Tadarus Ramadan di malam keempat belas, saya sesaat ditemani sahabat senior paling salehah, Lien Iffah Naf’atu Fina; semoga dia, yang saat ini berada di tengah episentrum wabah covid-19, Amerika, selalu sehat. Pembicaraan kami berkutat di ranah strategi dakwah di kalangan kelompok moderat dalam konteks perlawanan terhadap kelompok ekstremis. Menurutnya, sebagian kalangan moderat justru terkadang kontra-produktif dalam hal strategi dakwahnya. Saya pun mengamini pendapatnya, sebab saya sendiri kadang juga kebablasan kontra-produktif.
Pembicaraan ini berawal dari status dalam aplikasi medsos saya tentang unggahan video di sebuah kanal medsos bertajuk “Mutiara Ramadan edisi ke-9” dengan tema Hijrah di Kalangan Kaum Muda Muslim Kota. Pematerinya tidak tanggung-tanggung, yakni Guru Besar yang dikenal ahli dalam bidang politik Islam, Noorhaidi Hasan.
Video berdurasi 5 menit 48 detik ini sempat viral dan kontroversial; tentu saja bagi mereka kalangan “ekstremis” yang merasa terancam. Meski telah resmi dihapus, video itu nyatanya sudah sempat terunduh dan kembali diviralisasi melalui ragam jaringan medsos; kali ini justru semakin massif dan liar.
Apa yang disampaikan oleh Guru saya, Pak Noorhaidi, ini sebetulnya tidak lebih dari upaya melakukan kontra-narasi ekstremis tentang istilah yang umum digunakan dalam narasi induk mereka, yakni “hijrah”. Retorika yang diusung oleh Pak Noorhadi pun sangat kokoh, dengan logika sebab-akibat yang runtut dan jelas.
Lebih jauh, gaya bahasa dengan istilah hijrah spiritual-transendental pun tepat digunakan. Ditambah lagi dengan implementasi konsep tersebut terkait dengan kewajiban generasi muda dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan. Sungguh retorika ini tidak mudah dipatahkan. Oleh sebab susahnya mematahkan argumentasi, maka cara yang dilakukan oleh oposisi adalah men-dislike dan menambahkan komentar nyinyir.
Dalam tadarus kami, jamak istilah dan kesimpulan Pak Noorhaidi ini memang sangat tajam dan memekakkan telinga kelompok ekstremis. Istilah-istilah tersebut berupa: “salah paham” (02.55), “hijrah yang bersifat sangat politis” (03:05), dan “terjebak dalam pemikiran yang sesat” (04:05).
Selanjutnya, Pak Noorhaidi juga menusuk doktrin utama mereka berupa konsep al-wala wal bara (03:15-03:30) dan hakimiyah (04:09-04:16). Lalu, dalam kesimpulannya Pak Noorhaidi mengatakan bahwa:
“Hal-hal tersebut membawa mereka ke dalam jurang kekerasan menggunakan doktrin jihad, tapi sebenarnya adalah diliputi oleh hawa nafsu untuk menebar permusuhan, untuk menebar radikalisme, dan juga terorisme” (04.21-04:34).
Praktis, kelompok yang merasa tersinggung kesusahan membalikkan argumentasinya.
Kami (saya dan Lien) lalu menyepakati satu hal, bahwa dakwah kontra-narasi adalah seperti dua sisi mata uang yang berbeda. Ia memang memiliki tujuan yang jelas guna memberikan kritik kepada keberislaman yang berpotensi dekat dengan semangat permusuhan dan kekerasan.
Kendati demikian, pada saat bersamaan ia bisa berpotensi kontra-produktif karena menutup ruang tafsir yang berbeda. Sampai di titik ini kami berpandangan tentang pentingnya dakwah yang menggunakan strategi merangkul, bukan memukul. Menghindari argumentasi-argumentasi delegitimasi doktrin kelompok yang berbeda, dan lebih banyak menggunakan argumentasi-argumentasi yang bersifat tandingan. Atau dengan kata lain, kembali kepada nilai-nilai prinsipil yang bersifat universal.
Lien kemudian menambahkan betapa pentingnya berdakwah dengan tidak terus-terusan menggunakan narasi aku/kami versus kamu/mereka. Pasalnya, narasi demikian justru kerap memancing resistensi, dan menutup kemungkinan pihak lain untuk mendengar apalagi berpikir untuk setuju.
Kami sepakat bagaimana kelompok moderat seyogianya harus bertransformasi dalam hal teknik dan akomodasi dakwah. Hal demikian memang telah banyak dilakukan, tetapi tampaknya rasio perbadingannya masih belum cukup untuk bertarung di aras wacana dakwah keagamaan, utamanya dengan segmentasi Muslim perkotaan.
Bagi kami, kelompok moderat memang harus menempatkan diri di banyak peran. Hal demikian sangat diperlukan mengingat fakta keragaman wajah keagamaan masyarakat kita. Atau ringkasnya, kelompok moderat harus melakukan diaspora strategi. Ada yang melakukan kontra-narasi secara langsung, ada yang melakukannya dalam strategi yang sama, ada pula yang harus menjalankannya dalam strategi dakwah alternatif. Namun yang menjadi titik tekan adalah semangat yang sama, yakni Islam yang menebar rahmah, bukan Islam yang suka marah-marah. Wallahu A’lam.