Akhir-akhir ini sering disampaikan bahwa bila seorang ulama’ masuk dalam urusan pemerintahan maka ibaratnya dia melepas agamanya. Bahkan gencar dipropagandakan bahwa kelompok semacam ini dinamakan sebagai kelompok ulama’ su’, yaitu ulama yang buruk akhlaknya. Mereka berkata dengan mendasarkan diri pada hujjah berupa hadis dan ayat. Nah, bagaimanakah penilaian mereka ini bila kita coba untuk menelaahnya dari sisi pemahaman yang komprehensif, pemahaman yang tidak dilandasi oleh sebuah kepentingan, dan semata kita meninjaunya dari sisi keilmuan?
Sebagai satu barometer utama, ketika kita berhujjah, adalah kita melihat sisi sejarah perjalanan para khalifah yang pernah ada menjadi bagian dari sejarah Islam. Pertama, adalah para khulafau al-rasyidin, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali serta para khalifah berikutnya, baik dari Dinasti Umayyah maupun Dinasti Abbasiyah. Kedua, teks tentang prasyarat pemimpin negara.
Tidak diragukan lagi, bahwa para Khulafau al-Rasyidin, adalah sahabat-sahabat pilihan. Mereka tidak hanya mumpuni dalam bidang pemerintahan, melainkan juga seorang yang faham dengan teks keagamaan (nushush al-syari’ah). Demikian juga, para khalifah dari Dinasti-Dinasti pasca khulafau al-rasyidin, sebelum para khalifah ini dinobatkan sebagai khalifah pengganti dari khalifah sebelumnya, mereka ditempa terlebih dahulu dengan pemahaman nushush al-syari’ah. Hal ini disebabkan, karena mereka tidak hanya dituntut untuk bisa menjalankan roda pemerintahan, melainkan juga mereka harus bisa memutuskan sebuah perkara berdasarkan teks-teks nash syariat yang dipahaminya.
Tidak hanya berhenti sampai di sini, para khalifah juga dituntut memahami maqashid al-syariah, yakni tujuan-tujuan pokok syariat yang merupakan nilai universal syariat itu sendiri, sebagai perwujudan dari sifat ‘adil mereka. Tak pelak lagi, bahwa kemampuan semacam adalah setara dengan kemampuan para ulama’ sekarang. Untuk itu, pemahaman tentang relasi ulama’ dalam dunia pemerintahan sehingga kemudian muncul propaganda ulama su’ itu sebagai sesuatu yang tidak berdasar berdasar konteks sejarah. Teks nash bahkan menyebutkan:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S al-Nisa [4] : 59)
Secara tegas disebutkan bahwa ketaatan terhadap ulil amri menduduki posisi ketiga setelah ketaatan terhadap rasul. Bagaimana ketaatan terhadap mereka menduduki posisi yang penting bila jabatan ulil amri merupakan yang harus dijauhi? Ini adalah poin terpentingnya. Untuk itu mari kita telaah teks-teks yang lain yang berbicara mengenai percampuran ulama’ dan ulil amri!
Di dalam Kitab Tanbihu al-Ghaibilin, karya al-Muhaddits Abu Laits al-Samarqandi, diriwayatkan sebuah hadits dengan sanad dari Anas ibn Malik radliyallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْعُلَمَاءُ أُمَنَاءُ الرُّسُلِ مَا لَمْ يُخَالِطُوا السُّلْطَانَ وَلَمْ يَدْخُلُوا فِي الدُّنْيَا، فَإِذَا خَالَطُوا السُّلْطَانَ، وَدَخَلُوا فِي الدُّنْيَا، فَقَدْ خَانُوا الرُّسُلَ فَاعْتَزِلُوهُمْ وَاحْذَرُوهُمْ
Artinya:
“Para ulama adalah pemegang amanah dari para rasul selagi mereka tidak saling mencampuri urusan pemerintahan dan tidak masuk dalam urusan keduniaan. Namun, bila mereka saling mencampuri urusan pemerintahan, dan masuk dalam urusan-urusan keduniaan, maka mereka (ibarat) telah melakukan khianat terhadap para rasul. Jauhilah mereka dan hati-hatilah dari mereka!” (Al-Qadli Abu Laits, Tanbihu al-Ghafilin, Maktabah Syamilah, Bab Mukhalathati al-Sulthan, shahifah: 524)
Perhatikan diksi yang dipergunakan dalam hadis! Lafaz yukhalithu pada hadis di atas menggunakan diksi fiil tsulatsi mazid dengan tambahan alif setelah ‘ain fi’il–nya, sehingga menunjukkan makna pada “saling”. Maksudnya, dengan diksi yukhalithu, seorang ulama mencampuri urusan pemerintah, demikian juga pemerintah mencampuri urusan ulama’. Dalam hal ini, diksi ini menyimpan makna saling beradu. Bisa jadi dalam hal ini seorang ulama mengkritik kebijakan pemerintah padahal tidak ada sangkut pautnya dengan dunia keilmuan yang digelutinya. Jadi, hadis di atas, tidak bisa dipahami sebagai ulama’ yang terjun dalam dunia pemerintahan, karena jelas hal ini akan bertentangan dengan jejak sejarah sejak masa khulafau al-rasyidin.
Dengan bekal pemahaman sebagaimana dimaksud di atas, maka kita bisa memahami hadis-hadis yang lain, sebagaimana disampaikan oleh al-Qadli al-Muhadits Abu Laits. Di dalam kitab yang sama, ia meriwayatkan sebuah hadis dari sahabat Ubaidillah ibn Umair, Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا ازْدَادَ رَجُلٌ مِنَ السُّلْطَانِ قُرْبًا إِلَّا ازْدَادَ مِنَ اللَّهِ بُعْدًا، وَلَا كَثُرَتْ شَيَاطِينُهُ، وَلَا كَثُرَ مَالُهُ، إِلَّا اشْتَدَّ حِسَابُهُ
Artinya:
“Tiada bertambah kedekatan seseorang dari sultan, melainkan semakin bertambah jauh ia dari Allah subhanahu wa ta’ala. Tiada semakin bertambah banyak setan-setannya, dan tiada semakin bertambah banyak hartanya melainkan semakin bertambah berat hisabnya.” (Al-Qadli Abu Laits, Tanbihu al-Ghafilin, Maktabah Syamilah, Bab Mukhalathati al-Sulthan, shahifah: 524).
Di dalam hadis ini, kekuasaan memang sumber timbulnya fitnah. Oleh karena itu tidak heran bila sahabat Hudzaifah suatu ketika juga berkata:
إِيَّاكُمْ وَمَوَاقِفِ الْفِتَ
“Takutlah kamu dari tempat-tempat tumbuhnya badai fitnah!”
Kemudian beliau ditanya:
وَمَا مَوْقِفُ الْفِتَنِ؟ قَالَ: أَبْوَابُ الْأُمَرَاءِ
“Apa itu tempat tumbuhnya badai fitnah? Sahabat Hudzaifah berkata: “Pintu-pintu pejabat.” (Al-Qadli Abu Laits, Tanbihu al-Ghafilin, Maktabah Syamilah, Bab Mukhalathati al-Sulthan, shahifah: 524).
Konteks penyampaian sahabat Hudzaifah di atas, adalah adanya seseorang yang masuk ke pejabat pemegang kekuasaan dalam rangka menimbulkan fitnah adu domba. Itu sebabnya, sahabat Hudzaifah berbicara mengenai fitan (badai fitnah). Sebagaimana hal ini mendapat penjelasan dari menukil qaul sahabat Abdullah ibn Umar. Suatu ketika sahabat Abdullah ibn Umar radliyallahu ‘anhuma ditanya:
إِنَّا نَدْخُلُ عَلَى السُّلْطَانِ، فَنَتَكَلَّمُ بِالْكَلَامِ فَإِذَا خَرَجْنَا تَكَلَّمْنَا بِخِلَافِهِ
“Bagaimana sesungguhnya bila kami menghadap seorang sultan. Kami berbicara dengannya tentang satu fokus obyek pembicaraan. Namun ketika keluar, kami berbicara yang selainnya.”
Sahabat Abdullah ibn Umar lalu menjawab:
كُنَّا نَعُدُّهَا مِنَ النِّفَاقِ
“Tanpa syak wasangka lagi, kita telah memasuki pintu kemunafikan.” (Al-Qadli Abu Laits, Tanbihu al-Ghafilin, Maktabah Syamilah, Bab Mukhalathati al-Sulthan, shahifah: 524).
Berangkat dari pernyataan sahabat Abdullah ibn Umar di atas, ia menyampaikan persoalan nifaq yaitu sifat yang dimiliki oleh seorang munafik. Karakteristik munafik sering diidentikkan dengan pengkhianatan terhadap amanah, dusta dalam berbicara, dan pengkhianatan terhadap janji. Jadi, dalam nifaq, sama sekali tidak disebutkan mengenai orang yang berilmu dan menjadi pemimpin negara. Justru keberadaan orang yang berilmu penting dalam posisi kenegaraan bila ia menepati keilmuan yang disandangnya. Sebagaimana hal ini disinyalir dalam pernyataan sahabat Abdullah ibn Mas’ud radliyallahu ‘anhu. Suatu ketika sahabat Abdullah ibn Mas’ud radliyallahu ‘anhu berkata:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَدْخُلُ عَلَى ذِي سُلْطَانٍ، وَمَعَهُ دِينُهُ، فَيَخْرُجُ وَمَا مَعَهُ دِينُهُ، قِيلَ: وَكَيْفَ ذَلِكَ؟ قَالَ: يُرْضِيهِ بِمَا يُسْخِطُ اللَّهَ
Artinya:
“Sesungguhnya, bila seorang abdi yang memasuki rumah seorang pejabat bersama agamanya, maka ia akan keluar darinya dengan ketiadaan agama di sisinya.” Seorang sahabat lain bertanya: “Bagaimana bisa?” Ibn Mas’ud menjawab: “Karena ia telah berlaku ridla terhadapnya berupa dalam sesuatu yang dibenci oleh Allah subhanahu wa ta’ala.”
Lagi-lagi konteks pernyataan sahabat Ibn Mas’ud ini adalah ahli ilmu yang tidak menggunakan ilmunya untuk kemaslahatan, namun justru membenarkan suatu perkara yang tidak diridlai oleh Allah subhanahhu wa ta’ala. Sebagian dari para ulama’ mutaqaddimin bahkan berpendapat:
إِذَا رَأَيْتَ الْقَارِئَ يَخْتَلِفُ إِلَى الْأَغْنِيَاءِ، فَاعْلَمْ أَنَّهُ مُرَاءٍ، وَإِذَا رَأَيْتَ عَالِمًا يَخْتَلِفُ إِلَى الْأُمَرَاءِ، فَاعْلَمْ أَنَّهُ أَحْمَقُ
Artinya:
“Apabila kamu melihat ada seorang ahli qira’ah melakukan keanehan dengan mendekatkan diri pada orang kaya, maka ketahuilah bahwasanya dia itu adalah seorang murain (orang yang mencari muka). Dan apabila kamu melihat ada seorang ‘alim bersikap aneh dengan condong pada pejabat, maka ketahuilah, bahwasanya mereka itu adalah orang yang dungu.” (Al-Qadli Abu Laits, Tanbihu al-Ghafilin, Maktabah Syamilah, Bab Mukhalathati al-Sulthan, shahifah: 525).
Mereka yang disebut sebagai berperilaku aneh dalam pernyataan ulama mutaqaddimin ini adalah para ulama’ yang menggunakan legitimasi agamanya justru untuk melakukan tindakan merusak. Ingat bahwa kalangan ulama’ mutaqaddimin hidup pada masa terjadinya perpecahan dalam tubuh umat Islam disebabkan adanya pihak-pihak yang menghendaki perpecahan dengan legitimasi pemahaman mereka terhadap teks-teks syariah.
Misalnya kaum khawarij yang menyatakan keluar dari barisan Sayyidina Ali karena menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh beliau sebagai menyimpang dari hukum Allah. Padahal perundingan untuk melahirkan kemaslahatan adalah bagian dari nash syariat juga, sebagaimana perintah untuk melakukan shuluh (rekonsiliasi). Mereka yang gemar menuduh inilah merupakan sumber utama mafsadah dan terangkatnya keberkahan dalam suatu negeri. Sebagaimana hal ini disampaikan oleh Al-Hasan al-Bashri rahimahullah, beliau meriwayatkan sebuah hadits dari Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam:
لَا تَزَالُ يَدُ اللَّهِ عَلَى هَذِهِ الْأُمَّةِ مَا لَمْ يُعَظِّمْ أَبْرَارُهُمْ فُجَّارَهُمْ، وَمَا لَمْ يَرْفُقْ خِيَارُهُمْ بِشِرَارِهِمْ، وَمَا لَمْ يَمِلْ قَرَارُهُمْ إِلَى أُمَرَائِهِمْ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ رَفَعَ اللَّهُ عَنْهُمُ الْبَرَكَةَ، وَسَلَّطَ عَلَيْهِمْ جَبَابِرَتَهُمْ، وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ وَأَنْزَلَ عَلَيْهِمُ الْفَاقَةَ
Artinya:
“Tiada henti bahwasanya kuasa Allah subhanahu wa ta’ala akan senantiasa menaungi umat ini, selagi orang-orang baik mereka tidak mentolerir kaum pembangkang (al-fujjar). Selagi orang-orang terbaik mereka tidak bersikap lemah lembut terhadap orang buruk mereka. Dan selagi orang-orang tegas dalam berhukum mereka tidak condong kepada pejabat-pejabat mereka. Namun, bila semua itu mereka terjang begitu saja, maka Allah akan mengangkat keberkahan dari diri mereka, dan akan diutus kepada mereka para kaum imperialis-kolonialis untuk menguasai urusan mereka sehingga dalam hati mereka terbit rasa ketakutan dan hidup mereka turun dalam kesulitan.” (Al-Qadli Abu Laits, Tanbihu al-Ghafilin, Maktabah Syamilah, Bab Mukhalathati al-Sulthan, shahifah: 525).
Walhasil, masuknya ulama menjadi bagian dari pemerintahan bukanlah sesuatu yang buruk, sebab sejarah justru mencatat bahwa mereka yang berkemampuan di bidang ilmu syariat ini yang harus masuk ke pemerintahan. Bahkan, syarat utama seorang pemimpin bisa dijadikan khalifah dalam banyak teks nash adalah mereka harus menguasai ilmu syariat itu. Yang dilarang dalam syariat adalah mukhalathah, yaitu saling tarik ulur kepentingan yang condong pada sikap nifaq. Representasi dari sifat nifaq ini adalah gemar mengajak pada mengkhianati amanah bangsa, mengingkari janji luhur bangsa, dan gemar menebar kebohongan terhadap bangsa.