Ulama Versus Penghulu Agama di Era Kolonial

Ulama Versus Penghulu Agama di Era Kolonial

Di zaman kolonial, ulama pesantren sering dihadap-hadapkan dengan penghulu agama yang bekerja untuk pemerintah kolonial

Ulama Versus Penghulu Agama di Era Kolonial

Pengumuman pembukaan lowongan CPNS di akhir bulan Soetember begitu menyedot banyak perhatian masyarakat Indonesia. Terlebih, pembukaan CPNS kali ini melibatkan para tenaga pendidik. Tentu jumlahnya yang begitu besar menyebabkan antusiasme juga meningkat. Tapi tulisan ini tidak sedang membahas trik dan tips bagaimana sukses menjadi PNS, melainkan melihat dengan teropong sejarah bagaimana pegawai sipil (guru) era pemerintah kolonial berhadap-hadapan dengan para guru (kiai) pesantren.

Satu diantara para ulama yang teindikasi berhadap-hadapan dengan pegawai pemerintah adalah kiai Sholeh Darat. Ketegasannya dalam persoalan menjaga diri dari kemaksiatan, menjadikan ajaran-ajarannya cenderung berkonfrontasi dengan penguasa. Meskipun dilakukan tidak secara terang-terangan. Ini terbukti dengan istilah-istilah, yang digunakan dalam karyanya, yang anti terhadap kolonialisme.

Dalam berbagai karyanya, ia beberapa kali mengulang himbauannya kepada para murid yang belajar agama untuk kepentingan dunia. Bahkan lebih spesifik, ia dengan bahasa yang lumayan keras mengecam siapapun santri yang berniat menuntut ilmu untuk bekerja, apalagi bekerja kepada pemerintah kolonial. Bahkan tidak hanya untuk para santri, kecamannya juga untuk para kiai yang mengajar para santriyang memiliki niat belajar yang keliru. Beliau menyamakan orang yang mengajar santri seperti itu, ibarat menjual pedang kepada begal:

“ora wenang ingatase guru muruk maring wong kang ngaji nejo li ghoirillahi, lamun wus weruh sejane kelawan ningali qorinah moko mengkono iku hukume iyo koyodene wong kang adol pedang maring begal, moko hukume iyo koyo begal” (kitab Minhaj Al-Atqiya’: 286).”

Resistensinya kepada pihak kolonial menjadi penanda bahwa ada sesuatu yang terjadi di antara ulama pesantren dengan tokoh-tokoh agama yang dekat dengan penguasa kolonial. Selain himbauan para kiai kepada santrinya agar untuk menjauhi penguasa, tentu ini juga menunjukan adanya kenyataan sosial yang merujuk pada para elit agama yang mendekat penguasa. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya para penghulu agama dari jebolan pesantren.

Ia juga melakukan vernakularisasi dengan tulisan arab pegon dalam menyampaikan ajaran-ajaran Islam. Ini menjadi simbol ulama-ulama pesantren yang masih tetap menggunakan tulisan arab dibanding tulisan latin meskipun berbahasa lokal. Sebuah pertentangan simbol yang mencolok antara ulama pesantren dan pennghulu agama yang menggunakan tulisan latin dalam karyanya.

Di tahun 1882, pemerintah kolonial membuat peraturan yang meresmikan “pengadilan pendeta”. Lembaga ini dibuat dalam rangka strukturasi hukum Islam di Madura dan Jawa. Para penghulu agama yang bekerja di dalamnya mendapat gaji dari pemerintah kolonial Belanda. Melalui lembaga inilah, orang-orang semacam Karel Frederick Hole daan Snouck Hurgronje merumuskan kebijakan politik kolonial terhadap Islam.

Sartono Kartodirejo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888 menjelaskan bahwa pemerintah kolonial Belanda telah menciptakan struktur institusi keagamaan. Kelompok ini didesain untuk menjinakkan kekuatan revolusioner Islam. Mereka adalah alat kontrol pemerintah kolonial  dalam membendung gerakan-gerakan pemberontakan. Di garis kultural, perlawanan tetap terpelihara di pesantren-pesantren dan tarekat-tarekat yang diwakili oleh para ulama.

Keberhasilan Snouck Hurgronje ialah membuka kran komunikasi dengan Hasan Moestopa untuk mengetahui bagaimana keberislaman dan pola transimisi Islam di Jawa. Hingga pada akhirnya, ia diangkat sebagai kepala penghulu agama kota Bandung di tahun 1918 (Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan, 2012).

Jajat Burhanudin juga menjelaskan, selain Snouck Hurgronje, Holle dengan politik bahasanya memainkan peran yang cukup signifikan bagi kebijakan politik kolonial. Para penghulu Jawa Barat semacam Mochamad Moesa, didorong untuk membuat karya-karya mereka dengan bahasa latin. Ini adalah contoh kontradiktif dan pertentangan yang terjadi dengan para kiai pesantren. Holle dan Snouck Hurgronje sama-sama bertujuan untuk menjauhkan para penghulu dari Islam dan Arab.

Keduanya (Moestapa dan Moesa) dan beberapa penghulu lain di Jawa seperti haji Ichsan dan Muammad adnan adalah lulusan pesantren. Mereka, yang proses pembentukan pemahaman keagamaan dan pemikiran keislamannya tidak berbeda dengan ulama pesantren, telah memilih jalur yang tidak sama dengan para kiai pesantren.

Sekalipun begitu, mereka tetap masih merasa menjadi bagian dari pesantren dan menaruh takdzim kepada para ulama pesantren. Ini terlihat saat pemberontakan Banten 1888 meletus, mereka tidak serta merta menyalahkan ulama, melainkan menghimbau agar umat tetap menjaga ketertiban (Jajat Burhanudin: 180, 2012).

Selain itu, masih ada orang semacam Said Oesman yang justru mendedikasikan hidup dan intelektualitasnya untuk Belanda. Meskipun ia pernah berguru kepada guru yang sama seperti kiai Sholeh Darat, yakni Syeh Abdul Ghani Bima dan Syeh Ahmad Zaini Dahlan. Secara tegas ia menyebut pemberontakan Banten 1888 yang banyak didorong oleh ulama pesnatren dan tarekat sebagai  ghurur (delusi) atas ajaran Islam. Dan menuduh ulama sebagai pengikut setan (Jajat Burhanudin: 183, 2012).

Pertentangan-pertentangan ini terus berlangsung. Ulama pesantren yang dianggap sebagai pimpinan agama sekaligus politik rakyat kecil di pedesaan terus dihadapkan pada tokoh agama yang mengabdi kepada pemerintah semacam Said Oesman. Bahkan dalam pesantren, mereka yang menjadi anak pegawai pemerintah Belanda (Ambtenaar) sering terkena olok-olok seperti “mereka tidak akan mampu memahami pelajaran dengan baik, dikarenakan memakan gaji haram ayahnya yang menjadi pegawai pemerintah kolonial” (Jajat Burhanudin: 187, 2012).

Sebagaimana sejarah telah bercerita, kalaupun engkau memutuskan untuk mendaftarkan diri sebagai pegawai negeri sipil, maka mulailah dengan menata niat. Jangan lupa juga, jika engkau menjadi pegawai negeri, tetap laksanakan ajaran-ajaran para kiai pesantren dan jalin silaturahim dengan baik. Begitulah jika engkau merupakan bagian dari orang-orang yang mengetahui sejarah orang-orang terdahulu.

Wallahu A’lam.

 

Sumber Bacaan

Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan, Bandung: Mizan, 2012.

Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.

Sholeh Darat, Minhaj Al-Atqiya, Bombai: Muhammadi, Tt.