Ngomong-ngomong, aku ini ustdaz loh. Apa ukurannya? Jelas, sewaktu mondok di Nurul Ummah Kotagede, Jogjakarta, pengurus pondok minta aku nyorog Al-Qur’an untuk santri-santri tingkat awaliyah, yang ngajinya gak-gik-gok, macam mobil mau mogok. Pengurus menilai saya bahwa ilmu tajwidku memadai, idhar, ikhfa dan idgomku jelas, waqof dan washolku konsisten, madnya tepat, saktah serta imalah tidak lupa, makhorijul hurufnya mantap. Dengan kemampuan itu, kalau hanya dengan Mahfud MD, apalagi SBY, aku berani tanding baca Al-Qur’an.
Lebih dari itu, dan merupakan hal utama dalam ilmu-ilmu keislaman, guru ngajiku punya sanad yang jelas, yakni Kiai Ahmad Zaini, Pesantren Krapyak. Sewaktu ngaji di kampung pun, sanad baca Al-Qur’anku juga nyambung ke Pesantren Krapyak, yaitu melalui Kiai Muhaimin (biasa dipanggil Kang Emin). Ia ngaji ke Kiai Umar yang langsung berguru pada Mbah Munawir, Krapyak. Ngaji kepada beliau-beliau tidak sembarangan loh, kita berhadapan satu per satu. Di hadapan guru ngaji, tak boleh muka kita menunduk. Hal demikian dilakukan agar gerakan lidah dan bibir diketahui persis oleh guru. Jika ada yang keliru, mata kita disuruh melihat dengan jeli gerakan mulut sang guru. Tidak gampang mengaji Al-Qur’an, kita bisa berminggu-minggu mengulang surat al-Fatihah, bahkan ada yang berbulan-bulan. Jika tidak sabaran, santri bisa mutung, lalu pulang kampung.
Tanda-tanda lain dari keustadzanku adalah hidup di pondok tak kurang dari sembilan tahun. Di Krapyak empat tahun, di Kotagede lima tahun. Pengalaman sepuluh tahun di pondok itu tak akan selesai dibicarakan dalam semalam, apalagi ditulis satu halaman. Belum lagi sewaktu di kampung, hobiku tidur di masjid, artinya, habis Magrib, Isya, dan Subuh, aku mengaji dan sembayang berjama’ah. Dan tidak lupa, aku lulusan Fakultas Syariah IAIN Jogjakarta. Keren bukan?
Namun, aku sering kali berpikir bahwa keustadzanku telah batal. Ya batal. Persis seperti orang sedang sembayang kentut, harus wudlu lagi dan mengulangi sembayangnya dari awal. Batal bukan karena aku pasang tarif selangit, tapi justru ketika berkostum ustadz dan melaksanakan tugas-tugas keustadzan.
Pertama kali aku merasa batal jadi ustadz ketika melangsungkan akad nikah. Bukan akad nikahnya, melainkan kostumnya. Saat itu, aku mengenakan kopyah hitam, kemeja putih dilengkapi jas abu-abu, dan sarung warna hijau gelap. Tidak pernah saya mengenakan pakaian selengkap begitu. Saat itulah, aku merasa seperti Kiai Syukron Makmun, mubaligh kondang dari Jakarta, yang ketika ceramah, suka berkostum demikian. Mubaligh yang akan meneriaki PKI pada jama’ahnya ketika sedang berdoa, ”Yang berdiri, yang tidak ikut berdoa, seperti PKI.” Tapi pada saat bersamaan, aku sudah merasa batal menjadi ustadz. Aku kini bukan saja sudah jarang-jarang mendengarkan ceramah, tapi juga mudah meninggalkan doa.
Dua minggu menjelang Idul Fitri datang, tahun 2010, aku terima surat dari takmir masjid. Isinya permintaan menjadi khotib sembayang Idul Fitri. Aku tidak bisa menghindar, tidak bisa menawar misalnya bagaimana kalau Idul Fitri tahun depan saja, atau setidaknya Idul Adha saja. Harga mati. Pasalnya, bapak mertuaku, yang juga ketua takmir masjid, yang langsung memberikan surat tersebut. Entah bagaimana dia memilihku, mungkin karena saat akad nikah –empat bulan sebelum Idul Fitri, bukan saja lancar dan tidak grogi, tapi juga fasih, sehingga orang-orang seisi ruangan yang semua berkopyah mufakat sah.
Khotbah Idul Fitriku lancar. Weeehh.. isinya hebat, ngutip-ngutip kitab Kimyatus Sa’adah karya Imam al-Ghozali, apa sejatinya hidup? Bagaimana kebahagiaan hakiki dapat diraih? Pokoknya, ustadz banget, Saudara-saudara. Dan tampaknya juga banyak orang yang menikmatinya. Ketua takmir masjid pun tampaknya puas.
Buktinya, setelah itu, aku diminta menggantikan jadwal khotbah ketua takmi mesjid. Tahun-tahun berikutnya, tertera dalam jadwal nama Ustadz Hamzah Sahal, S.HI, jadi khotib. Bahkan, mulai tahun 2013, masjid kampung sebelah juga memintaku untuk khotbah.
Namun apa yang kurasakan? Semuanya telah menyiksaku. Aku merasa dipaksa menjadi ustadz, padahal banyak hal-hal yang telah membatalkan ‘sifat keustadzanku’.
Ustadz bagiku adalah kata sifat (ustadz tentu saja isim atau kata benda), bukan yang lain-lain, apalagi profesi yang memiliki jam kerja, memiliki cuti, dan memiliki tarif. Boleh saja seorang ustadz dibayar, tapi itu harus datang dari kesadaran pihak lain, bukan dari ustadz sendiri.
Sifat ustadz merupakan gabungan dari ‘kemampuan’ dan ‘kelakuan’. Kemampuan itu berupa ilmu. Ilmunya ustadz itu bukan saja harus dijaga, tapi juga dikembangkan. Dan kelakuan, ini yang lebih berat. Sebab, kelakuan adalah bentuk nyata dari ilmu. Kelakuan ustadz itu harus 23 tingkat di atas kelakuan orang awam.
Jika ustadz bilang jangan kencing berdiri, maka orang awam ‘cukup’ kencing jongkok. Tapi seorang ustadz, tidak cukup kencing jongkong. Ustadz harus tahu seperti apa air untuk membasuh, harus mengerti betul bagaimana cebok yang baik, dan seterusnya. Jika kencing di toilet umum, seorang ustadz wajib menjaga keramahan-keramahan tingkat tinggi, tidak cukup melempar uang seribu perak begitu saja, tidak cukup dengan kencing tidak berdiri.
Kemampuan dan kelakuan itulah, yang rasa-rasanya, telah membatalkan keustadzanku. Mandi junubku tidak lagi seteliti saat aku hanya mimpi basah dulu, sembayangku tidak genap ketika di pondok dulu, perkataanku tidak selaras dengan kitab-kitab yang yang kupelajari dulu. Serius, betul, aku telah batal menjadi ustadz. Jika ingin sifat keustadzan itu menempel kembali, aku harus ‘wadlu’ lagi. Berat rasanya.