Lebih dari sekedar sanggahan teosofis, konseptualisasi Wahdatus Syuhud sebenarnya menyediakan koridor yang lebih hati-hati dalam metodologi eskatik. Sebagaimana diketahui bahwa pada tahap tertentu dalam penempuhan salik akan dibimbing ke arah kontemplasi-kontemplasi rohaniah.
Pada tahap yang dibahasakan oleh Arthur F. Buehler sebagai “post-rastional experience,” –oleh karenanya ia menjadi sulit dipahami oleh akal rasional, namun mudah bagi mereka yang mengalaminya, inilah salik sering tertelan oleh Cahaya Keesaan-Nya hingga “atsar” yang terbawa ke alam kehidupan sehari-hari mempengaruhi keadaan mentalnya dan mengeluarkan kata-kata (keyakinan) yang menafikan semua selain (Wujud) Nya.
Menurut Imam Rabbani, hal ini berpotensi membesarkan ego –Karena keasyikan dalam perasaan penyatuan dan membuat si salik menyepelekan ketentuan-ketentuan syariat yang ada. Inilah yang membawa pikiran Abdul Quddus Gangohi (994.H/1537.M) mengucapkan kata-kata ekstatisnya, “Muhammad Musthafa berada pada jarak antar dua ujung busur atau lebih dekat dan kemudian kembali. Aku bersumpah pada Tuhan bahwa aku tak akan kembali.”
Syekh Ahmad Faruk Sirhindi (1564 M – 1624 M), qs. atau yang lebih dikenal dengan Imam Rabbani Mujaddid fi alfits tsani, seorang sufi Agung yang hidup pada jaman kejayaan kekaisaran Mughal, adalah tokoh yang getol memberikan koreksi pedagogis terhadap kesalah-fahaman istilah wahdatul wujud yang oleh para ilmuwan dinisbatkan pada sufi besar Ibn ‘Arabi, ra –(meskipun, sejatinya istilah ini dibakukan oleh para pembaca karyanya).
Ini dapat dilihat dari surat-surat beliau kepada murid-muridnya yang hari ini dikompilasi menjadi tiga jilid kitab bertitel Al-Maktubat. Seperti kita ketahui, konsep kontroversial wahdatul wujud ini telah banyak melahirkan perdebatan teosofis yang tak ada habis-habisnya hingga kini.
Beliau lebih memilih istilah Wahdatus Syuhud dalam menjelaskan pengalaman-pengalaman spiritual sufisme. Meskipun istilah ini telah terlebih dahulu digunakan oleh Aladdaulah as-Simnani jauh sebelum beliau lahir. Bagi beliau semua pengalaman penyatuan dengan Allah sebagaimana sering diungkapkan oleh kalangan sufi tidak lain adalah ‘Penyatuan Penyaksian’ belaka (Contemplatively- Unity with Being Witnessing). Tidak terjadi secara dzatiyah. Bagaimanapun, Khalik dan Makhluk adalah dua hal yang berbeda.
Istilah Wahdatus Syuhud ini lebih berimplikasi secara epistemologis yang menyibak sebuah penjelasan tentang bagaimana pengetahuan spiritual diperoleh pada setiap tahap dan maqom-maqom pendakian spiritual. Dalam koridor inilah sumber pengetahuan-pengetahuan irfani digali. Sementara, Wahdatul Wujud menggiring pemahaman ke arah yang lebih ontologis yang pada gilirannya harus berbenturan dengan Kaidah-kaidah keyakinan Ahli Sunnah Waljamaah, As’ariiyah-Maturidiyah. Bagaimana tidak, jika kemudian Wahdatul Wujud dipahami begitu saja tanpa verifikasi dengan mekanisme-mekanisme riyadhoh kebatinan yang tidak Mu’tabarah.
Dalam salah satu suratnya beliau mengutip pendahulunya, Syekh Ubaidilaah AL-Akhror, “Syekh Ubaidilah Al Akhror menyatakan bahwa hanya akan jadi bencana jika (ilmu) hakikat seseorang tidak dirumuskan dengan kaidah keimanan para jumhur ulama Ahli Sunnah wal Jamaah, sementara jika (ilmu) hakikat seseorang masih sesuai dengan kaidah ini, meskipun dia sangat kacau, tidak perlu dikhawatirkan.”
Pendirian Syekh Sirhindi dalam pengajarannya pada setiap muridnya menekankan agar pengetahuan rohani didasarkan pada; (1) Al-Qur’an dan Hadits, (2) pengetahuan rasional yang digunakan dalam merumuskan Aqidah dan Hukum Mazhab Hanafi-Maturidi, dan (3) Mukasyafahnya beliau sendiri.
Berangkat dari kritiknya atas penyalah-pahaman konsep wahdatul wujud yang menurut beliau barulah permulaan dalam pendakian spiritual yang sesungguhnya, beliau menyebutkan bahwa apa yang digembar-gemborkan sebagai peristiwa penyatuan tersebut barulah merupakan tahap awal dari Fana’ itu sendiri.
Seorang sufi dituntut untuk tetap tenang dan sadar sepenuhnya untuk segera melanjutkan perjalan rohani menuju Tuhannya. Bagi beliau Tahapan yang penuh Syatohat ini mesti dilanjutkan dengan perjalan Sair Fillah dalam Maqom Baqo’ untuk kemudian turun kembali dan mengemban tugas membimbing manusia lainnya. Itulah Maqom Kamalatun Nubuwah yang jauh lebih mulia dari Maqom Kamalatul Wilayah (untuk menyebut mereka yang berada pada tahap asyik-mansyuk dalam kefanaan bersama Allah), karena di sinilah letak maqom tertingginya manusia yaitu Maqom pengabdian.
Bagi kita, santri Nusantara, memang terhitung agak terlambat untuk mengetahui khazanah-khazanah keilmuannya melalui teks. Meskipun secara transmisi rohaniah, ulama-ulama kita yang justru terhubung melalui garis silsilah tarekatnya sangat banyak. Semua Syekh yang membimbing murid dengan metode Naqsyabandiyah, entah itu Khalidiyah ataupun Mazhariyah yang ada di Indonesia dan Malaysia sama-sama menginduk pada Tokoh besar ini. Inilah uniknya, bagaimana sebuah ajaran bisa tetap tersampaikan bahkan tanpa bantuan teks sekalipun.
Inilah salah satunya yang membuat diskursifitas Wahdatul Wujud dan Wahdatul Syuhud sangat timpang mengingat karya-karya Ibnu ‘Arabi dan turunannya begitu banyak di sini dan sudah dialihbahasakan dan tersedia di pasaran. Sehingga wajar jika pemaparan-pemaparan ahli tasawwuf yang berakidah Asy’ariiyah sekalipun dimengerti secara serampangan sebagai bagian dari konsep wahdatul wujud. Selain bahwa Karya-karya Imam Rabbani bukanlah seperangkat keilmuan yang berdiri sendiri.
Surat-suratnya yang kemudian dibukukan menjadi Al-Maktubat tersebut merupakan aspek penjelasan dari praktik-praktik pelatihan rohani dari tarekat Naqsyabandiyah yang ia ajarkan. Keduanya tidak bisa dipisahkan jika kita ingin memahaminya sebagaimana ia dimaksudkan. Artinya keilmuan ini dirancang untuk tidak semata diketahui sebagai konsep-konsep yang bisa diterima akal, meskipun ada unsur itu di dalamnya, akan tetapi ia dimaksudkan sebagai informasi awal (ilmul yaqin) yang mengharuskan siapapun yang ingin mengetahui hakikatnya mestilah melalui penempuhan spiritual dengan bimbingan mursyid yang otoritatif.
Wallahu A’lam.
Bahan Bacaan:
- Al-Maktubat, Imam Rabbani.
- Revealed Grace: The Juristic Sufisme Of Ahmad Sirhindi (1564-1624), Arthur F. Buehler, 2011.
- Syaikh Ahmad Sirhindi: An Outline of His Thoughts and a Study of His Image in The Eyes of Posterity, Yohanan Friedman, 1971.
- Sufism and Syariah: A Study of Syaikh Ahmad Sirhindi’s Effort to Reform Sufism, Muhammad Abdul Haq Anshari, 1986.
- The Mughal, The Sufi Syaikhs, and The formation of The Akbaari Dispensation, Alam Muzaffar, 2009.