Umar bin Abdul Aziz, Pemimpin Penuh Keteladanan (Bag. 1)

Umar bin Abdul Aziz, Pemimpin Penuh Keteladanan (Bag. 1)

Umar bin Abdul Aziz adalah salah satu pemimpin yang penuh keteladanan. Siapapun yang hendak menjadi pemimpin, perlu meneladani kepemimpinannya.

Umar bin Abdul Aziz, Pemimpin Penuh Keteladanan (Bag. 1)

Nama lengkapnya Abu Hafsh, Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin al-Hakam. Lahir tahun 63 H. Ayahnya, Abdul Aziz bin Marwan bin al-Hakam bin al-Ash bin Umayyah bin Abdu Syams, pernah menjabat Gubernur di Mesir. Ibunya bernama Ummu Ashim binti Ashim bin Umar bin al-Khaththab. Jadi, dia adalah cicit Khalifah Umar bin al-Khaththab dari jalur ibu.

Khalifah ke 8 Dinasti Bani Umayyah ini menjadi khalifah pada usia 36 tahun dan masa pemerintahannya cukup singkat, hanya 2,5 tahun (2 tahun 5 bulan 5 hari), yakni 99 – 102 H./717 – 720 M. Namun dia berhasil melakukan berbagai perubahan, perkembangan dan keberhsilan di segala bidang yang luar biasa dan menakjubkan.

 

Tidak ambisi menjadi pemimpin dan menolak diperlakukan istimewa

Seorang muslim tidak etis minta jabatan atau berambisi menjadi pemimpin, baik dalam lingkup kecil maupun berskala nasional. Tapi jika dipilih menjadi pemimpin, harus siap dan bertekad untuk menjadi pemimpin yang adil, bijaksana, lurus dan patut diteladani.

Begitulah “Perombak Wajah Pemerintahan Islam”, Umar bin Abdul Aziz. Ketika proses pemakaman jenazah Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, terdengar suara gemuruh. Beliau bertanya, “Suara apa ini?”

“Ini suara kendaraan kekhilafahan untuk Anda,” jawab mereka.

“Apa hubungan saya dengan kendaraan itu? Singkirkan! Ambilkan keledai saya, biar saya naik keledai saja.”

Ketika naik keledai, beberapa polisi berbaris untuk mengawalnya di sebelah kanan dan kiri, dia berkata, “Maaf, saya tidak ada urusan dengan anda dan mereka. Saya hanyalah seorang dari kaum muslimin.”

Lalu dia ke masjid, seusai shalat dia berpidato, isinya antara lain, “Saya diuji dengan masalah kepemimpinan ini, tanpa minta pendapat saya, dan tanpa musyawarah kaum muslimin. Saya melepaskan bai’at kalian kepada saya. Pilihkan khalifah yang kalian ridhai.”

Mereka berteriak dengan satu kalimat : “Kami memilih Anda, ya amiral mu’minin, kami ridha anda sebagai pemimpin kami. Pimpinlah kami dengan keberuntungan dan keberkahan.”

 

Menerima kritik anak muda

Hari pertama beliau dibai’at sebagai khalifah, dalam kondisi fisik sangat lelah karena mengurus jenazah khalifah Sulaiman, siang itu Umar beristirahat, namun putranya, Abdul Malik (17 tahun) menghampirinya dan berkata, “Apa yang akan anda lakukan, ya amiral Mu`minin?

“Putraku, ayah mau istirahat sebentar, badanku sangat lelah, seakan tidak ada kekuatan lagi,” jawab Khalifah.

“Apakah anda akan beristirahat sebelum mengembalikan kezhaliman kepada yang berhak, ya Amiral Mu`minin?” Tanya Malik.

“Putraku, ayah sangat mengantuk, tadi malam begadang karena mengurus jenazah paman, Sulaiman. Nanti setelah shalat zhuhur, saya akan mengembalikan kezhaliman kepada yang berhak”.

Putra yang cerdas itu tidak menerima alasan ayahnya, dia berkata, “Siapa yang menjamin anda bisa hidup hingga waktu zhuhur nanti, ya Amiral Mu`minin?

Kata-kata terakhir ini mengobarkan tekad khalifah, menghilangkan rasa kantuk dan membangkitkan semangat dalam fisiknya yang kelelahan itu, Umar langsung mendekapnya dan mencium keningnya, seraya berkata, “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah melahirkan dari tulang rusukku, seorang anak yang membantuku untuk menegakkan agamaku”.