Ulama yang Tidak Mewajibkan Jilbab

Ulama yang Tidak Mewajibkan Jilbab

Ulama yang Tidak Mewajibkan Jilbab

Ruang publik kita akhir-akhir ini kembali diramaikan oleh polemik apakah jilbab itu wajib dikenakan oleh seorang Muslimah atau tidak. Bibit perdebatan seperti ini sebenarnya sudah ada sejak lama, bahkan sejak masa ulama klasik kita. Ulama-ulama klasik terutama ulama fikih misalnya sudah berdebat soal batas mana yang dianggap aurat – sesuatu yang harus ditutup di luar shalat- bagi kaum perempuan maupun kaum laki-laki.

Para ahli tafsir juga sudah berdebat soal apa yang dimaksud dengan jilbab dan khimar.

Pendek kata, bagi mereka yang mempelajari secara mendalam kitab-kitab fikih dan tafsir, baik klasik maupun kontemporer, akan menemukan perdebatan sekitar masalah jilbab ini.

Dalam Catatan, saya mengulas sebuah buku berbahasa Arab yang ditulis Muhammad Said al-Asymawi yang berjudul Haqiqatul Hijab wa Hujjiyatul al-Hadits, terbitan Dar al-Thanani li al-Nasyr (edisi 2017). Al-Asymawi adalah seorang sarjana berkebangsaan Mesir yang termasyhur dan memiliki keahlian mendalam dalam pelbagai cabang keilmuan Islam dan keilmuan modern seperti konstitutionalisme. Al-Asymawi pernah menjabat pelbagai jabatan prestesius di Mesir seperti sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Mesir, Ketua Pengadilan Kriminal Tinggi Mesir dan Ketua Ketua Pengadilan Tinggi Keamanan Negara. Al-Asymawi menulis puluhan kitab –lebih dari 60an—di dalam tiga bahasa, Arab sebagai bahasa Ibu sudah barang tentu, Inggris dan juga Perancis. Tema-tema yang diangkat adalah Teologhi, Fikih, Usul Fikih, Tafsir, Tasawuf, Fikih Siyasah, serta kajian-kajian Islam secara umum.

Dalam buku yang saya sajikan ini, dia berpendapat jika mengenakan jilbab itu tidak diwajibkan untuk perempuan Muslimah, laysa al-hijab faridhatan. Dalam memperkuat pendapatnya, al-Asymawi, dalam kitab ini, membahas kembali ayat-ayat al-Qur’an yang sering dijadikan sebagai landasan tentang kewajiban berjilbab.

Pertama, surat al-Ahzab ayat 53, sering disebut ayat al-hijab: “wa idha sa’altumuhunna mata’an fas’ aluhunna min wara’i hijabin, dhalikum atharu li qulubikum wa qulubihinna,” apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.”  Makna hijab pada masa ayat ini diturunkan adalah al-satir (tabir, pembatas, penutup yang memisahkan laki-laki dan perempuan. Al-Asymawi mengatakan “al-mar’atu al-mahjubah hiya al-mar’atu almasturah bi satrin,” perempuan yang dihijabi adalah perempuan yang ditutupi dengan tabir pemisah.

Konteks ayat ini adalah istri-istri Baginda Rasulullah agar mereka tidak melihat orang-orang Mukmin laki-laki dan sebaliknya orang-orang Mukmin laki-laki tidak melihat mereka (fala hunna yarina al-mu’minin wa la al-mu’minun yarawnahunna). Jadi ayat ini tidak memiliki kaitan baik dekat maupun jauh dengan menutup kepala perempuan. Menurut al-Asymawi terjadi kekeliruan pemaknaan atas istilah ini sebagai penutup kepala perempuan. Selain itu, hijab dalam pengertian satir adalah khusus bagi istri-istri Baginda Rasul untuk melindungi mereka karena janda-janda beliau tidak boleh dimiliki oleh orang lain.

Kedua, surat al-Nur ayat 31, sering disebut dengan ayat al-khimar: “wa qul li al-mu’minati yaghdudna min absharihinna wa yahfadzna furujahunna wa la yubdina zinatahunna illa ma dzahara minha wa al-yadribna bi khumurihinna ala juyubihinna”, Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.

Menurut Al-Asymawi, para perempuan pada zaman Rasul menutup kepala mereka dengan akmarah atau mukna dalam pengertian kita sekarang. Cara menutup zaman itu adalah dari belakang (punggung) sehingga dada bagian atas dan leher tidak tertutup. Ayat ini memerintahkan agar penutupan dilakukan sampai dadanya. Ayat ini adalah ayat untuk ta’dil (penyesuaian, koreksi) soal sistem berpakaian untuk menutup dada dan tidak terkait dengan penutupan kepala. Sistem berpakaian menurut al-Asymawi dalam tafsirnya dalam ayat ini adalah soal urf dan kebiasaan. Yang menjadi kewajiban agama di sini adalah kerendahatian dan kesucian laki-laki dan perempuan.

Ketiga, al-Ahzab ayat 59, “ya ayyuha an-nabiyyu qul li azwajika wa banatika wa nisa’i al-mu’minina yudnina alaihinna min jalabihinna dzalika adna an yu’rafna fala yu’dzain”, Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.

Menurut al-Asymawi, mengulurkan jalabib pada ayat ini berguna untuk membedakan antara istri-istri, anak-anak perempuan nabi dan nisa’ al-mu’minin secara umum dengan hamba sahaya tanpa merendahkan mereka, hamba sahaya dengan mengatakan bahwa mereka hamba sahaya dan mereka orang-orang perempuan yang beriman pada masa turunnya ayat ini. Menurut al-Asymawi, karena zaman sekarang sudah tidak ada hamba sahaya, maka yang berlaku adalah hukm al-am (hukum umum) yakni menjaga kesucian dan kerendahan hati.

Selain dalil-dalil dalam al-Qur’an, al-Asymawi juga meneliti hadis-hadis yang berkaitan dengan jilbab antara lain adalah hadis yang diriwayatkan dari A’isyah RA yang menurutnya berada pada martabat Ahad, hadis yang diriwayatkan satu orang ke satu orang lain, tidak mencapai derajat muwatir. Tidak wajib bagi kita, menurut al-Asymawi, untuk menjadikan hadis Ahad sebagai pijakan keyakinan yang harus dibangun di atas hal yang pasti (qat’i) dan bukan yang persangkaan (dzanny).

Berdasarkan tiga ayat di atas dan juga hadis, al-Asymawi berkesimpulan bahwa jilbab, khimar dan lainnya, bukan merupakan kewajiban agama. Menurutnya yang diwajibkan oleh agama adalah hukm al-am yakni menjaga kesucian dan kerendahan hati perempuan dan juga laki-laki. Dalam bahasa teori usul fikih ini disebut penjagaan tujuan syariah.

Apa yang ingin saya kemukakan di sini pada dasarnya adalah perbedaan cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan juga hadis-hadis tentang jilbab itu memang terjadi dan perbedaan (ikhtilaf) ini menjadi warna dalam hasanah Islam. Ingat bahwa para ulama dan cendekiawan Islam seperti al-Asymawi ini bukan asal berbeda, tapi dia menggunakan ilmunya untuk sampai pada kesimpulan yang berbeda tentang jilbab tersebut. Argumennya dibangun berdasarkan pendekatan-pendekatan dan metode-metode yang diwajibkan dalam disiplin pengkajian Islam. Kalangan ulama dan cendekiawan Islam yang memiliki pandangan yang menyatakan jilbab tidak merupakan kewajiban agama bukan hanya al-Asymawi saja, namun juga yang lain seperti Qasim Amin.

Hal lain sebagai catatan saya di sini adalah buku al-Asymawi disusun sebagai bentuk bantahan antara dirinya dan Fatwa al-Azhar. Antara al-Asymawi dan al-Azhar berbantah dan berbeda pendapat masalah jilbab atau hijab ini.

Pelajaran yang bisa kita ambil dari polemik ini adalah bahwa kedua belah yang berdebat saling mengemukakan argumentasi keilmuan mereka masing-masing, menunjukkan argumen dan dalil mana yang lebih kuat dan tidak kuat. Hal Perdebatan keduanya ini tidak merendahkan satu sama lainnya dengan mengangkat hal-hal yang bersifat pribadi atau menghakimi orang yang berbeda dengan sebutan maksiat atau kafir.