“Man Tasyabbaha Bi Qoumin Fahuwa Minhum/siapa yang menyeruai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” ini merupakan hadis Rasul yang menjadi andalan untuk tidak ikut-ikutan dalam gempita Valentine setiap tanggal 14 Februari.
Lantas argumen itu dipakai untuk berteriak di jalanan dan demo,bahwa Valentine bukan budaya kita. Hadis tasyabbuh yang digunakan secara kaku, sangat kaku bahkan. Hadis tasyabbuh digunakan oleh banyak yang mengaku ustadz saat ini untuk politik identitas keIslaman, bahwa muslim tak sama dengan mereka (baca: kita semua, kecuali kelompok mereka).
Zaman Rasul memang begitu, namun saat ini kita kita berada pada zaman yang jauh berbeda, bukan hanya lagi pada sebuah perkampungan di Madinah, namun kita sudah menjadi Masyarakat dunia.
Apakah Rasul benar-benar melarang tasyabbuh?
Ada satu hadis riwayat Shahih Bukhari dan Muslim. Saat Rasul tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura, lantas Rasul bertanya? “Apa ini?” Mereka menjawab, ”Sebuah hari yang baik, ini adalah hari di mana Allah menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur. Maka, beliau Rasulullah menjawab, ‘Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu’.”
Hadis ini jarang dikemukakan oleh para ustadz yang kerap memakai tasyabuh sebagai argumen. Padahal masih banyak dalil yang lain dan tentu saja tidak tunggal.
Coba kita ingat kembali, bagaimana dakwak para Wali Songo. Ketika tiba ke tanah Jawa dengan segala peradaban yang sudah sangat maju. Masa itu di Arab hanya ada rebana dari kulit hewan yang disamak, namun di Jawa mereka bertemu dengan Gamelan yang sudah satu langkah lebih maju. Gamelan itu dari olahan besi dan tembaga, dengan satu seni kebudayaan yang sudah mapan.
Apakah lantas Wali Songo mengatakan “Gamelan bukan budaya kita”? Tidak.
Mereka tak kaku dalam berdakwah dan justru mengasimilasi Islam dengan kebudayaan Jawa yang sudah ada. Gamelannya tetap, kidung syairnya diubah, wayangnya tetap, lakon dan ceritanya berubah. Larung gunung, larung laut yang sebelumnya menggunakan kepala gadis untuk para dewa sebagai sesajennya, diubah menggunakan kepala Kerbau dan dagingnya dimakan bersama. Lantas mengucap syukur pada sang Maha Pencipta.
Valentine hanya nama, hanya simbol di mana kita berbagi kasih sayang pada sesama. Islam juga mengajarkan untuk itu, “Irhamu man fil ardhi yarhamkum man fis samaa,’” begitu sabda Rasul begitu. cintailah yang di bumi (Manusia), maka engkau akan dicintai yang di langit (Allah SWT).
Valentine hanya nama dan isi bisa kita ubah sesuai ajaran Islam seperti,berbagi, bersedekah pada dhuafa, memberi santunan pada yatim piatu dan lain-lain.
Jika ber “Valentine” seperti itu adakah yang salah?
Jika kemudian selalu dikaitkan dengan kemaksiatan, sebenarnya tidak usah menunggu Valentine juga untuk bermaksiat bukan? Kenapa sesuatu yang tak sama harus dipandang negatif? Kenapa ajaran agama harus sekaku itu, apalagi dalam memaknai sebuah perbedaan?
Wali songo tetap menggunakan Sembahyang untuk istilah Solat lima waktu dan itu tak masalah. Sembahyang hanya nama. Orang Hindu ya sembahyang, orang Islam ya sembahyang.Tidak lantas Wali songo mengharamkan penyebutan kata Sembahyang untuk mengganti kata Solat.
Kita bisa memilih untuk tidak berlebiha. Rasul melarang itu, “Sesungguhnya dalam beragama itu tidak usah berlebih-lebihan. orang yang berlebih-lebihan dalam beragama pasti dia akan dikalahkan.”
Toh, kenapa tidak bisa menjadikan Valentine atau apapun itu untuk sekadar dijadikan Wasilah, sebagia sarana untuk tetap mensyiarkan Islam dengan penuh rasa gembira dan menyenangkan. Kenapa harus menampilkan Islam dengan wajah yang kaku, tegang dan menyeramkan?