Sebagian besar dari kita mungkin masih mempunyai pandangan atau stigma negatif jika ada ulama yang dekat dengan penguasa. Stigma tersebut bisa jadi bermula dari anggapan bahwa setiap penguasa itu kotor dan sangat jauh dari doktrin-doktrin keagamaan. Hal tersebut diperparah dengan narasi bahwa sebagian ulama yang mendekat kepada penguasa tidak lain hanyalah boneka yang sedang mencari panggung dengan menjilat penguasa. Tentu pandangan tersebut sangatlah berlebihan. Jika kedua hal tersebut terus dibenturkan ya tentu tidak akan menemukan titik temu.
Padahal agama dan kekuasaan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya mempunyai pertalian yang begitu kuat. Meminjam istilah Imam Al-Ghazali dua hal tersebut adalah dua saudara kembar yang tidak bisa dipisahkan.
الدِّيْنُ وَالْمُلكُ توأمَانِ، فَالدِّيْنُ أَصْلٌ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ، فَمَا لَا أَصْلَ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَمَا لَا حَارَسَ لَهُ فَضَائِعٌ
“Agama dan kekuasaan negara adalah dua saudara kembar. Agama merupakan pondasi, sedangkan kekuasaan negara adalah pengawalnya. Sesuatu yang tidak memiliki pondasi, akan runtuh, sedangkan sesuatu yang tidak memiliki pengawal, akan tersia-siakan”.
Oleh sebab itu di antara para ulama salaf semenjak dahulu juga banyak yang dikenal dekat dengan penguasa. Salah satu ulama yang berinteraksi dengan penguasa adalah Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, salah seorang mufti Syafi’iyyah di Mekkah abad 19. Ia merupakan mahaguru dari banyak ulama nusantara, seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Abdul Hamid Kudus, K.H Kholil Bangkalan, K.H Sholeh Darat, K.H Sholeh Langitan dan sederet ulama besar lainnya. Secara garis keturunan, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan masih bersambung dengan Syekh Abdul Qodir al-Jailani dan Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan mempunyai kedudukan yang tinggi di kalangan ulama tanah Haram Mekkah. Ia sangat diperhitungkan. Banyak sekali gelar kehormatan yang tersemat dalam dirinya. Ia juga memiliki banyak karya kitab berbagai disiplin keilmuan yang sampai saat ini masih terus dikaji, bahkan di penghujung usianya beliau masih sangat produktif. Setiap hari tak kurang lima halaman kitab selalu ditulis beliau di sela-sela kegiatannya.
Selain sibuk mengajar di Masjidil Haram dan terus menulis kitab. Syekh Ahmad Zaini Dahlan juga begitu memperhatikan pendidikan di kalangan penguasa. Perhatian terhadap penguasa ini bermula ketika guru beberapa ulama Nusantara ini mendapatkan perintah dan titah oleh gurunya, yakni Sayyid Utsman bin Hasan ad-Dimyathi al-Azhari.
Sang guru memerintahkannya untuk memperhatikan dan masuk di lingkaran penguasa kala itu. Sayyid Utsman memerintahkan agar ia senantiasa mendampingi para penguasa dalam rangka menyebarkan ilmu di antara mereka, sekaligus memberikan rambu-rambu yang mesti diperhatikan oleh mereka agar tidak melewati batas-batas yang telah diatur oleh syariat. Secara detail pesan Sayyid Utsman pernah dicatat oleh Sayyid Abu Bakar Syatho dalam kitab Nafhat al-Rahman fi Ba’dzi Manqib Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan:
العِلْمُ فِى كُلِّ الناَّسِ حَسَنٌ, وَلَكِنَّهُ فِى الْأُمَرَاءِ وَالرُّؤَسَاءِ أَحْسَنُ. لِأَنَّهُمْ إِذَا صَلَحُوا صَلَحَتْ الرَّعِيَّةُ. وَصَلَاحُهُمْ إِنَّمَا يَكُوْنُ بِالْعِلْمِ وَالرِّوَايَةِ. وَبِهِ يَعْرِفُوْنَ رَتْبَةَ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ سَائِرِ الْعِبَادِ فَيُعِيْنُوْنَهُمْ عَلَى مَا أَرَادُوا مِنْ نَشْرِ العِلْمِ وَرَدْعِ الْفَسَادِ
“Ilmu bagi sebagian besar manusia akan menjadikan manusia menjadi baik. Sedangkan ilmu jika dimiliki oleh seorang penguasa akan jauh lebih baik. Karena jika para penguasa tersebut baik maka rakyatnya pun juga akan menjadi baik. Dan kebaikan para penguasa tidak lain haruslah berdasarkan ilmu dan riwayat. Dengan dasar ilmu pengetahuan mereka akan mengerti kedudukan dari seorang ahlul ilmi dan ulama di antara semua manusia. Dengan begitu para penguasa akan turut serta membantu misi-misi para ulama untuk menyebarkan ilmu dan memberangus kerusakan.”
Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan pun dengan tulus melaksanakan perintah gurunya. Dengan harapan dakwah tersebut bisa menjangkau kalangan yang lebih luas. Sayyid Ahmad pun tak bergeming dengan suara sumbang yang merendahkan keputusannya untuk tetap menjalin relasi ilmu dengan para penguasa. Ia tak memperdulikan semua itu.
Banyak sekali pihak yang memandang sebelah mata, tak terkecuali beberapa kawan sejawatnya. “Bagaimana bisa seorang ulama masuk dalam lingkaran penguasa, padahal sudah jelas dekat penguasa adalah hal yang dilarang. Ulama istana tak ubahnya adalah pencuri yang juga mesti dipotong tangannya”.
Menanggapi hal ini, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan santai saja. Beliau berpendapat bahwa justru para ulama mempunyai kewajiban moral untuk dekat dengan penguasa. Dekat dalam artian memberikan pengaruh dakwah kepada mereka bukan untuk dipengaruhi. Karena menurutnya, ulama memang bisa memberikan hukum halal, haram, boleh atau tidak dalam prespektif syariat, namun ada satu wilayah yang tidak bisa disentuh oleh para ulama, dan wilayah ini hanya bisa dijalankan oleh penguasa. Apa itu? Tidak lain adalah membuat peraturan perundangan undangan dan mengawasi penerapannya.
Pada titik ini, menurut Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, ulama tidak bisa berbuat sebagaimana penguasa. Jika pemerintah atau penguasa dalam setiap kebijakannya dipengaruhi dan dilatarbelakangi dengan ilmu para ulama, bisa jadi manfaat dan ilmu para ulama akan lebih bisa diterima oleh masyarakat. Begitu pula sebaliknya. Bayangkan jika ternyata ketika membuat kebijakan para penguasa tidak menjadikan para ulama sebagai dasar. Bisa jadi buah dan hasil kebijakannya akan jauh dari syariat. Dan hal ini tentu adalah tanggung jawab ulama.
Pendapat Imam Ghazali pun ikut dikutip. Menurut Imam al-Ghazali, jika tujuan masuk circle kekuasaan adalah untuk membuat kerusakan pada kaum muslimin maka hal ini jelas dilarang agama. Akan tetapi jika sebaliknya maka hal ini sangat dianjurkan:
إِذَا كَانَ يَسْتَعِيْنُ بِهِ عَلَى إِضْرَارِ الْمُسْلِمِيْنَ وَ إِيثَارِ الدُّنْيَا عَلَى الدِّيْنِ. وَأَمَّا إِذَا كَانَ لِإِصْلَاحِ الْعِبَادِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بِمَمْنُوْعٍ بَلْ هُوَ مُتَعَيَّنٌ عَلَى الْعُلَمَاءِ وَالزُّهَادِ.
“(Hukum dekat dengan penguasa adalah haram) Jika tujuan masuk dalam lingkaran penguasa adalah untuk mencelakai orang Islam dan mengejar kekuasaan dunia,. Adapun jika tujuannya adalah untuk memberikan kemanfaatan kepada manusia maka itu tidaklah dilarang, bahkan itu juga bisa jadi sebuah kewajiban bagi seorang ulama dan para zahid”
Sehingga sekalipun Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan dikenal dekat dengan penguasa, akan tetapi terdapat misi dan tujuan besar yang hendak dicapainya. Bukan sekedar dekat atau ‘memanfaatkan’ posisinya tersebut.
Demikian seharusnya niat dan tujuan kita dalam menjalin relasi dengan penguasa, yaitu agar masyarakat dan para ulama memiliki andil dalam jalannya roda pemerintahan. Di sisi lain, penguasa tidak seenaknya dalam membuat norma dan hukum.
Jika relasi ulama dan umara diniati dan terlaksana dengan baik, bukan tidak mungkin kelak akan terwujud tatanan masyarakat yang tenang, sejahtera dan beretika. (AN)