Walaupun Benar, Bolehkah Menyebar Keburukan Orang Lain?

Walaupun Benar, Bolehkah Menyebar Keburukan Orang Lain?

Walaupun Benar, Bolehkah Menyebar Keburukan Orang Lain?

عَنْ حُذيْفَةَ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَجُلًا يَنِمُّ الْحَدِيثَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ

Diceritakan dari Ḥudzaifah bahwa ia mendengar kabar mengenai seseorang melakukan tindakan yang disebut namimah. Lalu ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidak akan masuk surga orang yang banyak melakukan tindakan namimah’.” HR Muslim.

Sementara itu Rasulullah suatu hari bertanya kepada para Sahabat beliau, “Tahukah kalian arti namimah?” Mereka menjawab, “Allah dan Utusan-Nya lebih tahu. Beliau lalu bersabda, “Artinya: mengambil pembicaraan sebahagian orang dan menyampaikannya kepada sebahagian yang lain untuk membuat rusak hubungan di antara mereka.”

Kelihatan di sini bahwa yang menjadi inti dari perbuatan dimaksud adalah merusak hubungan di antara anggota masyarakat dengan menyebarkan berita. Di situ tidak disebutkan apakah berita itu benar atau salah. Berita yang benar bisa jadi menimbulkan perasaan tidak enak bagi yang mendengarnya maupun bagi yang disebut di dalamnya. Misalnya, berita mengenai aib seseorang. Tentu ketika disebarkan, berita tentang aib itu tidak menyenangkan orang yang menyandangnya. Orang yang mendengar pun bisa jadi menjadi terpengaruh, ketika, misalnya aib itu berupa tindakan yang menyebabkan dirinya tertimpa kemalangan tertentu.

Karena itu, menyebarkan berita seperti itu, walaupun isinya benar, termasuk dalam tindakan namīmah yang menyebabkan orang yang sering melakukannya tidak akan masuk surga.

Apalagi kalau berita itu bohong atau hoax; tentu keburukannya jadi berlipat.

Perkecualian memang ada. Di dalam tradisi keilmuan Islam terdapat ilmu yang disebut jarḥ wa-ta‘dīl, yakni penyelidikan mengenai hal-ihwal seseorang yang dijadikan pegangan dalam periwayatan hadis. Semua tokoh periwayatan hadis diselidiki dan dicatat keadaan pribadinya yang berkaitan dengan kekuatan hafalan, akhlaq, kemampuan memahami, kehati-hatiannya dalam menyampaikan berita dst. Ini dimaksudkan agar hadis yang diambil dari dia dapat dinilai kesahihannya. Tentu di situ termasuk aib dan kekuarangan, di samping kelebihannya.

Kata jarḥ berarti melukai atau, lebih mudahnya, menguliti hingga kelihatan dalamannya. Tentu bukan keadaan fisiknya yang dikuliti, melainkan sifat-sifatnya yang selama ini hanya diketahui sedikit orang. Ta‘dīl berarti menilai keadilannya, yakni apakah seseorang yang diselidiki itu dapat disebut adil atau tidak, setelah disingkap sifat-sifatnya itu.

Sejalan dengan itu, semestinya menyelidiki hal-ihwal seseorang yang akan diserahi pekerjaan atau jabatan pun boleh dilakukan, bahkan sebenarnya harus dilakukan. Menyediakan hasil dari penyelidikan itu untuk dapat diakses setiap orang yang berkepentingan pun semestinya dilakukan. Alasannya yang paling utama adalah agar orang tidak salah dalam melakukan pemilihan. Jangan sampai orang yang dipercaya mengurusi kepentingan orang banyak ternyata tidak cakap, tidak amanah, tidak cermat atau bahkan melakukan tindakan yang tidak semestinya dilakukan.

Kebenaran mengenai calon pemegang mandat mesti dibuat mudah diketahui oleh orang-orang yang berhak untuk memilih, tetapi hoax tidak boleh disebarkan.