Rangkaian aksi 212 menjelang pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2017 membuka suatu lanskap baru hubungan Islam dan politik di Indonesia. Jika sebelumnya hubungan di antara keduanya lebih banyak digambarkan harmonis, setelah itu situasi berubah. Konservatisme Islam dinilai menguat, khususnya di beberapa wilayah yang memang telah lama terkenal sebagai basis Islam. Salah satunya adalah Jawa Barat.
Provinsi yang letaknya berbatasan langsung dengan Jakarta ini menjadi sorotan. Selain dalam dua dekade terakhir dianggap merupakan daerah intoleran di mana tindakan persekusi terhadap kelompok minoritas cukup tinggi, dari provinsi ini juga sebagian arus rangkaian aksi 212 berasal.
Yang paling fenomenal adalah aksi jalan kaki yang dilakukan ratusan santri. Dengan hanya beralaskan sandal mereka berjalan ke Jakarta dari wilayah Ciamis dan sekitarnya menuntut hukuman berat terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Gubernur DKI Jakarta saat itu, karena dianggap melakukan penodaan agama.
Mobilisasi kelompok Islam di Jawa Barat menarik diamati. Lebih dari sekadar respons terhadap kasus Ahok, mobilisasi tersebut adalah cerminan dari proses ideologisasi yang telah berlangsung lama.
Sejak dekade 1950-an daerah ini dikenal sebagai basis Masyumi (Majelis Syuro Muslim Indonesia) dan DI (Darul Islam). Menurut Martin van Bruinessen, keduanya adalah pangkal geneologi Islam radikal di Indonesia. Lalu pada awal 1970-an, ketika Orde Baru mulai berkuasa, para tokoh dengan berlatar belakang dua organisasi tersebut tetap aktif berdakwah di tengah masyarakat. Namun meski secara formal tidak lagi berpolitik, ide mengenai pengintegrasian Islam dan politik di kalangan ini tidak pernah pudar.
Dari merekalah konservatisme Islam masa kini berasal. Dikatakan konservatif karena selain berisi penguatan akidah, materi dakwah yang diajarkan kelompok ini selalu menyelipkan perasaan terancam terhadap keberadaan pihak lain yang tidak disukai, seperti Kristen, Cina, Ahmadiyah, Syiah, dan sebagainya.