Fenomena Islam pada akhir Orde Baru cukup menarik untuk dibincangkan. Hal itu berkaitan dengan perubahan pola pencitraan dan pengomunikasiannya kepada masyarakat di dalam pemerintahan Soeharto. Soeharto pada masa-masa sebelum 1980 hingga 1990-an, bagi pihak-pihak tertentu, dianggap senantiasa berbenturan dengan nilai-nilai keIslaman.
Perubahan yang ditunjukkan Soeharto pada akhir-akhir masa pemerintahannya, atas pandangan dan sikapnya terhadap Islam dan komunitasnya, disambut dengan berbagai respons dari masyarakat dan tokoh-tokoh penting di Indonesia.
Ada beberapa pihak yang masih menganggap perubahan itu sebagai “akal-akalan” Soeharto untuk meraih simpati rakyat. Ada pula yang mulai mendukung serta percaya bahwa Soeharto sedang menuju puncak kesadaran. Menariknya, dalam hal ini dukungan itu tidak selalu harus berasal dari kawan.
Hadiah untuk umat yang Diragukan
Diksi yang dipilih oleh Kuntowijoyo (1987), dalam Religion, State, and Social Formation in Indonesia yang dipublikasikan oleh Southeast Asian Journal of Social Science Vol.15 No.1, untuk membahas komunitas muslim adalah dengan kata ‘umat’. Komunitas ini menurut Kuntowijoyo kerap dialienasi dalam proses perpolitikan, dan sering kali tidak diberikan tempat atau posisi sebagai penentu kebijakan.
Menjelang akhir Orde Baru, pemerintah mulai menaruh perhatian kepada umat ini. Pemerintah, melalui Partai Golongan Karya (Golkar), memberikan bantuan kepada sejumlah institusi keislaman. Para ulama kenamaan bahkan dijadikan tim sukses kampanye Golkar pada beberapa kesempatan. Salah satu yang diwariskan Orde Baru kepada umat ialah Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Hefner (1993) melalui Islam, State, and Civil Society yang dimuat pada Journal Indonesia no. 56 menuliskan bahwa ICMI diresmikan oleh Soeharto pada 6 Desember 1990. ICMI kemudian tumbuh menjadi harapan baru bagi umat yang pada masa-masa sebelumnya terpecah dan sering kali dialienasi dari politik dan pemerintahan.
Oleh karena itu, kendati pemerintah yang membentuk ICMI, namun sebagian orang masih berharap agar ICMI tidak menjadi penyokong pemerintah atau underbow pemerintah, melainkan dapat bertindak secara independen. Berdasarkan pandangan itulah dapat dikatakan bahwa ICMI merupakan harapan umat pada Akhir Orde Baru.
Menurut Hefner, sebenarnya ICMI terbentuk atas prakarsa dua kelompok muslim, yakni yang pemerintah (governmental) dan non-pemerintah (non-governmental).
Harapan baru untuk umat salah satunya memang terletak pada kelompok non-governmental. Akan tetapi, karena menyadari organisasi ini merupakan bentukan pemerintah dan mencurigai ujungnya adalah demi kesuksesan Soeharto dalam pemilu, maka ada pula kelompok yang tidak simpatik dan menuduh ICMI sebagai alat politisasi Islam. Suara semacam itu diwakili oleh Deliar Noer, Djohan Effendi, Ridwan Saidi, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Menuju Jalan Keinsafan
Selain dipertentangkan, kehadiran ICMI sejatinya juga mendapat sambutan baik. Salah satu tokoh yang merespons baik langkah Soeharto mendirikan ICMI adalah Bismar Siregar. Bismar Siregar merupakan Hakim Agung pada periode akhir Orde Baru, (1984-2000), tapi barangkali masih banyak generasi kini yang tidak akrab dengan namanya.
Sebagai pribadi yang pada beberapa kesempatan menunjukkan ketidaksepakatannya dengan rezim Orde Baru, dukungan Bismar kepada gagasan Soeharto menjadi sesuatu yang sangat menarik untuk diperhatikan.
Hakim yang terkenal bertindak dengan hati nurani itu memandang bahwa ICMI membawa semangat baru bagi Islam di pemerintahan. Bismar (2002) dalam autobiografinya, Dari Bismar untuk Bismar, menghargai ikhtiar Soeharto dalam memprakarsai berdirinya organisasi keislaman itu. Hal itu ditunjukkan Bismar yang pada tahun 1999 -setelah lengsernya Soeharto- juga menjadi bagian dari ICMI sebagai koordinator wilayah Sumatera.
Dilandasi oleh keyakinan Islamnya, Bismar tidak mempermasalahkan kasus Soeharto yang lain dan curiga terhadap niat Soeharto dalam membentuk ICMI. Bismar sungguh-sungguh mengungkapkan bahwa membentuk ICMI merupakan jasa besar Soeharto.
Namun, Bismar juga menyadari bahwa ICMI sejak Orde Baru hingga reformasi masih menjadi “bulan-bulanan”. Bismar menaruh harapan besar kepada ICMI agar dapat menjadi corong dalam menyuarakan keadilan dan perbaikan, bukan semata-mata dalam membela Soeharto, melainkan mengenang akan jasanya.
Bismar menghendaki ICMI berdiri sebagai wakil umat dalam menasehati dan memperingatkan umara (pemerintah). Posisi yang demikian sejatinya untuk meminimalisir penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah. Sayang sekali, kesadaran Soeharto terhadap itu baru terwujud pada akhir-akhir masa jabatannya dan di kala masyarakat sudah tidak sabar menginginkan perubahan atas banyaknya penyimpangan.
Bismar juga menyadari betul bahwa orang-orang di sekitar Soeharto banyak yang membisikkan hal-hal yang tidak benar. Oleh karena itu, menurut Bismar sudah seharusnya ICMI hadir pada situasi tersebut. Hal itu terutama sekali dibutuhkan ketika Soeharto telah jatuh dari takhta kepresidenan dan dililit masalah. Bismar mengajak ICMI untuk memberikan dukungan dan membalas jasa Soeharto, untuk membimbing Soeharto ke jalan keinsafan.
Walaupun demikian, tampak bahwa ICMI, hingga tahun 1999 belum memainkan peran yang cukup penting, selain terlihat sebagai organisasi yang potensial untuk mewujudkan persatuan dan menggalang kebersamaan. Hal itu menurut Bismar terjadi sebagai akibat dari roda organisasi ICMI yang belum berjalan sepenuhnya.
Wajar saja, sebab pada masa itu banyak gejolak politik yang timbul dan di antara cendikiawan muslim juga masih terbelah ke dalam kelompok yang menerima dan menolak gagasan yang dibawa oleh ICMI. Akan tetapi, sebagaimana keyakinan yang dipegang Bismar, ICMI harus dapat lebih berperan sebagai harapan bagi umat. (AN)