Umat Islam Digital Enggan Toleransi

Umat Islam Digital Enggan Toleransi

Bagaimana toleransi menjadi tantangan islam zaman kini

Umat Islam Digital Enggan Toleransi

Saat tradisi tulis diperkenalkan, seorang filsuf bernama Socrates pernah memberikan peringatan keras, bahwa tradisi tulis akan menghapus tradisi lisan yang selama ini ada di kehidupan manusia dan secara otomatis akan mengurangi kemampuan mengingat manusia. Pendapat Socrates itu memang ada benarnya, akan tetapi yang perlu diingat adalah petuah atau kata-kata bijak hasil pemikiran Socrates tidak mungkin bisa bertahan tanpa hadirnya tradisi tulis. Tulis menulis akhirnya menjadi salah satu pelengkap kehidupan agar kita bisa “dianggap” sebagai manusia.

Sekarang tradisi tulis mendapat “tantangan” dengan munculnya satu tradisi baru, yaitu tradisi online atau daring (dalam jaringan). Tradisi online berhasil merubah struktur kehidupan sosial manusia sekarang ini. Misalnya saja pemerintah bisa dianggap kurang transparan, apabila tidak memiliki pelaporan yang terunggah di internet dan sistem pelaporan yang online.

Hubungan sesama teman atau pasangan bisa putus hanya gara-gara persoalan online atau offline. Daniel Miller menuliskan dalam bukunya How the World Changed Social Media, ada dampak buruk dari tradisi online ini adalah semakin berkurangnya daya ingat. Namun yang sebenarnya terjadi menurut Miller adalah kita menyerahkan kemampuan mengingat kita kepada perangkat digital.

Manusia tidak hanya menyerahkan kemampuan mengingat saja kepada perangkat digital, tapi banyak hal yang diserahkan manusia, diantaranya adalah urusan hubungan antar manusia. Kita sekarang tidak lagi merasa aneh kala munculnya adagium “teman facebook”, yang merujuk seorang teman yang belum pernah ketemu secara personal tapi kenal melalui laman facebook. Sekilas persoalan ini memang terlihat biasa saja, akan tetapi persoalan ini sebenarnya jika diteroka malah meninggalkan banyak pertanyaan dalam benak kita.

Kala struktur kehidupan paling primordial sudah disentuh oleh alam digital ini, ada sebuah pertanyaan besar yang mengganjal di benak saya, bukankah umat dalam agama Islam adalah bagian struktur kehidupan masyarakat muslim juga tersentuh dengan persoalan ini, apakah nanti akan ada istilah “umat Islam digital”? apakah ada masa yang akan muncul dari umat model tersebut? Bagaimana implikasi terhadap keberagamaan masyarakat muslim yang sebenarnya? Pertanyaan ini cukup menganggu dalam benak saya, sebab umat yang selama ini hanya terbatasi dengan batas wilayah negara bisa diterabas dengan mudahnya, untuk membentuk umat Islam yang terhubung
.
Keterhubungan memang menjadi jargon yang paling ampuh dalam dunia digital sekarang ini, namun ada dua hal yang tidak banyak disadari oleh kita semua bahwa media sosial sebagai salah satu platform yang ada dalam dunia digital cukup meninggalkan bekas dalam kehidupan kita.

Pertama, media sosial adalah alat paling ampuh untuk menebar ketakutan yang kita hadapi dalam kehidupan ini. Zygmunt Bauman menegaskan saat manusia hidup dalam ketakutan dan ketidakpastiaan ini, maka media sosial menjadi alat yang menyebarkannya. Ketika rasa ketakutan dan ketidakpastian ini tersebar melalui media sosial, maka pada akhirnya yang ada hanyalah ketakutan itu sendiri tanpa tahu apa sebenarnya yang menjadi sumber ketakutannya. Perasaan ini pada akhirnya memunculkan kehidupan manusia yang tidak bisa lagi mempercayai diri mereka dalam menghadapi ketakutan itu.

Paranoid yang dihadapi manusia ini akhirnya membuat mereka tidak bisa lagi berfikir jernih dan merasa hidup dalam keterancaman sehingga banyak dari kita mendambakan kehidupan yang totaliterianisme. Identitas akhirnya semakin mengeras dan menguatkan kebencian kepada mereka yang berbeda.

Kedua, media sosial sebenarnya menyimpan sebuah bahaya yang kurang disadari. Yaitu, semakin lunturnya kemampuan kita sebagai manusia dalam bertemu dan menghadapi perbedaan. Sebab, media sosial menyediakan fasilitas untuk mengeluarkan dari jaringan kita sesiapa yang tidak kita sukai. Inilah yang disebut dengan comfort zone atau posisi nyaman. Kita hanya mengumpulkan orang-orang yang memiliki ide atau visi yang sama saja, sedangkan mereka yang berbeda berada di luar jaringan kita.

Oleh sebab itu, media sosial juga harus disadari memiliki bahaya untuk membuat sebuah perbedaan menjadi mengeras, atau kita menjadi tidak sadar bahwa ada orang lain yang sama-sama manusia namun memiliki perbedaan dari berbagai segi.

Sebagaimana kita ketahui hari ini, Kamis, 16 November diperingati sebagai Hari Toleransi Internasional. Sebuah hari istimewa yang diperingati sejak tahun 1996. Di mana waktu itu, Persatuan Bangsa-Bangsa mengadopsi sebuah Deklarasi Prinsip-Prinsip Toleransi, yang salah satunya menyebutkan bahwa toleransi merupakan cara untuk menghindari ketidakpedulian. Tidak peduli akan banyaknya kasus-kasus ketidakadilan, kekerasan, diskriminasi, dan marjinalisasi di banyak negara atas pemeluk agama, bahasa, etnis dan budaya. Termasuk di dalamnya Indonesia, kasus-kasus di atas masih terjadi di beberapa daerah, diantaranya kasus penutupan beberapa tempat ibadah mereka minoritas.

Banyak bahaya yang disadari atau tidak karena media sosial, karena perjumpaan di dunia nyatalah sebenarnya kita akan bisa terus belajar dalam menerima perbedaan. Saat kita bisa belajar bertemu dengan berbagai perbedaan, kita bisa maju sebagai umat beragama yang mampu membawa seluruh umat ini menuju kehidupan yang lebih adil dan sejahtera.

#bedasetara
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin