Sebetulnya, seperti apa wajah umat Islam Indonesia? Banyak peristiwa besar yang berkaitan dengan umat Islam terjadi beberapa tahun belakangan ini, mulai dari aksi 212 hingga terpilihnya KH. Ma’ruf Amin sebagai wapres. Lantas, siapa yang yang jadi representasi Islam Indonesia? Apakah kelompok 212 yang anti Ahok, atau sosok KH. Ma’ruf Amin yang seorang NU, atau seperti Jokowi; muslim, tidak berlatar pesantren, berpartai PDIP, berasal dari Solo yang kental kultur Jawa?
Pertanyaan-pertanyaan itu mengiringi pembacaan saya terhadap buku Wajah Muslim Indonesia besutan Hasanuddin Ali & Lilik Purwandi. Buku berbasis riset kuantitatif yang cukup komprehensif menggambarkan paras muslim Indonesia. Buku itu mengupas sejumlah hal penting, seperti makna agama bagi muslim Indonesia, potret ormas Islam di Indonesia, keberagamaan generasi milenial, tren kelas menengah muslim dll.
Pada kata pengantar, Nadirsyah Hosen (Gus Nadir) mengatakan data-data pada buku Wajah Muslim Indonesia boleh jadi akan mengakhiri perdebatan modernis-tradisionalis dan santri-abangan yang dulu pernah mengemuka. Pasalnya, menurut Gus Nadir, riset Hasanuddin Ali & Lilik Purwandi menemukan 90 % muslim Indonesia merayakan maulid Nabi, 71,7 % melaksanakan qunut Subuh, dan 45,9 % menjalakan tarawih 23 rakaat.
Data tersebut tentu menarik sekali. Mengingat selisih angka dari mereka yang merayakan maulid Nabi dan qunut Subuh. Gus Nadir menduga umat Islam di Indonesia masa kini lebih banyak melaksanakan ritual tradisional tapi tetap selektif-pragmatis.
Mencermati sejumlah data di buku tersebut saya teringat pemaparan Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) dalam sebuah diskusi. Menurutnya, hari ini muncul gejala tinkering. Tinkering dimaknai sebagai gejala umat masa kini yang gemar merumuskan paham keagamaan berdasarkan adonan yang ia bikin sendiri. Serupa dengan anak muda yang gemar utak atik mesin. Tinkering terjadi lantaran hari ini kita berlimpah informasi keagamaan.
Nah, data yang menunjukkan perbedaan angka antara orang-orang yang merayakan maulid, membaca qunut dan tarawih 23 rakaat dapat dibaca sebagai gejala tinkering. Bisa jadi ia memang merayakan maulid, tapi karena alasan praktis lebih memilih salat tarawih 11 rakaat di masjid dekat rumah. Fenomena ini boleh jadi mudah kita jumpai di perkotaan. Resep adonan beragama dibuat sendiri, berbekal internet, seiring semakin runtuhnya otoritas keagamaan tradisional dan pudarnya pesona ormas Islam. (Lebih lanjut tentang tinkering baca artikel Paul K. McClure berjudul Tinkering with Technology and Religion in the Digital Age: The Effect of Internet Use on Religious Belief, Behavior and Belonging).
Hal menarik lain yang dapat kita temukan pada buku Wajah Muslim Indonesia adalah data mengenai pendakwah panutan muslim milenial. Mamah Dedeh berada di nomor pertama, disusul kemudian Aa Gym dan Yusuf Mansur. Muslim milenial juga memiliki ciri penting di antaranya adalah belajar Islam di sosial media dan gemar berbagi informasi. Penelitian tentang generasi milenial memang menarik, tapi tampaknya kita mesti bergeser kepada riset-riset tentang Gen Z.
Demikianlah sisik melik keberagamaan umat Islam Indonesia yang direkam oleh buku Wajah Muslim Indonesia. Selain yang telah disebutkan di atas, buku ini juga mendedah fenomena kelas menengah muslim yang memiliki sejumlah tren seperti umroh, produk keuangan syariah, produk halal dan filantropi. Dibahas juga sejumlah tantangan muslim Indonesia mendatang: intoleransi, radikalisme, politisasi agama dan hoaks.
Keunggulan buku ini, saya kira, adalah data kuantitatif yang jarang kita temukan pada buku lain yang menggambarkan Islam Indonesia. Poin plus-nya data-data aktual itu disajikan oleh seorang pakar yang sudah malang melintang di dunia riset. Buku Wajah Muslim Indonesia, sebagaimana kata Gus Nadir, berhasil melihat Islam sebagai “living religion”.
Judul : Wajah Muslim Indonesia
Penulis : Hasanuddin Ali & Lilik Purwandi
Halaman : 210 halaman
Penerbit : islami(dot)co
Tahun terbit : I, 2019