Penghormatan ini bisa dilatar belakangi oleh bermacam-macam faktor. Ada yang ta’dzim karena kiai itu memiliki keilmuan yang sangat mandalam, ada yang karena silsilahnya sampai kepada nabi Muhammad, dan terkadang ada juga yang menaruh hormat karena mereka pandai nyuwu’ (Istilah Jawa) atau mempunyai doa-doa yang sangat mustajab. Itulah “warna-warni” kiai yang dikenal di masyarakat secara umum.
Akan tetapi, terkadang “warna-warni” ini membuat masyarakat awam bingung, karena mereka tidak tahu harus mengikuti kiai yang mana. Apabila orangnya pragmatis, mungkin cukup baginya datang kepada kiai kategori ketiga, yakni yang dikenal mustajab doanya. Namun, hal itu tidak berlaku bagi masyarakat yang ingin mengetahui ajaran Islam secara mandalam. Dihadapkan dengan berbagai macam pilihan, mereka malah menjadi bingung dan linglung.
Penulis mencoba mengajak pembaca melintasi ruang dan waktu era sekarang, menuju ruang dan waktu dimana sejarah awal Islam eksis, khususunya era Sahabat Ali. Waktu itu, bisa dikatakan hampir mirip dengan sekarang-meskipun tidak sama persis. Kemiripannya, kalau dulu masyarakat Arab mengagumi Ali lebih dikarenakan keilmuan dan posisinya sebagai menantu Nabi. Sekarang, kita menghormati ulama’ karena keilmuan atau mungkin silsilahnya yang sampai kepada Nabi. Sampai di sini tidak ada yang salah atau keliru.
Kekeliruan yang tidak boleh kita tiru dari pengagum Ali adalah cara mereka dalam mengekspresikan rasa ta’dzim-nya yang terlalu berlebihan sampai tidak mengakui ketiga khalifah sebelumnya. Dari sinilah, kita kemudian dapat mengenal saudara kita (Syi’ah) yang kebanyakan sekarang tinggal di tanah Persi (Iran). Dalam analisa Cak Nur, yang perlu dicatat adalah Syi’ah itu bermacam-macam, ada yang sangat berlebihan dan ada juga yang mirip sekali dengan Sunni, yakni Syi’ah Zaidiah. Kebanyakan mereka berada di Yaman (Rachman, 2012). Lalu, bagaimana dengan kelompok Syi’ah di Indonesia? Ukhuwah kita dengan mereka dijaga saja.
Kembali pada pembahasan ustadz. Umat Indonesia yang mayoritas mermadzhab Syafi’i tentu mengenal perbedaan pendapat antara ulama’ Syafi’iah (ulama’ pengikut madzhab Syafi’i), dengan pendiri madzhabnya sendiri, yakni Imam Syafi’i. Misalnya, Imam Ghozali dalam karya masterpiece-nya “Ihya’ Ulumuddin” yang lebih memilih pendapat Imam Malik daripada Imam Syafi’i terkait persoalan najisnya air yang tidak sampai Qullatain atau dua kulah. Itulah kenapa, bagi masyarakat awam penting untuk mengetahui bahwa perbedaan itu rahmat dan perpecahan itu dilaknat.
Dari perbedaan pendapat di atas, kita bisa mengenal bahwa pemahaman mereka akan “Islam” dipengaruhi banyak faktor, baik lingkungan, psikologi, keilmuan, dan lain-lain. Dalam khazanah kelimuan tafsir juga dikenal akan beragam penafsiran. Tentu hal ini wajar di kalangan para ulama’, karena untuk membumikan wahyu yang melangit dan suci dibutuhkan usaha yang tidak mudah. Yakni, hati yang bersih, sikap tawadhu’, dan keilmuan yang mumpuni (Hidayat, 1996).
Umumnya, walaupun para ulama’ berbeda pendapat, mereka tetap satu suara dalam menjaga ukhuwah. Khususnya ukhuwah Islamiyyah bagi sesama muslim (al-Hujurat: 10), dan ukhuwah Insaniyyah bagi seluruh umat beragama (Ali Imran: 112). Apabila ada ulama’ atau ustadz yang perkataannya keluar dari rel itu, kita patut pertanyakan kredibilitas ke-ulamaannya.
Penulis sendiri, yang dibesarkan dari kultur NU, sangat bersyukur karena hidup di lingkaran ulama NU yang tetap berpikiran moderat dan progresif. Jalur ini adalah jalur yang telah diajarkan Hadrotus Syaikh Hasyim Asy’ari. Namun, hal ini (memilih ulama’) mungkin menjadi problem bagi teman-teman muslim lainnya yang tidak mengenal kultur NU, apalagi bagi mereka yang baru mengenal Islam (mu’allaf).
Disinilah perlunya menghormati sebuah proses kemantapan hati dalam memilih dan memilah kiai. Memang terkadang ada yang bernada keras, berorientasi fiqh dan “hitam-putih”. Tapi terkadang ada juga ustadz atau kiai yang cenderung tawassut (tengah-tengah) dalam memahami Islam. Itulah hakikat dari perjalanan keislaman kita, menghormati proses keislaman dan menghargai perbedaan. Yang terpenting kita tidak berfikir paling benar (truth claim) atau fanatik akan ulama’ tertentu. Karena seperti kata ulama’ salaf di akhir kitabnya, Wallahu A’lam Bissowab, pada akhirnya Allah yang paling tahu akan kebenaran.
Zaimul Asroor, penulis adalah mahasiswa pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.