Narasi Ulama dalam Sejarah Islam

Narasi Ulama dalam Sejarah Islam

Bagaimaan narasi ulama dalam sejarah islam? Yuk belajar lagi

Narasi Ulama dalam Sejarah Islam

Siapa sih ulama itu? Apa kriteria orang bisa disebut sebagai ulama? Apakah seorang yang rajin ceramah di tipi-tipi misalnya bisa disebut sebagai ulama? Apakah ulama hanya mereka yang “pinter” dalam hal studi-studi keislaman? Kapan ulama ini muncul menjadi “primadona” dalam masyarakat Islam? Apakah semua negara yang mayoritas berpenduduk Muslim mempunyai lembaga keulamaan seperti MUI? Mari kita kaji bersama.

Kata “ulama” adalah jamak / plural dari kata “alim” (dari kata “‘ilm” yang berarti “pengetahuan” atau knowledge) yang berarti “orang-orang berilmu pengetahuan” atau “orang-orang terdidik”, atau kira-kira, seperti sarjana. Pada zaman dahulu kala, kata atau sebutan “ulama” atau “alim” ini tidak populer. Sangking tidak populernya, Al-Qur’an sendiri hanya menyebut dua kali saja kata “ulama” ini (misalnya dalam Surat Fathir Ayat 28). Hadis Nabi Muhammad yang menyebut cukup banyak kata “ulama”.

Pada awal sejarah perkembangan Islam, banyak istilah yang dipakai untuk “komunitas sarjana” ini, dan pada umumnya lebih spesifik, misalnya “muhaditsun” untuk para ahli hadis, “mutakallimun” untuk para ahli ilmu kalam atau “teologi Islam”, “mufassirun” untuk ahli tafsir, atau “fuqaha” untuk ahli hukum Islam. Bahkan kata “fuqaha” inipun awalnya bermakna” para ahli agama atau yang paham dengan seluk-beluk keislaman, tidak melulu tentang hukum Islam.

Kata “ulama” dulu tidak mengacu pada spesifik makna, yaitu “orang-orang yang ahli ilmu agama Islam” seperti yang berkembang dewasa ini, melainkan sebuah “istilah generik” untuk para ilmuwan diluar ilmu-ilmu keislaman seperti kimia, fisika, ekonomi, matematika, dlsb. Jadi ulama itu merujuk pada insinyur, ekonom, kimiawan, fisikawan, matematikawan, atau mungkin antropolog he he.

Al-Qur’an sendiri secara eksplisit menyebut kata “ulama” sebagai “komunitas ilmuwan” ini, khususnya para ilmuwan hard sciences tadi untuk menunjukkan penghargaan yang tinggi Al-Qur’an terhadap perkembangan ilmu-ilmu non-keagamaan. Perlu juga dicatat kalau dulu tidak ada sekat-sekat keilmuan: sekuler atau religius.

Karena itu para sarjana Muslim hebat dulu menguasai berbagai ilmu pengetahuan atau biasa disebut sebagai “sarjana polymath” yang tidak hanya ahli ilmu-ilmu keislaman saja (seperti fiqih, hadis, ushul fiqih, dlsb) tetapi juga ilmu-ilmu yang lain termasuk kedokteran, ekonomi, astronomi, politik, filsafat, sejarah, biologi, dan bahkan antropologi. Abu Raihan Al-Biruni, misalnya, ia bukan hanya ahli matematika dan astronomi tapi juga seorang antropolog yang bukunya, Kitab al-Hind, bercerita tentang masyarakat Hindu dan Yogi di India. Begitu pula para ulama lain pada waktu itu bisa dipastikan seorang sarjana polymath. Mereka berprinsip kalau semua ilmu pengetahuan itu bersumber dari Tuhan karena itu tidak ada istilah sekuler-religius.

Ada pula yang berargumen, bahwa kata “ulama” itu mengacu pada para sarjana ilmu-ilmu sekuler maupun ilmu-ilmu keagamaan (keislaman). Tentang asal-muasal penggunaan “gelar” ulama ini bisa dilihat di The New Encyclopedia of Islam atau The Princeton Encyclopedia of Islamic Political Thought.

Nah, sejak kapan kata “ulama” itu kemudian menjadi bermakna “orang-orang yang ahli agama Islam” saja? Yang mempopulerkan sebutan ulama untuk para “sarjana agama” (Islam) adalah Turki Usmani sejak abad ke-14 M. Para rezim Turki Usmani pula yang “melembagakan ulama” ini untuk kepentingan-kepentingan politik-pemerintahan (bersambung).

Jabal Dhahran, Arabia