Wajah Islam Indonesia di Mata Publik Internasional

Wajah Islam Indonesia di Mata Publik Internasional

Umat Islam di Indonesia, yang notabene sebagai umat mayoritas, diakui atau tidak, selalu menjadi rujukan Muslim dalam skala internasional. Seperti apakah wajah Islam di Indonesia?

Wajah Islam Indonesia di Mata Publik Internasional

Jika dikerucutkan mengenai persoalan keberagaman, ada dua tantangan besar yang dihadapi umat islam di seluruh belahan dunia. Pertama adalah gejala Islamophobia. Istilah ini menjadi populer ketika terjadi penyerangan di Gedung WTC 11 September 2001. Di negara-negara Barat kemudian secara tidak langsung “mendiskriminasi” umat Islam.

Contohnya, beberapa kali identitas nama yang berbau islam dan kearaban dipersulit ketika ingin memasuki wilayah atau bagian negara Amerika maupun Eropa. Nama-nama yang ada Muhammad atau Ahmad-nya, mendapatkan perlakuan yang berbeda dari yang lain. Orang berjilbab pun dipandang sinis, apalagi perempuan yang memakai cadar, sudah diidentikkan dengan istri teroris.

Gejala Islamophobia pun diperparah dengan adanya Islamic State Iraq and Syiria (ISIS). Seakan-akan segala bentuk kekerasan, ekstremisme, terorisme, yang terjadi selama ini diperbolehkan oleh agama. Sehingga pandangan dunia terhadap Islam semakin negatif, karena dianggap minus terhadap rasa kemanusiaan.

Padahal, mayoritas umat Islam tidak membenarkan perilaku ISIS dkk. Banyak umat Islam terutama di Indonesia yang menolak segala bentuk kekerasan dan aksi terorisme, apalagi sampai menjual agama dengan dalih ayat-ayatnya untuk melakukan kekerasan. Hal itu sangat dilarang. Karena puncak dari agama adalah kemanusiaan.

Oleh sebab itu, tantangan dunia saat ini yang perlu kita jawab adalah bagaimana menyebarkan agama sebagai sumber kasih sayang dan perdamaian, bukan sebaliknya, menjadi sumber konflik, permusuhan, dan pertikaian.

Sangat bersyukur, ada sebuah aksi yang meraih simpatik dari beberapa umat Islam dengan cara berdiri di tengah keramaian ketika terjadi penyerangan di London-Inggris, Prancis, dan beberapa aksi terorisme di Barat, di dalam aksi tersebut seseorang berdiri di tengah khalayak lalu menulis sebuah tulisan bahwa “Islam bukanlah agama teroris”, dan perilaku terorisme tidak diajarkan oleh agama manapun. Islam adalah lanjutan dari visi misi Nabi Muhammad Saw, yang menyebarkan perdamaian kepada semua. Orang yang melakukan aksi simpatik tersebut lalu mendapatkan apresiasi dari banyak orang dengan cara dipeluk secara bergantian. Fenomena tersebut ingin menunjukkan bahwa kita semua adalah bersaudara, jangan sampai ada yang takut kepada muslim, dan kita semua mengutuk segala perilaku yang dilakukan oleh teroris.

Problem yang kedua yang menjadi tantangan umat Islam saat ini adalah hate speech (ujaran kebencian). Di era sosial media seperti saat ini, banyak akun-akun palsu yang sengaja dibuat untuk menebar benci dan melakukan pembunuhan karakter terhadap target yang tidak disenanginya.

Sosial media tidak digunakan sebagai alat untuk menyambung tali silaturahim antar sesama, namun dijadikan sebagai alat yang mempersekat hubungan umat Islam, terutama yang berbeda aliran, madzhab, afiliasi politik, atau cara pandang terhadap melihat sesuatu. Dengan mudahnya, di sosial media, kita menemukan seseorang yang mengumpat seorang alim ulama yang sudah jelas kapasitas sanad keilmuannya dengan sebutan kafir, munafik, liberal, yahudi, dan sesat.

Sehingga framing yang dimunculkan adalah ketika orang tersebut sudah dilabeli seperti itu, kemudian digiiring kepada sebuah opini bahwa fatwa dan argumennya jangan sampai ada yang mengikuti, karena orang tesebut sudah keluar dari ajaran Islam. Lalu, apa yang terjadi? muncullah kebenaran tunggal. Pendapat saya paling benar, dan yang lain salah. Jika seseorang tidak ikut pendapat saya, berarti orang tersebut liberal, dan liberal itu adalah Yahudi, Amerika, dan Yahudi atau Amerika itu kumpulan orang-orang sesat dan kafir. Hal ihwal inilah yang membahayakan umat Islam saat ini di manapun berada.

Teknologi dan media sosial sepertinya patut menjadi sorotan bersama, apalagi ketika banyak muncul berita dan gambar hoax yang tujuannya tidak lain adalah memperkeruh hubungan antar kelompok dan agama. Walaupun sosial media adalah dunia maya, tetapi imbasnya sampai ke dunia nyata. Oleh sebab itu, tantangan kedepan kita saat ini tak lain adalah bagaimana tiada henti-hentinya menyebarkan pesan-pesan damai di ruang sosial media yang tiada batas itu.

Mengapa demikian? karena berdasarkan survei yang dilakukan INFID bersama dengan Jaringan Gusdurian Indonesia pada akhir tahun 2016, yang merekam persepsi anak muda terhadap radikalisasi agama dan ekstrimisme dengan kekerasan. Melalui survei, hasilnya, (88,2 persen) sangat tidak setuju dengan kelompok agama yang menggunakan kekerasan, sementara generasi muda yang setuju dengan kelompok agama yang menggunakan kekerasan hanya sebesar 3,8 persen, sisanya 8 persen tidak tahu dan tidak jawab.

Meski ada kecenderungan penurunan toleransi di kalangan anak muda, tetapi mayoritas anak muda tidak menyukai tindakan radikal dan ekstrim berbasis agama. Oleh karena itu, pesan-pesan damai dan pandangan Islam moderat harus diperbanyak.

Lalu, bagaimana caranya?

Tokoh Islam Moderat di Indonesia

Banyak tokoh Islam moderat di Indonesia. Kebanyakan diwakili oleh dua ormas besar Islam, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Seperti KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Buya Syafi’i Ma’arif, KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), Habib Luthfi bin Yahya, dan Habib Quraish Shihab. Beliau-beliau inilah nafas Islam di Indonesia. Tentu masih banyak lagi tokoh Islam moderat di Indonesia. Namun sederet nama yang penulis sebutkan di atas adalah sosok-sosok yang mewakili wajah Islam Indonesia.

Beliau-beliau tersebut dikenal mempunyai cara pandang keislaman yang luas. Tidak saklek dan kaku. Orang-orang seperti beliau justru lebih banyak merangkul, bukan memukul. Kasih sayangnya begitu luas kepada siapapun, termasuk yang berbeda pandangan atau pemikiran dengannya.

Gus Dur dikenal sebagai bapak pluralis dan pejuang kemanusiaan. Buya Syafi’i dikenal sebagai tokoh Islam moderat yang mempunyai keilmuan yang mumpuni dibidangnya, berkali-kali beliau membela hak kaum minoritas. Sementara Gus Mus, dikenal sebagai kiai kampung yang mengayomi umat. Siapapun yang bertamu kepadanya selalu diterima dengan baik. Bahkan kepada orang yang membencinya sekalipun. Habib Luthfi dikenal sebagai ahli Thariqah yang menjaga keutuhan bangsa Indonesia dari ancaman kelompok separatis dan kelompok yang anti terhadap ideologi Pancasila dan NKRI. Terakhir, Habib Quraish, adalah seorang mufassir paling masyhur di Indonesia yang karyanya selalu dikaji oleh para sarjana yang menekuni kajian keislaman terutama kitab suci al-Qur’an. Pandangan-pandangannya banyak diterima oleh umat Islam di Indonesia. Bahkan beliau mempunyai program khusus di televisi nasional sebagai narasumber yang membahas tema-tema keislaman dan ayat-ayat al-Qur’an.

Mereka semua adalah wajah umat Islam di Indonesia, yang selalu mengajarkan pentingnya persaudaraan, persatuan, dan keberagaman. Tanpa beliau semua, mungkin Indonesia sudah menjadi Afganistan, Irak, dan Suriah kedua. Secara, umat Islam di Indonesia jumlahnya sangat besar, dan menjadi mayoritas sangat mudah sekali jika ingin menerapkan undang-undang negara berdasarkan syariat Islam. Namun faktanya, sampai hari ini, negara Indonesia, final dalam menetapkan ideologi Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI sebagai pondasi bangsa yang menjunjung tinggi persatuan, menghargai perbedaan dan keberagaman. Hal inilah yang kemudian menjadikan umat Islam di Indonesia, pandangan-pandangannya bisa mewakili dunia, dan mampu menjadi kiblat utama bagi seluruh umat Islam yang lain dibelahan dunia.

Umat Islam yang bisa berbaur kepada siapapun. Berkumpul dan berserikat dengan banyak golongan, namun tetap bisa hidup rukun tanpa adanya pertikaian dan perang saudara. Wallahhu a’lam.

Muhammad Autad Annasher, penulis bisa disapa melalui akun twitter @autad