Beberapa hari lalu, rekaman video seorang jemaah calon haji telah berhasil memasuki wilayah kota Mekah sempat mampir di media sosial saya. Di video tersebut, sang jemaah pun menyebutkan dia memasuki wilayah Mekah tanpa tasreh haji (baca: visa haji bagi masyarakat Indonesia). Untuk itu, jemaah tersebut harus memasuki Mekah sembunyi-sembunyi. Kalau ketahuan atau tertangkap, hukuman berat menunggunya.
Walhasil, kemarin saya mendapati berita beberapa jemaah haji asal Indonesia tertangkap karena tidak memiliki izin berhaji. Hari ini, seorang pegiat media sosial juga disebut tertangkap karena terlibat dan berangkat haji dengan kesalahan tanpa izin atau visa. Keinginan berangkat ke tanah suci membuncah di hati, namun hal itu tentu menjadikan kita gelap mata dengan menabrak beragam aturan yang telah dibuat. Adanya aturan ketat terkait ibadah haji ini membuat salah seorang netizen berkomentar, “Mau ibadah kok dipersulit!”
Saya dulu sering diminta untuk mengantarkan kyai saya dalam rangka manasik haji KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji). Di salah satu materi yang beliau sampaikan, syarat mampu dalam ibadah haji juga dimasukkan urusan administrasi, termasuk visa, vaksin, hingga uji kesehatan, yang harus dipenuhi seorang calon jemaah haji.
Selain itu, kyai saya juga sering menambahkan bahwa berangkat haji tanpa visa bukan pilihan tepat. Beliau pernah bercerita, “Seorang jemaah haji ilegal pernah meninggal dunia, karena takut dan lari dari kejaran petugas keamanan di Arab Saudi.” Harga murah dan kesempatan langsung berangkat memang selalu menggoda siapapun.
Saya juga teringat cerita kakek terkait perjalanan haji mereka. Kakek saya pernah berangkat ke tanah suci lewat jalur “Haji Turis.” Istilah lain “Haji Koboi” juga populer selain haji turis. Istilah “Haji Turis” populer di masyarakat Banjar merujuk pada keberangkatan haji tidak jalur negara.
Kakek saya berangkat di tahun 1983. Kala itu, pilihan berangkat jalur negara belum menjadi pilihan satu-satunya. Relasi dan koneksi dengan sesama masyarakat Banjar di tanah suci sangat berperan di tengah keberangkatan mereka. Selain itu, jalur keberangkatan haji koboi juga menjadi bisnis beberapa agen perjalanan.
Cerita kakek dan kyai saya sebenarnya serupa. Haji koboi sangatlah sulit. Mereka beribadah dengan perasaan yang tak tenang, karena selalu dihantui perasaan diawasi dan ketakutan ditangkap oleh pihak berwenang di sana. Mereka pun biasanya memanfaatkan kerumunan di tengah semakin padatnya jemaah haji di Mekah, seiring semakin dekatnya pelaksanaan haji.
Selain itu, perjalanan mereka di Armuzna (Arafah-Muzdalifah-Mina), sebagai masa paling penting dan krusial dalam haji, tak kalah nelangsa. Mereka biasanya membangun tenda-tenda di gunung-gunung atau pinggir jalan dan kemah jemaah haji biasa. Keberangkatan haji tanpa visa tentu tidak nyaman dan tenang. Sebagaimana disebut di atas, kyai saya bilang ini tidak memenuhi kriteria “mampu” dalam melaksanakan ibadah haji.
Hari ini, perjalanan haji merupakan bagian dari kesepakatan negara-negara Muslim. Visa haji sebagai bagian dari usaha Arab Saudi untuk menjamin pelayanan pada tamu-tamu Allah. Untuk itu, pemerintah Arab Saudi mulai memperketat check point di perbatasan-perbatasan, razia juga mulai rutin dilakukan, ditambah fatwa “Haji tanpa visa” adalah dosa.
Kita mungkin tidak selalu sepakat atas apa yang dilakukan oleh pemerintah Arab Saudi di atas. Namun, perjalanan ke tanah suci tidak hanya soal urusan agama saja. Kehadiran negara dalam urusan haji memang sulit terhindarkan. Terlebih angka jemaah haji terus meningkat setiap tahun. Pemerintah Arab Saudi tentu ingin setiap pelaksanaan haji bisa berjalan dengan lancar dan aman.
Dulu kyai saya pernah bercerita soal slogan yang dipakai pemerintah Arab Saudi dalam pelayanan haji. Dulu mereka menggunakan, “Pelayanan atas jemaah haji adalah perilaku terhormat.” Namun, beberapa tahun kemudian mereka menambahkan diksi “Wajib” atas pelayanan haji. “Pelayanan jemaah haji adalah kewajiban dan perilaku terhormat” tertulis di berbagai tempat umum.
Selain itu, Indonesia melalui seluruh pihak yang terlibat dalam pelayanan haji juga berusaha keras, untuk memastikan setiap jemaah haji bisa menjalankan ibadah dengan lancar, mudah, dan terpenuhi seluruh rukun dan wajib haji. Ketiadaan visa tentu bisa saja membuat kita mengorbankan beragam ibadah yang bisa kita lakukan selama di tanah suci.
Visa haji adalah elemen penting bagi pemerintah Arab Saudi dan Indonesia untuk memastikan jaminan pelayanan pada seluruh jemaah. Mungkin, bagi sebagian kita, kehadiran fatwa terkait visa dianggap berlebihan. Namun, jika kita telisik lebih dalam pelayanan haji juga bergantung pada data pengguna visa haji. Angka jemaah berdampak pada persiapan tempat, petugas, hingga urusan kesiapan pangan.
Untuk itu, kita perlu menyadari bahwa visa haji tak sekedar pelengkap administrasi belaka. Ia adalah elemen tak terpisahkan dari ibadah haji. Jika selama ini kita hanya berpendapat uang dan kesehatan adalah unsur penting dalam menafsirkan kata “mampu,” maka sudah saatnya kita juga memasukkan urusan administrasi negara di dalamnya.
Jika kita gagal memenuhi administrasi antar Negara, dalam hal ini adalah visa, maka bisa jadi kita tergolong belum mampu melaksanakan haji. Visa haji bukan saja pelengkap atau syarat belaka, apalagi sesuatu yang menyusahkan, namun ia adalah bagian dari kelancaran dan kemudahan dalam beribadah haji.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin