Di tengah suasana berduka karena bencana gempa di Cianjur beberapa waktu lalu, kita ternyata masih harus disibukkan dengan tindakan beberapa oknum yang “bermain” dengan segregasi agama. Label bantuan dari kawan-kawan pemeluk agama Kristen dirusak oleh oknum-oknum tersebut. Padahal, di label tersebut hanya ada tulisan bukan simbol, yang “mungkin” masih rumit permasalahannya di sebagian umat Islam.
Di sisi lain, saya sangat yakin kawan-kawan Kristiani yang menyerahkan donasi pun sebenarnya sudah mempertimbangkan permasalahan simbol agama, yang masih rentan menimbulkan perdebatan yang dapat menganggu proses pembagian bantuan. Saya merasakan langsung persoalan serupa menjadi relawan bersama kawan-kawan lintas iman pada bencana banjir beberapa waktu lalu.
Waktu itu, kami sangat berhati-hati dalam menyebarkan bantuan dan menghindari adanya simbol-simbol agama dalam bentuk apapun di paket bantuan kami. Kami pun sempat izin kepada para korban untuk menyematkan logo organisasi di bantuan hunian sementara (huntara). Mereka pun membolehkan.
Jadi, apakah kejadian di Cianjur kemarin menandakan kita masih suka menghalangi kehadiran atau eksistensi agama lain di ruang publik? Saya yakin sebagian besar kita akan menjawab tidak, namun kasus perusakan label bantuan kemarin itu memperlihatkan sebaliknya.
Jika diamati dengan seksama, tidak ada simbol agama lain di label bantuan kemarin. Oleh sebab itu, sulit rasanya kejadian kemarin tidak menyiratkan kesulitan kita untuk menerima eksistensi agama lain di ruang publik. Dengan kata lain, kita tidak suka ada orang lain selain kelompok kita di tengah kehidupan kita sehari-hari.
Jika kasus kemarin adalah urusan simbol, maka biasanya kita akan dihadapkan ajaran agama kita, dari dalil yang tertera di kitab suci hingga pendapat para ulama. Solusi atau jalan tengah pun lebih mudah untuk didapatkan, ketimbang urusan kebencian kita akan eksistensi agama lain. Sebab, jika hal tersebut benar-benar persoalan kita maka ajaran agama hanya menjadi stempel kebencian tersebut.
Jangan-jangan Imaji Kita Bermasalah
Ulasan F. Budi Hardiman dalam kata pengantar buku karya Will Kymlicka berjudul, “Kewargaan Multikultural”, bisa menjadi titik awal kita memahami permasalahan di Cianjur kemarin. Di mana Hardiman menuliskan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia memandang konsep negeri sebagai Political Space. Istilah tersebut merujuk pada negeri sebagai tempat interaksi sosial ditata, peluang hidup dan sumber-sumber produktif dibagi-bagikan, dan kita terjebak di dalamnya.
Jika kita masih memandang Indonesia seperti itu maka kita rentan sekali terjebak aksi-aksi kekerasan pada yang kelompok lain. Sebab, mereka adalah ancaman yang dapat merusak interaksi sosial hingga merebut peluang hidup dan sumber-sumber penghidupan. Padahal, kita hidup di Indonesia bersama-sama dengan setara sebagai warga negara.
Di sisi lain, deskripsi di atas juga menjelaskan fenomena yang marak akhir-akhir ini, yaitu usaha untuk merebut tafsir-tafsir sejarah dan sosial yang selama ini ada di masyarakat. Sikap kritis ata produksi pengetahuan memang tidaklah salah, namun melakukannya dengan merebut cerita dan menyingkirkan narasi kelompok lain adalah sebuah kesalahan.
Di kata pengantar yang sama, Hardiman juga menjelaskan, “Suatu politik yang melancarkan homogenisasi atas keragaman sosial kultural di bawah penindasan sebuah ideologi dan kekerasan politis justru “menabung” dendam kultural di kelompok tersebut.” Ketidakdewasaan kita dengan menolak eksistensi atau keberadaan orang atau kelompok lain dalam kehidupan kita, bisa berubah dalam sekejap menjadi aksi kekerasan yang kita tidak sadar kenapa hal tersebut bisa terjadi.
Berbuat Baik Saja Susah
Judul di atas adalah ungkapan salah satu teman saya, sebut namanya Erik, saat bencana banjir kemarin, kala itu kami harus menyeleksi bantuan dari simbol-simbol keagamaan. Kami pun berbincang lama terkait resepsi pribadi dan pengalaman di masyarakat terkait simbol tersebut.
“Berbuat baik saja susahnya minta ampun” bilang Erik, karena harus menyeleksi simbol-simbol tersebut. Menurut Erik, niat baik kawan-kawan dari lintas iman ini seharusnya diperlakukan sama karena memiliki tujuan yang sama. Namun, di tengah keberatannya itu, saya dan Erik sepakat bahwa ada tujuan yang lebih besar ketimbang mengedepankan simbol-simbol agama atau organisasi di saat bencana.
Akan tetapi, perusakan label bantuan dari salah satu kelompok agama adalah perbuatan yang salah. Kejadian tidak akan berhenti begitu saja jika dibiarkan, sebab jika didiamkan maka pelaku dan masyarakat akan merasa “direstui” untuk melakukannya kembali di kemudian hari. Seharusnya, pelakunya ditindak tegas dan kalau bisa diberikan hukum setimpal.
Apa yang dilakukan para oknum di Cianjur tersebut jelas sudah mulai mengarah pada aksi-aksi kekerasan, yang jika terjadi pembiaran oleh aparat atau Negara akan mengakibatkan tindakan kekerasan yang lebih besar lagi. Sulitnya, Negara seringkali gagal melihat ini sebagai sebuah ancaman bagi kehidupan multikultural kita.
Saya akan menutup “masih” dengan kata-kata Hardiman, “Masyarakat modern semakin disadari sebagai sebuah masyarakat ‘multikultural’, yakni sebuah masyarakat yang tersusun dari berbagai macam kehidupan dan orientasi nilai-nilai. Sudah saatnya kita tidak lagi mempermasalahkan eksistensi identitas lain untuk menghadirkan kehidupan yang setara dan adil.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin