Ulama adalah orang kaya ilmu. Ilmunya itu yang mengantarkannya hanya takut kepada Allah. So, orang berilmu tapi tak takut kepada Allah, ya bukan ulama. Sebaliknya, orang yang takut kepada Allah tapi tak berilmu, ya bukan ulama.
Para muballigh yang sering kita elu-elukan itu belum tentu ulama. Apalagi muballigh yang hanya tahu satu dua hadits. Seorang kiai belum tentu ulama jika dia tak memiliki kedalaman ilmu pengetahuan. Sebab, jika sebutan kiai bisa diberikan pada siapa saja, maka tidak demikian dengan sebutan ulama.
Tak mudah menemukan ulama dengan krtiteria itu. Mencari ulama di akhir zaman seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Nabi bersabda, “akan datang satu era pada umatku; terjadi surplus para penceramah tapi defisit orang yang dalam ilmu agama” (saya’ti zamanun ‘ala ummati; katsirun khuthaba’uhum wa qalilun fuqha’uhum).
Kalau begitu, jangan-jangan yang kita sebut sebagai ulama justru bukan ulama. Guru saya, almarhum KHR As’ad Syamsul Arifin, pernah menyebut satu orang yang memenuhi kriteria ulama, yaitu Syaikh Yasin ibn Isa al Fadani (1915-1990) keturunan Minangkabau Sumatera Barat. Setelah saya pelajari biografinya, benar. Syaikh Yasin telah menulis 112 kitab. Satu kitab syarah Sunan Abi Dawud yang ditulisnya saja terdiri dari 23 jilid. Baru satu kitab. Belum kitab-kitab yang lain. Menakjubkan!
Reputasi keulamaan Syaikh Yasin diakui dunia Islam. Kitab-kitabnya dikaji dimana-mana. Ia disebut musnid al-dunya dan Sayuthiyyu zamanihi (Imam Sayuthinya abad ini). Namun, ketinggian ilmunya agak kontras dengan kesehariannya. Ia sering hanya pakai kaos oblong dan sarung. Keluar masuk pasar untuk berbelanja. Pulang dari pasar, Syaikh Yasin tak segan memikul barang2 belanjaannya sendiri. Hidupnya sangat sederhana.
Kita merindukan ulama seperti Syaikh Muhammad Yasin ibn Isa al Fadani ini.
*) Abdul Moqsith Ghazali, pengurus Lembaga Bahtsul Masail NU.