan merupakan hakikat dalam pernikahan itu sendiri. Apabila hal itu tidak dipenuhi, maka mengakibatkan batalnya pernikahan.
Maka dengan demikian, salah satu rukun yang harus terpenuhi di dalam suatu pernikahan adalah adanya wali dari calon mempelai wanita. Wali adalah seseorang yang memiliki kekuasaan untuk mengakadnikahkan seorang perempuan yang ada dibawah perwaliannya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa wali nikah merupakan syarat sah sahnya nikah. Perwalian dalam istilah fikih disebut “wilayah” yang berarti “penguasaan dan perlindungan.” Maka dengan demikian, yang dimaksud dengan perwalian adalah penguasaan penuh yang diberikan oleh syara’ kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang-orang atau barang yang berada dibawah kekuasaannya.
Wali dalam perkawinan adalah orang yang melaksanakan acara akad nikah. Dengan adanya wali dari pihak perempuan, maka pernikahan dapat dilansungkan. Uraian di atas merupakan pengertian wali nikah secara umum karena dalam klasifikasi wali nikah ada yang diistilahkan dengan wali mujbir.
Dalam hal ini penulis ingin menjelaskan pengertian tentang pengertian Wali Mujbir menurut fiqh Syafi’iyah. Salah seorang ulama terkenal bernama ‘Ali bin Naif As-Suhudi dalam kitab Mifshal mengatakan bahwa:
الولي المجبر من له عليه ولاية إجبار كالصغيرة والمجنونة
“Wali mujbir adalah seseorang yang punya kekuasan penuh untuk menikahkan secara paksa, seperti menikahi gadis kecil dan perempuan gangguan jiwa.”
Sementara itu menurut Syekh Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitab Fiqh A’la Mazahibil Arba’ah mengatakan bahwa:
قالوا : الولي المجبر هو الأب والجد وإن علا والسيد
“Mereka berpendapat: Wali mujbir adalah Ayah dan Kakek hingga seterusnya dan sayid.”
Berdasarkan dari pengertian di atas, mayoritas ulama mazhab Syafi’i berpendapat wali mujbir adalah seseorang yang mempunyai kekuasaan penuh yaitu Ayah, Kakek dan Sayid untuk menikahkan anak perempuan secara paksa (tanpa izin dari anak perempuan), Hak wali tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun selama ia dapat menjalankan tugas sesuai dengan ketentuan agama, dan menjamin serta dapat memastikan kebaikan untuk anaknya.
Wali mujbir mempunyai kekuasaan penuh terhadap gadis bikir (perawan), berbeda halnya dengan janda, Sebagaimana sabda rasulullah SAW berikut ini:
قال النبي صلى الله عليه وسلم قال الثيب أحق بنفسها من وليها والبكر يزوجها ابوها (رواه البخارى
Rasulullah SAW Bersabda:”Wanita yang janda lebih berhak atas dirinya dari pada walinya sedangkan anak gadis dinikahkan oleh bapaknya. (H.R. Bukhari).
Rasulullah Saw membedakan antara perawan dengan janda dalam hal paksaan, yang demikian itu karena wanita yang perawan banyak malunya jika berbicara dalam hal perkawinan. Adapun janda sudah pernah merasakan perkawinan, maka bisa diajak bicara dalam hal perkawinan. Kedudukan wali dalam acara pernikahan atau aqad nikah mutlak diperlukan dan merupakan syarat yang harus dipenuhi bagi calon isteri.
Oleh karena itu seorang wali harus mempunyai kriteria atau syarat-syarat sebagai berikut:
Pertama, Baligh (dewasa atau sampai umur);
Kedua, Laki-laki (bukan perempuan dan khunsa);
Ketiga, Islam (bukan kafir atau orang murtad);
Keempat, Merdeka (bukan budak);
Kelima, Tidak berada dalam pengampuan atau Mahjur ‘alih
Keenam, Berpikiran baik, berakal (bukan orang gila);
Ketujuh, Adil (tidak fasik)
Kedelapan, Tidak sedang melakukan ihram
Wallahu A’lam.