Selain sahabat Abu Bakar riwayat-riwayat tentang ilmu Kanjeng Nabi Muhammad juga banyak diriwayatkan oleh sahabat-sahabat lain, seperti sahabat Abu Hurairah, sahabat Hudzaifah, dan lain-lain, seperti terhimpun dalam hadits-hadits tentang doa-doa dan wirid-wirid; yang mereka untuk juga meneruskan akhlak-akhlak Kanjeng Nabi. Baca juga 2 tulisan sebelumnya: Ustadz-ustadz Medsos: Keturunan Nabi, Ulama dan Sejarah Kelimuwan Islam (Bag-1) dan Ustadz-ustadz Medsos: Keturunan Nabi, Ulama dan Sejarah Kelimuwan Islam (Bag-2)
Para sahabat disebut oleh Kanjeng Nabi seperti bintang yang bersinar, dan mereka senantiasa berada dalam persatuan, manakala Nabi masih haidup, meskipun mereka memiliki pendapat-pendapat yang berbeda secara pribadi.
Hanya sebagian kecil dari kalangan Munafiqin, yang kemudian membuat Masjid Dhirar yang memisahkan dari Kanjeng Nabi. Dari para sahabat itulah dinukil ilmu, qoul, adab, wirid-tarekat-ahwal-ma’rifatnya. Oleh karena itu, Ahlul Bait, dan para sahabat lain baik yang dari Quraisy, dari Yaman, dan lain-lain, perlu dipandang saling melengkapi, untuk mengejawantahkan ilmu-ilmu dalam Pohon Kenabian itu.
Jalan Uwaisy al-Qorni
Ada juga mereka yang tidak bertemu dengan Kanjeng Nabi Muhammad, tetapi diberi ilmu ahwal, adab dan ma’rifatnya melalui jalan ruhani, seperti yang dilakukan Nabi kepada Syaikh Uwaisy al-Qarni. Dia diletakkan di urutan pertama tingkatan para tabiin, sebagai tabiin terbaik oleh Abu Nu’aim dalam kitab Hilyatul Auliyâ’ (II: 85); dan oleh al-Hujwiri dalam Kasyful Mahjûb. Dalam satu riwayat yang disebutkan dalam kitab Hilyatul Auliyâ’, disebutkan bahwa Haram bin Hayyan berkata: “Saya berkata kepada Uwaisy: “Ceritakan kapadaku dari Rosulullah dengan sebuah hadits, saya akan menghafalnya darimu”; Uwaisy al-Qorni kemudian menangis dan bersholawat atas Nabi shollallohu `alaihi wasallam, kemudian berkata: “Sesungguhnya saya tidak bertemu dengan Nabi, dan saya tidak ada persahabatan denganya, akan tetapi saya melihat orang yang melihat Nabi shollallohu `alaihi wasallam, Umar dan selainnya, semoga Alloh meridhoi mereka, maka disebutlah semisal itu” (Hilyatul Auliyâ’, II: 85).
Dalam kitab Kasyful Mahjûb karangan al-Hujwiri, diceritakan begini:
“Dia hidup pada masa Rosul, namun terhalang untuk melihat beliau, pertama oleh kemabukan (spiritual) yang mengalahkannya, dan kedua oleh kewajiban untuk mengurus ibunya. Rosul bersabda kepada para sahabat: “Ada seseorang di Qoron (Yaman), yang bernama Uwaisy yang nanti pada hari kebangkitan akan menyelamatkan banyak orang, sebanyak biri-biri Rabiah dan Mudhar.” Kemudian beliau berbalik kepada sahabat Umar dan Ali sambil bersabda: “Kalian semua akan menemuinya. Dia seorang miskin, tinggi sedang, berbulu, dan pada lambung kirinya terdapat bintik putih sebesar dirham yang bukan karena penyakit lepra, dan terdapat bintik yang sama, di telapak tangannya, sampaikan salamku, dan mintalah kepadanya untuk mendoakan umatku.”
“Sepeninggal Rosul, Sahabat Umar mengunjungi Mekkah, dan berseru dalam sebuah khotbah: “Wahai masyarakat Najd, adakah dari kalian yang berasal dari Qoron? Kemudian Umar bertanya tentang Uwaisy, yang dijawab: “Dia orang gila yang hidup terpencil, tidak berkumpul dengan siapa pun. Dia tidak makan makanan yang orang makan, dan dia tidak merasa senang atau sedih. Ketika orang lain tersenyum, dia sedih dan ketika orang lain menangis dia tersenyum.” Sahabat `Umar berkata: “Aku ingin bertemu dengannya.” Mereka menjawab: “Dia tinggal di gurun yang jauh dari unta-unta kami.” Sahabat Umar dan Imam Ali bergegeas mencarinya. Mereka berdua mendapati Uwaisy sedang shalat dan menunggu hingga usai. Dia memberi salam kepada keduanya dan menunjukkan kepada keduanya tanda di lambung dan telapak tangannya dan menyampaikan salam Rosul kepadanya, dan memintanya untuk mendoakan umat Islam.”
“Setelah keduanya diam untuk beberapa lama, Uwaisy berkata: “Kalian berdua mengambil risiko (dengan menemui saya) sekarang, kembalilah karena Hari Kebangkitan sudah dekat, ketika kita bertemu satu sama lain tanpa sempat mengucapkan salam perpisahan. Saat ini saya sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi hari kebangkitan.” Ketika orang-orang Qoron itu kembali ke rumah, mereka menunjukkan rasa hormat kepada Uwaisy. Dia meninggalkan kampungnya dan menuju Kufah. Suatu hari dia terlihat oleh Haram bin Hayyan, hingga periode perang sipil, dan dia berjuang membela Imam Ali dan mati syahid dalam Perang Shiffin” (Kasyful Mahjûb, bab X, tokoh ke-1)..
Dalam pertemuan dengan Haram di tepi sungai Eufrat, Uwaisy berkata: “Wa’alaikum salam wahai Haram bin Hayyan.” Haram kemudian bertanya: “Bagaimana engkau tahu saya Haram bin Hayyan?” Uwaisy berkata: “Jiwa saya mengenali jiwamu.” Dia berkata kepada Haram: “Jagalah hatimu dari memikirkan yang lain.” Ungkapan ini memiliki dua makna: “Jadikanlah hati Anda taat kepada Alloh dengan jalan mujahadah; dan “taat pada perintah hati Anda sendiri” (Kasyful Mahjûb, bab X, bagian tokoh ke-2 tentang Haram bin Hayyan).
Sebagimana jalan Uwaisy al-Qorni, banyak cerita guru-gurtu besar sufi dibimbing secara rohani oleh Kanjeng Nabi Muhammad; dan guru-guru besar sufi ada yang membimbing muridnya melalui jalan rohani juga. Untuk membuktikan ini, kitab Afdholush Sholawât `alâ Sayyidis Sâdat karangan Syaikh Yusuf bin Isma`il an-Nabhani, dapat mengkonfirmasinya. Kitab itu menghimpun berbagai sholawat, yang di antaranya ada sholawat-sholawat yang disusun langsung dengan dibimbing oleh Kanjeng Nabi.
Jalan al-Khidriyah
Selain itu, juga ada sosok yang bernama Nabi Khidhir, sebagaimana diriwayatkan banyak guru sufi, yang di antaranya meriwayatkan wirid al-Musabba`at al-Asyara, dan dzikir sholawat pendek Shollalôhu alai wasalllam; dan beberapa jenis redaksi istighfar, redaksi tasbih, dan lain-lain; yang memberikan pengajaran dan mendidik guru-guru tertentu.
Sebagian orang tidak mengakui ini, tetapi para guru besar sufi, mengakui ini dengan kesadaran sepenuhnya. Ilmu-ilmu kenabian dari Nabi Muhammad juga diajarkan kepada Nabi Hidhir, lalu diajarkan kepada sebagian umat Islam, seperti cerita wirid al-Musabbatul Asyaro, yang diketengahkan Imam al-Ghozali dalam kitab Ihyâ’; dan Abu Tholib al-Makki dalam Quttul Qulûb; dan cerita soal sholawat dengan redaksi pendek, shollallôhu `alâ Muhammad. Cerita sholawat dengan redaksi pendek yang diketengahkan kitab Afdholush Sholawât `alâ Sayyidis Sâdat, telah dijelaskan dengan gambling. Saya sendiri telah menulis jalan Khidir ini dalam tulisan berseri tentang Wali Abdal.
Al-Ulama’ Pendidik Umat
Ilmu-ilmu kenabian yang diajarkan melalui beberapa jalur itu, membawa pada pengertian bahwa Ahlu Bait Nabi adalah satu bagian; di mana bagian yang lain Nabi juga mewariskan kepada mereka yang ada di luar Ahlu Bait Nabi. Para Ahlu bait Nabi itu, pada akhirnya bercabang 2: satu berkiprah di kalangan Syiah dan satunya berkiprah di kalangan Ahlussunnah Waljamaah. Pewarisan ilmu-ilmu kenabian di luar Ahlu Bait Nabi itu, juga membawa implikasi ada orang-orang yang mewarisi ilmu-ilmu kenabian itu, berasal dari orang-orang di luar Arab, atau percampuran dari berbagai ras dan suku, antara Ajam dan Arab; antara Ahlu Bait dan bukan Ahlu Bait.
Mereka ini dimuliakan Kanjeng Nabi, melalui penghimpunan dalam hadits-hadits tentang al-Ulama’. Kanjeng Nabi mengatakan bahwa para Ulama’ adalah pewaris para Nabi, al-Ulamâ’ warotsatul anbiyâ’, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Darda’: “Sesunggnya para Ulama’ adalah pewwaris para Nabi” (Abu Abdullah Muhammad bin Salamah al-Qhodho`i, Musnad asy-Syihâb, II: 103, hadits No. 975, pada bab No. 630 tentang “al-`Ulama’u warotsatul Anbiyâ’”). Dalam catatan kaki pada Musnad asy-Syihâb (jilid II: 103) itu disebutkan, hadits ini juga diriwayatkan oleh: Tirmidzi, No. 2822; Ahmad (jilid V: 196); Ibnu Majah, No. 223; Abu Dawud, No. 3624; Darimi, No. 349; Ibnu Hibban, No. 80; dan al-Khotib di dalam ar-Rihlah hlm. 77-82.
Sedangkan menurut catatan kaki pada Syarhus Sunnah karangan al-Baghowi, hadits di atas juga dimuat dengan redaksi panjang, melalui Katsir bin Qois yang berkata begini:
“Saya bersama Abu Darda’ sedang berada di Masjid Damsyiq, dan seorang laki-laki dari Madinah datang kepada Abu Darda’, ketika ia di Damaskus. Abu Darda bertanya: “Apa keperluanmu datang ke sini wahai sadauaraku?” Laki-laki itu menjawab: “Ada perkataan yang sampai kepadaku bahwa engkau menyampaikan hadits Rosulullah shollallohu `alaihi wasallam”. Abu Darda berkata: “Tidakkah kamu ada keperluan lain?” Dia berkata: “Tidak”. Abu Darda bertanya: “Tidakkah kamu berdagang?” Dia berkata “tidak”. Tidaklah aku datang kecuali aku datang mencari hadits.” Abu Darda berkata: “Aku mendengar Rosululloh bersabda: “Barang siapa yang menempuh perjalanan mencari ilmu maka Alloh akan membuka jalan baginya menuju surga. Sesungguhnya para malaikat akan membentangkan sayapnya karena keridhoaan mereka kepada para penuntut ilmu. Sesungguhnya seorang yang alim, akan dimintakan ampunan penghuni langit dan bumi, bahkan oleh ikan besar yang ada di lautan.
Keutamaan ahli ilmu di atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan di atas bintang bintang. Sesunggnya para Ulama’ adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidak mewarisakan dinar dan dirham, akan tetapi mereka hanya mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mengambil ilmu itu sesungguhnya ia telah mengambil bagian yang banyak” (Imam al-Baghowi, Syarhus Sunnah, I: 275-276, hadits No. 129).
Hadits ini menurut Imam al-Baghowi adalah hadits ghorib karena hanya diriwayatkan melalui jalan Roja bin Haiwah. Meski begitu, statusnya menurut catatan kaki di kitab itu disebutkan begini: Hadis hasan, dikeluarkan Abu Dawud (No. 3641), Darimi, Ahmad, Ibnu Majah, Tirmidzi (No. 2684), Ibnu Hibban (No. 88), dan Hamzah al-Kinani memberikan status Hasan, dan hadits itu memiliki syawahid yang memperkuatnya seperti dikatakan Ibnu Hajar dalam Fathul Bârî pada jilid I: 169 (al-Baghowi, Syarhus Sunnah, II: 276, pada catatan kaki No. 1). [Bersambung]