Pangeran Arab Saudi, Muhammad bin Salman, menegaskan bahwa wahabisme yang selama ini dianggap melekat dengan Arab Saudi sebenarnya bukanlah murni berasal dari kebijakan negaranya. Untuk itulah, konservatisme wahabi akan dengan perlahan mulai ditinggalkan dan beralih menjadi corak islam moderat.
Salman juga menjelaskan, salah satu penyokong terbesar konservatisme beragama itu adalah Barat dengan sekutunya seperti Amerika Serikat dan negara-negara lain selama perang dingin. Perang dingin antara sekutu dengan ‘komunisme’ melalui representasi Uni Soviet ini dianggap sebagai pintu masuk pendanaan bagi yayasan-yayasan afiliasi wahabi di Arab.
Selama masa itu, Barat menginvestasikan dana dengan jumlah sangat besar untuk membantu perang melawan Soviet. Mereka mendesak Saudi untuk investasi di lembaga keagamaan dan madrasah-madrasah guna melancarkan usaha menyetop pergerakan musllim di soviet.
Kian konservatif sebuah negara maka kian mudah dikendalikan, itu kira-kira analogi sederhana untuk melihat bagaimana Wahabisme berpengaruh terhadap perkembagan Saudi.
Pendanaan ini, tegas Salman, juga bertugas untuk menyebarkan wahabisme ke seluruh dunia. Yayasan-yayasan ini terkadang tidak berasal secara resmi dari pemerintah, meskipun berada di Saudi. Bahkan, secara mengejutkan, pihaknya mengaku sudah sulit untuk mengendus jejak ini.
“Kami kehilangan kontrol atas (penyebaran wahabisme) ini dan kami akan berupaya mendapatkan semuanya kembali,” tutur Salman.
Beberapa media luar pun beramai-ramai menyambut upaya Salman menjadikan negaranya tidak lagi menjadi kiblat konservatisme. Washington Post misalnya membuat wawancara ekslusif dengan putra mahkota Arab tersebut.
Apakah dengan ini wahabisme benar-benar ditendang dari negari Arab? Tentu saja patut kita lihat perkembangan berikutnya.
Satu hal yang pasti, visi Salman sebagai upaya mengembalikan citra Arab sebagai bagian besar dari islam moderat sudah mulai menampakkan hasil, seperti diperbolehkannya muslimah menyetir bahkan masuk ke stadion. Kita tunggu saja.