Media sosial merupakan tempat bagi ustadz-ustadz yang menyebarkan dakwah untuk anak-anak zaman sekarang, baik melalui Twitter, Youtube atau FB. Akan tetapi, ustadz-ustadz itu dalam dakwahnya ternyata ada juga yang isinya memprovokasi dan memusuhi umaro’; ada juga membenci kelompok lain, dan mengungkap kabar yang belum diperjelas dan tidak memperoleh validasi, sehingga menimbulkan keresahan umat. Yang paling mutakhir, pemanggilan Ustadz Zulkifli oleh kepolisian, karena dilaporkan menyebarkan provokasi dan kebencian.
Sebelumnya adalah Habib Riziq yang sekarang masih di luar negeri karena tidak bersedia diproes hukum dan tidak kembali ke Indonesia, karena kasus beredarnya sebuah video. Sebagian orang bahkan dalam sebuah grup Medsos sangat merindukannya, dan dengan bahasa yang nyaris tanpa kritik, memuji-muji, seakan tidak terjadi apa-apa; dan pada saat yang sama, kita juga bisa melihat, postingan dan kiriman-kiriman foto yang menggambarkan Habib Riziq di luar negeri, di mana dia sedang berjalan-jalan, dengan komentar yang masih terus nyinyir dari para pengkritiknya; tanpa mempertanyakan pemerintah Jokowi kenapa tidak menjemput dan mencari sedemikian rupa sampai bisa menangkapnya: kenapa pemerintah Jokowi sangat lemah soal ini.
Kasus seperti Habib Riziq ini, bisa saja menjatuhkan sebagian orang pada krisis pandangan tentang Ahlu Bait Nabi, yang kulminasinya, terutama pada citra dan tampilan dakwah Habib Riziq Syihab (tentu tidak terhadap semua Habaib). Sementara sang pembela memberikan pujiannya, semata-mata hanya dengan menyanjungnya tanpa mempertimbangkan apa yang sedang dituduhkan kepadanya, tentang akhlaknya dalam dakwah di tengah masyarakat dan kasus hukumnya, abai terhadap peraturan negeri.
Dalam tulisan ini, saya hanya ingin melihat fenomena ustadz-ustadz Medsos dan Habib Riziq itu, dari sudut bagaimana Islam melihat Ahlul Bait Nabi dan Ulama’ dalam pewarisan ilmu-ilmu kenabian, dengan mendudukkan dalam kerangka al-Ulama’ dan al-Umaro’ di dalam relasi publik. Pertama-tama, akan dijelaskan Ahlu Bait Nabi, karena ada di antara para pendakwah itu dari kalangan mereka dan pewarisan ilmu-ilmu kenabian melalui jalur selain Ahlu Bait; dan selanjutnya dijelaskan tentang al-Ulama’ sebagai bagian lain selain Ahlu Bait untuk melihat para ustadz-ustadz Medsos itu dalam kerangka pendidik umat; dan selanjutnya tentang umaro’ dan masalah Ulil Amri dan relasi dengan Ulama’ di dalam publik.
Tentang Ahlu Baitin Nabi
Para Keturunan Nabi biasanya disebut Ahlu Bait. Akan tetapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan ini? Dalam riwayat Imam Muslim dalam Shohîhnya dan disebutkan oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab tafsir Durrul Mantsûr (jilid XII: 42), ada sebuah hadits Hushain bin Syabroh dari Zaid bin Arqom, dalam hadits yang agak panjang, di dalamnya ada perkataan Rosululloh shollallohu `alaihi wasallam, begini:
“Saya mengingatkan kalian kepada Alloh di dalam masalah Ahli Baitku” (dalam versi Imam muslim diulang 3 kali). Dan Hushain berkata kepada Zaid: “Dan siapakah Ahlul Baitnya? Bukankah perempuan-perempuan istri beliau adalah Ahlul Baitnya?” Zaid berkata: “Perempuan-perempuannya, adalah Ahlul Baitnya, tetapi Ahlul Baitnya adalah siapa saja yang diharamkan menerima sedekah setelah itu, yaitu Alu Ali, Alu Aqil, Alu Ja’far, dan Alu Abbas.” Hushain berkata: “apakah setiap dari mereka diharamkan menerima shodaqoh?” Zaid menjawab: “Ya” (Shohîh Muslim, versi Darul Kutub al-Islamiyah, 1991, hadits No. 2408)
Tentang Imam Ali dan keturunannya sebagai Ahlul Bait, memperoleh penjelasan cukup banyak dalam hadits Nabi Muhammad, terutama dalam menjelaskan sebab turunnya surat al-Ahzab ayat 33: “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” (QS. Al-Ahzab [33]: 33).
Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam Durrul Mantsûr, mengumpulkan berbagai riwayat, bahwa ayat ini diturunkan di rumah Ummu Salamah. Kemudian Nabi memanggil Imam Ali, Sayyidah Fathimah,Imam al-Hasan dan Imam al-Husain, dan kemudian berdoa, sebagaimana diriwayatkan Imam Tirmidzi dari Ummu Salamah, Nabi bersabda: “Ya Alloh mereka Ahlu Baitku, dan hilangkanlah dosa mereka, bersihkanlah sebersihnya.” Lalu Ummu Salamah berkata: “Dan saya bersama Anda wahai Nabi Alloh? Nabi bersabda: “Engkau ada dalam derajat kedudukanmu dan engkau dalam kebaikan” (as-Suyuthi, Durrul Mantsûr, jilid XII: 42).
Imam as-Suyuthi meneruskan bahwa Rosululloh juga bersabda menurut riwayat Imam Thobroni dari Abu Said al-Khudri: “Ayat ini diturunkan berkenaan dengan lima orang, tentang diriku (Nabi Muhammad), Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain.” Dalam riwayat lain, disebutkan juga, Nabi kemudian berdoa: “Allohumma hâ’ulâ’i Ahlu Baitî.”
Sedangkan dalam kitab Bahjatul Mahâfil ditambahkan begini: “Demikian juga tatkala diturunkan ayat tentang Mubahalah, Nabi memanggil mereka juga, dan Nabi berdoa: “Allohumma hâ’ulâ’i ahlî” (Abu Zakariya Imaduddin Yahya bin Abi Bakar, Bahjatul Mahâfil wa Bughyatul Amâtsil, Darul Kutub al-`Ilmiyah, 1996, II: 442).
Imam Mawardhi dalam tafsir An-Nukat wal `Uyûn, menjelaskan tafsir tentang Ahlul Bait dalam ayat 33 surat al-Ahzab itu, ada tiga pendapat: mereka adalah Imam Ali, Sayyidah Fathimah, Imam al-Hasan, dan Imam al-Husain, sebagaimana dikatakan Abu Said al-Khudhri, Anas bin Malik, `Aisyah, dan Ummu Salamah; mereka adalah istri-istri Nabi secara khusus, sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas dan Ikrimah; dan mereka yang masuk keluarga Nabi, al-ahlu dan al-azwaj (al-Mawardi, an-Nukat wal `Uyûn, IV: 401)
Imam Al-Qurthubi, ketika menyebutkan penafsiran surat al-Ahzab ayat 33 itu, menjelaskan dengan mengutip: “Az-Zujaj berkata: “Dikatakan yang dimaksud adalah perempuan-perempuan Nabi (istri-istrinya); dan dikatakan juga “perempuan-perempuan Nabi dan keluarganya, yang mereka itu Ahlu Baitnya” (al-Qurtubi, Tafsir Qurthubî, IV: 182).
Imam al-Harori menjelaskan perbedaan dalam soal Ahlul Bait, dengan mengomentari hadits Imam Muslim yang dikutip di atas, begini: “Terjadi perbedaan, siapakah yang disebut al-Alu di sini. Imam Syafi`i berkata dan jama`ah para Ulama’: “Mereka adalah Bani Hasyim dan Bani Muthalib, dan Imam Syafii berdalil dengan hal itu, karena Bani Mutholib bersama Bani Hasyim berserikat dalam bagian Dzawil Qurba…” Sementara menurut Imam al-Harori, pandangan Imam Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad, berkata: “Ahlul Bait itu adalah Bani Hasyim saja, dan Banul Mutholib boleh atas mereka pemberian zakat, karena mereka masuk ke dalam keumuman ayat dalam surat at-Taubah ayat 60.”
Imam Al-Harori kemudian menyebutkan juga hadits dari Imam Bukhori yang menyebutkan hadits dari Ibnu Mut`im, yang berkata demikian: “Saya berjalan bersama Rosulullah, saya, dan Utsman bin `Afan berjalan menemui Nabi, dan kami berkata: “Wahai Rosulallah, engkau memberi Bani Mutholib seperlima dari tanah Khaibar, dan engkau meninggalkan kami, dan (padahal) kami dan mereka itu ada pada manzilah yang satu, maka Rosulullah berkata: “Innamâ Banu al-Mutholib dan Banu Hasyim adalah sesuatu yang satu” (Muhammad Amin Al-Harori asy-Syafi`i, Syarah Shohih Muslim, XII: 295). Imam Ibnu Mulaqqon juga mengetengahkan hadits ini dalam syarah Bukhorinya ketika mensyarahi hadits Bukhori No. 3140 (dalam Syarah Ibnu Mulaqqon, XX: 47)
Jadi, dalam pandangan para Ulama’ Ahlussunnah, Ahlul Bait itu tidak hanya keturunan dari imam al-Hasan dan al-Husain, tetapi juga, seperti disebutkan Zaid bin Arqom: Alu Ali, Alu Aqil, Alu Ja’far, dan Alu Abbas; dan menurut Imam Syafi`i mereka itu termasuk Bani Hasyim dan Bani Mutholib; dan menurut Imam Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad, mereka adalah Banu Hasyim saja; dan menurut az-Zujaj, mereka itu para istri Nabi dan keluarga Nabi atau ahlinya.
Dan hadits Ibnu Muth`im di atas, juga membawa pengertian bahwa Ahlul Bait itu diharamkan menerima shodaqoh, yang dalam hal ini bermakna zakat. Hal ini berdasarkan hadits-hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam satu bab khusus berjudul “Tahrîmush shodaqoh li Âli Muhammad”.
Salah satu hadits yang disebutkan di situ berasal dari Abu Hurairah, Nabi bersabda: “Adapun engkau tahu, sesungguhnya kami tidak memakan sedekah” (Shohîh Muslim, No. 2354); dan redaksi lain menyebutkan “Sesungguhnya tidak halal bagi kami sedekah” (Shohîh Muslim, No. 2355).
Kata annâ, dalam hadits di atas, ditafsirkan oleh Imam al-Harrori, sebagai “Ma`asyiro Ali Muhammad”, semua keluarga Nabi Muhammad. Lalu dikatakan begini: “Di dalamnya mengandung pengertian tahrim atau haramnya zakat atas Nabi dan para ahlinya” (Syarah Shohîh Muslim li al-Harori, XII: 295).
Ilmu kenabian dan Ragam Jalan Pewarisannya
Abu Zakariya Imaduddin Yahya bin Abi Bakar dalam kitab Bahjatul Mahâfil wa Bughyatul Amâtsil, menyebutkan kedudukan Ahlul Bait Nabi, begini: “Berkata Rasululloh shollallohu `alaihi wasallam: “Mengetahui haqq Âli Muhammad dapat membebaskan dari api neraka, dan mencintai Âlu Muhammad jawazu di atas titian shirat, dan wilayah (kekuasaan) bagi Âlu Muhammad dapat mengamankan dari adzab.” Berkata sebagian mereka (Ulama’): “Ma’rifatu haqqi Âli Muhammad adalah ma’rifat atas tempat/posisi mereka di sisi Nabi, maka apabila mereka tahu demikian, tahulah terhadap kewajiban atas haqq mereka dan keharaman mereka, atas sebab Kanjeng Nabi Muhamma shollallohu `alaihi wasallam” (Bahjatul Mahâfil, II: 442).
Dalam kitab itu juga disebutkan derajat mereka di sisi Rosululloh shollallohu `alaihi wasallam, begini: “Nabi bersabda, barangsiapa yang mencintai diriku dan mencintai dua orang, dengan memberi isyarat kepada al-Hasan dan al-Husain, ayah keduanya dan ibu keduanya, maka dia bersamaku dalam derajat keduanya di hari kiamat”;
Ahlul Bait itu diumpamakan oleh Nabi Muhammad, seperti disebut dalam kitab itu juga, begini: “Nabi bersabda: “Perumpamaan Ahlu Baitku, sepeti perahu Nuh, barangsiapa yang menumpanginya, maka dia selamat, dan barangsiapa yang menyelisihinya, maka dia tenggelam dan menuruti hawanya.” [Bersambung]