Sebagaimana yang kerap diajarkan para dai-motivator, ketika terjadi suatu kontroversi, kedepankanlah baik sangka. Kata para dai, buruk sangka (suuz-zhan) itu pangkal dari iri dan benci. Iri dan benci bisa menggelapkan hati. Maka saya mula-mula berusaha berbaik sangka kala ada kontroversi. Apalagi jika kontroversi itu menyangkut orang atau organisasi dengan label yang keren: ustadz atau pembela Islam.
Kala terjadi pembatalan diskusi buku Tan Malaka di Surabaya oleh para pembela Islam itu, saya berusaha mengajukan tiga alternatif baik sangka. Pertama, dengan lantaran mereka, mungkin Tuhan sedang berkehendak mewujudkan ramalan Tan Malaka. “Dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras!” ujar Tan Malaka. Kenyataanya, buku tentang Tan Malaka itu saja belum dibaca, tapi para pembela Islam sudah mengkawatirkan nasib akidah kaumnya. Tan Malaka sakti betul rupanya.
Kedua, mungkin saja para pembela Islam memahami bahwa orang Indonesia ini malas membaca sejarah bangsanya sendiri. Maka dibatalkanlah rencana diskusi buku tentang Tan Malaka itu. Alasannya: agar Tan Malaka jadi pembicaraan publik. Para pemilik buku Madilog akan kembali membaca buku itu secara lebih seksama. Atau setidaknya akan banyak yang tanya ke Syaikh Google tentang siapa itu Tan Malaka. Jadilah kemudian ada lebih banyak orang yang pelan-pelan tahu siapa itu Tan Malaka.
Ketiga, mungkin Tuhan sedang ingin menunjukkan cara berpikir para pembela Islam itu: mendiskusikan buku berisi ideologi X adalah sama dengan menyetujui dan mempropagandakan ideologi X. Dengan kejadian itu, Tuhan ingin menunjukkan bahwa: “Ini lho logika para pembela Islam itu!”
Syukurlah, mayoritas orang di negeri ini tampaknya masih waras dan bisa menangkap “sinyal” dari Tuhan itu. Dengan beberapa kejadian mutakhir menyangkut para pembela Islam tahu, publik mendapat data-data untuk dipertimbangkan apakah kata “membela Islam” layak tersemat kepada mereka.
Begitulah. Baik sangka ini juga coba saya ajukan pula kala membaca warta tentang ustadz yang “mengunci” operator sound-system.
Istilah “ustadz” pada mulanya ialah gelar yang mentereng. Di Arab sana, kalau anda mendapati buku yang penulisnya bergelar “al-Ustadz ad-Duktur”, itu artinya “profesor doktor”. Ustadz adalah gelar setara guru besar, dan tentu saja sudah harus melewati jenjang-jenjang akademis tertentu.
Itu di sana. Tapi di negeri ini, ustadz adalah panggilan lazim untuk para dai. Ustadz di negeri ini bisa jadi tenar ketika sudah melewati jenjang-jenjang seleksi media, atau setidaknya tertangkap “kompetensinya” oleh media.
Kompetensi yang dimaksud oleh media tentunya yang sesuai dengan logika media: syarat-syarat agar lulus ujian jadi dai adalah harus sesuai tuntutan pasar. Salah satu syarat mutlak syarat ujian seleksi itu: harus menghibur, punya nilai entertainment—mungkin juga infotainment. Syarat- lainnya yang bisa jadi nilai tambah: berpenampilan menarik, bersuara bagus, syukur-syukur bisa nyambi jadi penyanyi, dan alhamdulillah kalau punya diferensiasi; gaya penyampaian yang beda, unik, dan kalau perlu juga punya jargon-jargon antik.
Kita jadi tahu, jadi ustadz-dai itu tak mudah. Sedikit orang yang bisa menyampaikan ajaran moral dengan gaya yang disukai banyak orang. Untuk bisa memasarkan dakwahnya, cara-cara yang ditempuh para dai tentu tak mudah. Mungkin saja karena susahnya cara ini didapat, maka jadilah para dai kita punya logika yang sama dengan para caleg: karena biaya kampanyenya mahal, mestinya ada kompensasi. Misalnya, dengan punya jam tangan Rolex atau mobil Lamborghini.
Itulah alternatif pertama untuk berbaik sangka. Opsi baik sangka yang kedua, mungkin saja ada “konspirasi” Tuhan yang sedang bermain di sana. Melalui adegan smackdown ustadz terhadap operator sound-system itu, Tuhan sedang ingin agar umat memikirkan kembali pengertian mereka tentang “ustadz”.
Lagi-lagi kita mesti bersyukur, kenyataanya publik masih cukup waras. Ada kesadaran yang pelan-pelan kini menyeruak: ustadz harusnya begini, dan bukan begitu. Kejadian itu menjadi blessing in disguise,sehingga publik mulai mengarahkan kritiknya pada cara media menyeleksi dai-dainya.
Kehebohan ustadz “pengunci” itu semoga membuat akal publik semakin sehat dalam memerikan kriteria ustadz: bukan dari segi humor (pandai melawak), horor (berpenampilan kearab-araban), dan honor (bergaya hidup funky). Semoga begitu, atau setidaknya saya berharap para penyewa jasa ustadz bisa begitu.
*) tulisan ini pertama kali dimuat di Koran Tempo, 25/02/2014