Waktu Terbuang, Waktu Terbilang

Waktu Terbuang, Waktu Terbilang

Waktu Terbuang, Waktu Terbilang

Minggu demi minggu berlalu, hampir tidak ada di antara kita, yang bisa mengklaim kelebihan waktu. Semua terburu-buru, di ruang kelas atau meja makan, di tempat rapat atau taman bermain. Bahkan bagi anak sekalipun, hilang kemewahan yang kita rasakan dulu — diajak berbincang dari hati ke hati, dibiarkan melamun menabung mimpi.

Kita punya alasan penting, berpacu dengan waktu, dan menjadi “terlalu” produktif. Padahal data menunjukkan, yang mendorong seseorang terus kreatif justru kesempatan sejenak reflektif. Kita punya urusan genting, mengaku tak punya waktu, dan menunda menikmati hubungan. Padahal riset membuktikan, yang menumbuhkan kekeluargaan bukan hanya kualitas interaksi tapi syarat jaminan kuantitas waktu memadai.

Katanya, ada dua tipe manusia, yaitu: menyesali hal-hal yang mereka lakukan, dan menyesali hal-hal yang tidak dilakukan. Entah kenapa, kalau dipaksa memilih, saya merasa kelompok pertama lebih beruntung dengan waktu daripada kelompok kedua. Mungkin karena saya juga merasa, bahwa salah satu kata tersedih untuk diucapkan adalah “seandainya…”.

Sebagai perempuan, saya tumbuh dengan kesadaran bahwa hubungan waktu dengan gender juga tidak sederhana. Katanya, perempuan pintar menyelesaikan banyak tugas bersamaan. Saya tahu, buat kita ini bukan pilihan, tapi karena setiap saat kita menjalankan banyak peran. Saya yakin, misalnya, tidak ada satupun di antara kita yang menjadi Ibu paruh waktu – walaupun sibuk di pekerjaan dan arisan atau di perjalanan dan bersama pasangan.

“Tipu daya” waktu luar biasa, bahkan untuk orang dengan pengetahuan atau jabatan tinggi. Kita sulit memutuskan pekerjaan prioritas atau jarang membuktikan cinta dengan perhatian- kecuali saat sudah terlambat. Di sini gunanya mendengarkan alarm diri, di sini berharganya punya seseorang yang peduli.

Ada hal tertentu yang memang tidak bisa dipaksakan, tapi harus dipelajari perlahan dengan pengalaman – berikut beberapa hal yang saya coba praktikkan:

1. Memenuhi kebutuhan diri, misalnya untuk olahraga, bukan soal adanya waktu tersisa, tapi perlu masuk ke daftar yang harus dilakukan agar biasa.

2. Berempati pada kebutuhan kekasih yang berarti, bisa ditunjukkan dengan sederhana apabila kita berkonsentrasi. Hadir sepenuh hati dan sepenuh tubuh, tanpa distraksi, membuat waktu bersama selalu dirindu.

3. Percayalah, kesibukan bukan tujuan. Bukan juga indikator pentingnya seseorang. Tak perlu merasa istirahat adalah waktu terbuang. Sesungguhnya banyak hal menjadi lebih bermanfaat saat kita bisa mengatakan “tidak”.

4. Transisi waktu dan waktu transisi, seringkali kurang kita manfaatkan. Padahal banyak kebutuhan yang bisa diselesaikan di antara berbagai peran atau di sela perjalanan.

5. Mendelegasikan kewenangan dan menggunakan teknologi, adalah keterampilan yang mutlak dimiliki. Kebanyakan kita terperangkap di situasi yang berlawanan, terlalu banyak membebani diri atau justru dikuasai gawai.

Sebagaimana banyak hal dalam pendidikan, sebagian strategi ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Semoga menghabiskan waktu membaca dan menulis catatan di akhir pekan ini, membuat kita beruntung. Membantu diri sendiri, terus berlatih setiap hari.[]