Sebelum lebih lanjut tentang bagaimana sejarah islam dan tradisi keilmuwan islam, sebaiknya para pembaca mengikuti catatan pertama terlebih dahulu, klik Ustadz-ustadz Medsos: Keturunan Nabi, Ulama dan Sejarah Kelimuwan Islam (Bag-1)
Kedudukan Ahlu Bait Nabi, juga disebutkan dalam Tafsir Durrul Manstûr yang mengutip riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim. Dalam riwayat ini, posisi mereka itu disebutkan oleh Imam adh-Dhohak, berkata bahwa Nabi bersabda: “Kami Ahlu Baitin Nabi adalah Syajarotun Nubuwwah, tempatnya risalah kenabian, mukhtalaful mala’ikah, rumah kasih sayang, dan ma’dinul `ilmi” (Jalaluddin as-Suyuthi, Durrul Mantsûr, XII: 43).
Syajarotun Nubuwwah, bermakna Pohon Kenabian, tanaman kenabian yang hidup. Inti dari Pohon Kenabian itu adalah ilmu dan adab. Ilmu di situ dimaksudkan sebagai ilmu untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ilmu itu terhimpun dalam Al-Qur’an dan Sunnah Kanjeng Nabi dalam qoul-qoul, amal-amal, adab, dan wirid-tarekat-ahwal-ma’rifatnya; yang kemudian diteruskan melalui beberapa jalan: Ahlul Bait melalui Imam Ali, para sahabat selain Ahlul Bait, sebagian melalui jalan pengajaran ruhani seperti kepada Uwaisy al-Qorni, dan melalui jalan al-Khidriyah (Nabi Khidir dari Kanjeng Nabi Muhammad), lalu diamalkan atau diteladani umat.
Jalan Melewati Imam Ali
Pohon Kenabian itu, salah satunya tumbuh dari Ahlu Baitin Nabi, karena dari mereka Nabi mengajarkan ilmu-ilmu kenabian itu: tentang amal-amal lahir dan batin, tarekat, ahwal dan ilmu ma’rifat. Ilmu ahwal dan laku tarekat diajarkan kepada Imam Ali, salah satu dari Ahli Bait Nabi yang memiliki derajat tinggi; dan melaluinyalah, dzikir jahr dalam tarekat diturunkan sampai kepada generasi sekarang.
Anak cucu dan Ahlu Baitin Nabi itu meneruskan Pohon Nubuwwah itu. Hal ini, juga mengandung pengertian bahwa Ahlul Bait itu harus senantiasa menghadirkan cahaya risalah kenabian di dalam rumahnya dan kepada umat, cahaya ilmu dan adabnya, serta wirid, ahwal, tarekat, dan ma’rifatnya. Oleh karena itu pula, Ahlu Baitin Nabi, pada akhirnya menjadi tokoh-tokoh penghimpun yang menjadi marja’nya umat, karena kemuliaan menghimpun qoul-qoul, wirid-wirid, dan tarekat-tarekat-ahwal-ma’rifatnya yang diajarkan, berasal dari guru bersambaung sampai kepada Kanjeng Nabi Muhammad, seperti Qodiriyah, Syadziliyah, Alawiyah, dan lain-lain.
Pencetus dari tarekat-tarekat itu adalah para keturunan Nabi, atau para Sadat, yang termasuk dari Ahlu Baitin Nabi. Dari mereka juga disebarkan rangkaian redaksi sholawat yang diamalkan kaum muslimin, dan madah-madah kecintaan kepada Nabi, dan beragam wirid; mereka juga mengajarkan qoul-qoul Kanjeng Nabi Muhammad yang diriwayatkan di dalam kitab-kitab hadits.
Jalan Sahabat Abu Bakar dan Para Sahabat
Akan tetapi senantiasa kita selalu diingatkan, bahwa ilmu-ilmu dan adab yang disebarkan Nabi Muhammad, selain melewati para Ahlu Baitin Nabi, juga melewati dan diajarkan kepada sahabat-sahabat yang lain di luar Ahlu Baitin Nabi melalui Imam Ali. Dan inilah yang kemudian oleh banyak hadits disebutkan dengan keutamaan para sahabat Nabi. Dan, para sahabat disebut oleh Nabi, dengan perkataan di mana zaman mereka itu: Khoirul Qurûn Qornî (Shohîh al-Bukhôrî, No. 2652; Muslim, No. 2536, Syarah Shohîh Muslim li an-Nawâwî, XVI: 85; dan Syarah Shohîh al-Bukhôrî li Ibni Mulaqqon, XVI: 518).
Sebaik-baik zaman adalah zamanku, di mana para sahabat hidup, dan ada bimbingan langsung dari Nabi. Karena iman para sahabat itu kuat, tidak memerlukan kekeramatan-kekeramatan yang konstan untuk membuktikan kepada umat; dan umat sendiri yakin dengan mereka.
Kedudukan para sahabat ini juga disebutkan oleh Imam Ahmad yang menukil pernyataan Ibnu Mas`ud, begini:
“Sesungguhnya Alloh memperhatikan hati para hamban-Nya. Alloh mendapati hati Nabi Muhammad shollallohu `alaihi wasallam adalah hati yang paling baik, sehingga Alloh memilihnya untuk dirinya dan mengutusnya sebagai pembawa risalah-Nya. Kemudian Alloh melihat hati para hamba-Nya setelah hati Nabi Muhammad. Alloh mendapati hati para sahabat beliau adalah hati yang paling baik.
Oleh karena itu Alloh menjadikan mereka sebagai para pendukung Nabinya yang berperang demi membela agamanya. Apa yang dipandang baik kaum muslimin (para sahabat) pasti baik di sisi Alloh; dan apa yang dipandang buruk oleh mereka pasti buruk di sisi Alloh (Musnad Ahmad, versi Baitul Afkar digabung menjadi satu, 1998, hlm. 309, hadits No. 3600).
Sementara dalam hadits yang dinilai sanadnya lemah (sebagian menyebut la ashla lahu), disebutkan: “Ashabî kannujûm, biayyihim iqtadaitum, ihtadaitum” (Bahjat Mahâfil, II: 445); “Para sahabatku adalah seperti bintang-bintang, dari mana saja kamu mengikuti mereka kamu memperoleh petunjuk.” Dalam redaksi lain, ada juga yang menggunakan lafadz: “Para sahabatku seperti bintang-bintang di langit, di mana saja engkau mengambilnya engkau mendapat petunjuk, dan perbedaan di kalangan para sahabatku adalah rahmat.”
Oleh karena itu, Pohon Kenabian yang berakar pada ilmu, adab, dan ma’rifat juga diajarkan kepada satu pohon lagi, bukan dari jalur Bani Mutholib, yaitu melewati sahabat Abu Bakar ash-shiddiq, orang termulia setelah Kanjeng Nabi Muhammad, dalam bentuk dzikir sirr. Sahabat Abu Bakar adalah mertua, seorang Quraisy juga, mertua Kanjeng Nabi, orang yang memiliki derajat tinggi dalam spiritual setelah Kanjeng Nabi.
Dari sahabat Abu Bakar, diterima ilmu-ilmu Kanjeng Nabi Muhammad, tentang ahwal, wirid, adab, dan ma’rifatnya. Dari para guru melalui jalur ini, muncul tarekat dengan metode dzikir sirr; dan rangkaian sholawat yang diamalkan kaum muslimin dan kecintaan pada Alloh melalui wasilah kecintaan kepada Nabi, juga muncul dari guru-guru yang mengikuti jalan tarekat ini.