“Satu-satunya orang yang pantas menjadi musuh saya di negeri ini adalah Pak Harto. Itu pun saya masih berkunjung ke sana saat lebaran. Artinya, ya saya tidak punya musuh”.
Kutipan di atas merupakan sepenggal kalimat dari peryataan almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat menghadiri acara talk show di salah satu stasiun televisi swasta, beberapa tahun yang lalu.
Syahdan, bagi masyarakat Indonesia, yang sudah akil baligh atau setidaknya yang telah memiliki KTP, saya kira mengenal dua sosok di atas. Pak Harto dan Gus Dur. Sama-sama sebagai negarawan teras atas meski berbeda orientasi.
Pak Harto, sebagai Presiden ke-2 Republik Indonesia berlatar militer, terlepas dari preseden buruk tentangya, setidaknya telah berusaha menampilkan Indonesia sebagai potret negara digdaya pangan, gemah ripah loh jinawi, dalam kancah internasional.
Sementara, Gus Dur, Presiden ke-4 Republik Indonesia beralatar santri, terlepas dari sikap kontrovesialnya, setidaknya telah berusaha menampilkan wajah Indonesia yang mampu menjaga persatuan di tengah realitas keberagaman.
Semasa hidupnya, Pak Harto dan Gus Dur laiknya serial kartun Tom & Jerry. Selalu berseberangan dalam konteks pandangan politik. Terbukti, dalam masa-masa akhir jabatan Pak Harto sebagai RI satu, waktu itu, Gus Dur merupakan salah satu yang membikin ending jabatan Pak Harto anti-klimaks.
Demikian halnya Pak Harto. Dalam beberapa kesempatan Muktamar NU, Pak Harto tidak pernah henti turut “intervensi” menyingkirkan Gus Dur yang dianggap sebagai ancaman rezim, sebagai orang yang berpengaruh dalam jajaran petinggi NU. Meski pada akhirnya sejarah tetap berpihak kepada Gus Dur, alias intervensi Pak Harto tidak mengubah pandangan umat dalam memosisikan Gus Dur sebagai Ketua Umum NU beberapa periode.
Kendati demikian, sebagaimana diungkapkan oleh Gus Dur pada kutipan di atas, keduanya masih tetap bersilaturahim dengan baik. Saling memaafkan. Satu hal yang langka ditemui pada kondisi Indonesia hari ini.
Sebagaimana pernah disampaikan oleh Presiden Jokowi pada satu kesempatan, yang pada intinya, bahwa yang membikin bangsa ini tidak maju adalah kita terlalu disibukkan oleh perkara yang tidak produktif (kalau boleh menambahkan, tidak substantif): kabar bohong, hujat menghujat, urusan demo, fitnah, dan lain sebagainya.
Bahkan tidak hanya itu. Orang menjadi tersesat di masjid. Mimbar-mimbar keagamaan yang semestinya menghadirkan keteduhan sebagai ladang mencari petunjuk, beberapa justru berubah orientasi menjadi mimbar pertikaian dan kecurigaan.
Kini, Pak Harto dan Gus Dur telah tiada. Namun keduanya memberi teladan, bahwa setajam apapun perbedaan pandangan politik, tetaplah memanusiakan manusia. Gus Dur mengetuk pintu, dan pak Harto mempersilakan masuk, bukan dalam rangka pembahasan agenda politik kepentingan. Namun, untuk sama-sama meminta dan memberi maaf.
Andai saja, kemesraan itu diamalkan oleh antar pejabat maupun lembaga negara kita saat ini, betapa indahnya bangsa kita. Rakyat maupun umat pun akan merasa tentram dan damai melihat pejabat kita tidak saling menghujat, namun sama-sama memikirkan masa depan Indonesia menyongsong era baru yang lebih baik. Dan Idul Fitri merupakan momentum yang tepat untuk itu.
Selamat berlebaran. Mari lebur dosa sosial dengan saling meminta dan memberi maaf, sebelum maaf itu dilarang..
Anwar Kurniawan, Santri Pondok Pesantren Sunan Pandanaran.