Ustad, Dai dan Mubaligh, Apa Bedanya?

Ustad, Dai dan Mubaligh, Apa Bedanya?

Apa perbedaan ustadz, dai, dan muballigh?

Ustad, Dai dan Mubaligh, Apa Bedanya?
Ilustrasi orang yang sedang berdakwah.

Lain di Tanah Arab, lain pula di Tanah Air. Ada banyak istilah atau kata dalam Bahasa Indonesia yang aslinya atau asal-muasalnya berasal dari Bahasa Arab yang penggunaannya lain antara di Tanah Arab dan di Tanah Air. Atau bahkan, istilah dan penerapan / penggunaan kata itu beda sama sekali. Di antara istilah-istilah itu adalah “ustad”, “dai”, dan “mubalig”.

Untuk mendapatkan data yang kurang lebih “komprehensif”, saya menggali informasi dari berbagai murid & teman-temanku yang dari Saudi, Mesir, Bahrain, Yaman, dan Palestina. Inilah beberapa temuan menarik yang merangsang saya untuk meneliti lebih lanjut.

Misalnya, tidak seperti di Indonesia, kata “ustad” di Mesir itu adalah sebutan untuk seorang “professor” di berbagai bidang keilmuan yang sudah bertahun-tahun mengajar di kampus, melakukan banyak riset dan publikasi akademik serta menerapkan sejumlah teori untuk mengkaji berbagai fakta dan fenomena di masyarakat.

Penggunaan kata “ustad” ini, menurut kolegaku dari Mesir, Dr. Tarik Abdulrahim, juga bukan hanya untuk Muslim saja tapi juga untuk non-Muslim. Jadi siapapun mereka, apapun agamanya, kalau sudah mencapai “lepel propesor”, maka disebut “ustad”. Di Saudi, kata “ustad” juga kadang dipakai untuk “profesor kampus” (misalnya di “kartu bisnis” milik saya dan juga teman-temanku yang non-Muslim tertulis “ustad”) tetapi untuk panggilan sehari-hari, lebih sering menggunakan kata “duktur” (doktor) atau “burufisur” (professor).

Lalu, bagaimana dengan kata “dai” dan “mubalig”? Waktu saya bertanya tentang kata “dai” dan “mubalig”, mereka kebingungan menjawab. Setelah saya jelaskan penggunaan kata itu di Indonesia (yaitu para penceramah Muslim di panggung publik untuk masalah-masalah atau hal-ihkwal keislaman), mereka baru “ngeh” dan sadar maksudnya.

Menurut mereka, kata “dai” itu tidak ada dan karena itu tidak dipakai. Kata yang dipakai untuk penceramah keagamaan di publik itu adalah “da’iyah” (jamak: “du’ah). Lagi, kata “da’iyah” ini juga bukan hanya digunakan untuk Muslim saja tetapi juga untuk non-Muslim.

Terakhir, kata “mubalig” adalah Bahasa Arab klasik (fushah) yang hampir punah dan sama sekali tidak dipakai. Para kolega dan teman-teman Arabku pada “melongo” waktu saya minta penjelasan kata “mubalig”. Karena menurut mereka kata “mubalig” itu seperti kata “nabi” zaman bahoela yang menyampaikan pesan-pesan kebaikan ke masyarakat. Kata “mubalig” juga dipakai untuk menyebut “Imam Mahdi” yang akan datang ke dunia menjelang kiamat.

Nah, sekarang “Cikgu” mau tahu nih, bagaimana penggunaan kata ustad, dai dan mubalig ini di Indonesia, biar saya jadikan bahan penelitian dan penulisan he he?