Alfatihah mendadak viral beberapa hari terakhir ini. Meminjam istilah Ahmad Khadafi (kolega saya di IAIN Surakarta), orang-orang mendadak jadi polisi-makhroj. Mereka menyalahkan Jokowi dan seolah malih rupa menjadi ustad yang paling fasih bacaannya. Tak ketinggalan, tentu saja, Portal Islam membuat tulisan provokatif: Menjawab Soal Kesalahan Makna Alfateka dan Viral Video Jokowi “Alfatekah” Diketawain Hadirin di Pembukaan MTQ.
Pada tulisan Menjawab Soal Kesalahan Makna Alfateka dikatakan: Allah sedang menunjukkan siapa sosok sebenarnya dari pemimpin kita (Jokowi). Tulisan itu juga menyebut bahwa yang salah ucap itu pasti jarang mengucapkan kalimat-kalimat thayibah. Ditegaskan pula bahwa kesalahan pengucapan bukan hal sepele. Alfatika/alfateka, menurut mereka, artinya kesewenangan; membunuh; kekerasan.
Pola Portal Islam juga selalu sama. Jika ada sesuatu yang sedang ramai diperbincangkan khalayak, terutama yang menyangkut hal negatif dari pemerintah, akan dicarikan komentar netizen. Komentar itu tentu harus bernada negatif, bahkan kadang agresif. Tulisan bertajuk Viral Video Jokowi “Alfatekah” Diketawain Hadirin di Pembukaan MTQ adalah contohnya. Banyak tulisan di laman mereka yang diproduksi dengan pola serupa itu. Sangat mengagumkan, mengingat mereka punya energi berlimpah untuk melakukan hal itu, terus menerus, nyaris sepanjang tahun (politik).
Saya kira, keributan atas “hal kecil” ini dipicu motif politis belaka. Karena pilpres sudah semakin dekat. Ndilalah Jokowi yang berucap. Andai bukan dia, tentu semua akan tenang-tenang saja.
Toh masih sering kita jumpai di masjid-masjid kampung para imam yang melafalkan Al-fatihah dengan “kearifan lokal” masing-masing. Dan kita tidak pernah ribut. Kita tidak pernah mencacinya.
Di tengah-tengah gelaran pemilu seperti sekarang ini hal terberat untuk dilakukan adalah berlaku adil. Adil sejak dalam pikiran, seperti kata Pram. Objektif dalam melihat segala sesuatu. Jernih dalam mendudukkan setiap persoalan. Berat, menjadi adil, objektif dan jernih sejatinya berat sekali. Hanya orang-orang “terpilih” yang mampu melakukannya.
Dalam buku Thomas Hauser saya menemukan satu kutipan bagus dari Muhammad Ali: ketika muda, aku mengikuti ajaran yang tidak menghormati orang lain dan mengatakan bahwa orang kulit putih adalah iblis. Aku salah. Warna kulit tidak membuat seseorang menjadi iblis. Itu adalah soal hati dan jiwa dan pikiran. Apa yang ada di luar adalah hiasan. Membenci seseorang karena warna kulitnya itu salah. Sama-sama salah; tak peduli siapa yang membenci. Semua orang, semua warna kulit, harus berusaha untuk saling mengenal.
Di masa kini, pernyataan Muhammad Ali itu layak kita renungkan. Kebencian atas “warna kulit” dalam pernyataan di atas bisa kita ganti dengan pilihan politik, agama, suku, etnis dan lainnya. Sebab, memang tidak seharusnya kita saling benci dan memusuhi hanya karena “berbeda”.