Beberapa waktu lalu, saya menulis kisah seorang mahasiswi salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta yang nyaris memberikan diri dan hidupnya ke kelompok salafi yang bertebaran di dalam dan di sekitar kampusnya. Mahasiswi yang berasal dari keluarga Sunni itu akhirnya berhasil melepaskan dirinya dari jeratan kelompok salafi setelah dia menentang larangan membaca shalawat Nariyah dari senior/amiroh-nya di asrama/pesantren salafi yang ada di dekat kampusnya. Dalam pengakuannya, dia telah aktif di gerakan tarbiyah sejak SMA melalui kegiatan kerohaniaan Islam (Rohis).
Beberapa hari lalu, sahabat Muhammadiyah saya berbagi keprihatinan yang sama. Ia mengirimi saya transkrip wawancaranya dengan salah seorang kader putri Muhammadiyah, alumni salah satu SMA Islam Terpadu di wilayah pesisir utara Kabupaten Lamongan. Si kader putri ini berkisah mengenai guru-gurunya di SMA-nya dulu yang tidak hanya mengajarkan bahwa jihad adalah perang, tapi juga mendorong murid-muridnya untuk menjadi pasukan ISIS.
“Kata guruku, Aksi 212 mengenai penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), siapa yang pergi ke Monas saat itu, adalah bagian dari pergi berjihad di jalan Allah. Juga, guruku itu kepingin ada muridnya yang pergi berperang ke Suriah, Irak, atau ikut ISIS, cuma itu nggak mungkin. Tidak ada temen yang mau ke sana.
Oleh guruku itu, kita juga dikasih tahu video-video tentang peledakan bom yang dilakukan oleh Amrozi di Bali. Ini [dilakukan agar kami] mengambil pejaran dari peledakan bom yang telah dilakukan Amrozi dan kawan-kawannya. Saya tidak tahu apakah ada maksud terselubung yang disembunyikan oleh guruku…
Salah satu guru ada yang mengartikan jihad itu cukup menuntut ilmu dan bekerja keras di zaman modern seperti sekarang. Tapi ustadz-ustadz yang lain, ada yang menganjurkan jihad itu berperang ke jalan Allah, seperti pergi ke Suriah atau Irak.”
Dengan detail dan liku yang berbeda-beda, kisah seperti di atas sesungguhnya banyak terjadi. Betapa banyaknya orang tua Muslim yang menginginkan anak-anaknya mendalami Islam. Jika pesantren dan madrasah tidak menjadi pilihan, pilihannya biasanya jatuh ke SLTA-SLTA yang menawarkan pendidikan agama. Jika ini yang dipilih, sekarang menjamur sekolah Islam terpadu, mulai tingkat SD hingga SLTA.
Pilihan kedua adalah aktif di kegiatan keruhaniaan Islam (Rohis) di sekolahnya. Kegiatan Rohis biasanya terintegrasi dengan dengan pelajaran agama Islam di kelas. Sebagai kegiatan ekstrakurikuler, tidak jarang kegiatan Rohis dipegang oleh orang luar dan kegiatan-kegiatannya di luar pengawasan sekolah.
Orang tua yang menginginkan anaknya bersekolah ke sekolah umum tapi tetap mendapat pendidikan agama, cenderung akan memilih yang pertama. Jika si anak terlanjur ke sekolah biasa, orang tua mungkin akan sangat bangga dan bahagia jika mengetahui bahwa anaknya aktif di unit keruhaniaan Islam di sekolahnya.
Namun, di sinilah masalahnya. Pada tahun 2016, Wahid Foundation melakukan survei terhadap 1.626 aktivis Rohis. Hasil survei mengungkapkan bahwa 60 persen mereka setuju untuk berjihad ke wilayah konflik saat ini; 68 persen setuju untuk berjihad di masa mendatang. Dari mereka yang menyetujui jihad itu, 78 persen (37 persen sangat setuju dan 41 persen) setuju Indonesia menjadi negara Islam dengan bergabung ke dalam satu kekhilafahan Islam tunggal.
Jika anak-anak yang diservei Wahid Foundation itu masuk kuliah pada tahun 2017 atau 2018, maka mereka saat ini ada di semester lima atau tiga. Mengingat fakta ini, herankan kita jika pada pertengahan tahun 2018, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengemukakan bahwa tujuh perguruan tinggi negeri (PTN) top di Indonesia telah terpapar radikalisme?
Dari mana anak-anak polos itu memiliki pemahaman keislaman radikal seperti ini? Kisah di atas menunjukkan dengan sangat jelas bahwa salah satunya dari pelajaran agama di sekolahnya. Ketika sekolah menjadi ladang persemaian ideologi radikal, jangan heran jika yang kita temui adalah anak-anak yang semakin taat ber-Islam, semakin mengeras pula ideologi radikalisme dalam dadanya.
Sejak tahun 2011 Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) menemukan data-data adanya kelindan antara guru, pelajaran agama, dan ideologi siswa. Antara Oktober 2010 hingga Januari 2011, lembaga ini melakukan survei kepada siswa dan guru pendidikan agama Islam tingkat SLTA di Jabodetabek. Hasilnya cukup mencengangkan. Hampir 50 persen responden menyetujui tindakan radikal; 25 persen siswa dan 21 persen guru menyatakan bahwa Pancasila sudah tidak lagi relevan sebagai ideologi bangsa; dan 84,8 persen siswa dan 76,2 persen guru setuju dengan penerapan Syariat Islam. Yang paling mencengangkan adalah 52,3 persen siswa dan 14,2 persen guru membenarkan serangan bom.
Jika angka-angka survey ini tidak cukup membuka mata kita akan bahaya monster radikalisme yang mengintai anak-anak kita, atau bahkan kita sibuk berdebat tentang metodologi survey, maka bacalah pengakuan seorang kader putri Muhammadiyah di atas. Pengakuan itu memang hanya dari satu orang, tapi itu mestinya telah menyingkap segalanya.[]