Sejak viralnya konten selebgram menikah muda karena suratan takdir dengan segala keistimewaan bibit bebet bobot yang “sekufu”, lagi-lagi buaian dari kelompok tertentu untuk menyegerakan pernikahan dini kembali mendapatkan panggungnya yang sempat tenggelam lantaran undang-undang tentang perkawinan telah diperbarui.
Sebagai warga negara yang taat pada hukum yang berlaku, juga sebagai muslimah yang taat dalam beragama, seharusnya ketika berencana nikah muda, perlulah untuk mempertimbangkan hal tersebut secara matang tidak hanya sekedar menjauhi zina karena faktanya tidak sedikit orang yang sudah menikah kemudian main serong dan jajan di luar. Sangat penting juga untuk mempertimbangkan alasan-alasan hukum negara dan hukum yang berlaku dalam agama.
Ketahuilah ukthi, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah direvisi dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Perubahan utama tentu ada pada faktor usia. Sebelumnya pria boleh menikah minimal umur 19 tahun, sedangkan wanita minimal usia 16 tahun. Sementara, dalam undang-undang yang baru, baik pria maupun wanita diperbolehkan menikah apabila berusia minimal 19 tahun. Jika keduanya atau salah seorang mempelai menikah di bawah batas usia minimal, maka dapat disebut melakukan pernikahan dini.
Tentu ukhti mengerti mengapa negara mengatur tentang perkawinan dan pernikahan sampai sedemikian rupa. Sekali lagi, jangan hanya sekedar menghindari zina ataupun pacaran, tetapi ukhti perlu mengetahui bahwa pernikahan bukan hanya sekedar pemuas kebutuhan biologis dalam perkara seks semata. Bukan juga berharap dengan nikah muda akan membuatmu kaya seketika, apalagi sekadar pelampiasan masa lalu.
Menikah memang sunnah nabi dan dapat menyempurnakan separuh iman jika dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Tetapi saat masih di usia muda dan produktif, ada hal lain yang perlu diperhatikan dan dioptimalkan. Apa saja itu?
Pertama, organ reproduksi yang belum sepenuhnya matang dan cenderung matang di rentang usia 20-35 tahun. Jika ukhti menikah diusia belia, maka dikhawatirkan ketika hamil dapat mengalami risiko seperti pendarahan, keguguran janin, kelahiran premature, hingga meningkatnya angka kematian pada ibu maupun bayi.
Kedua, masa muda seharusnya menjadi ladang masa produktif yang tidak boleh disia-siakan. Jika saat masa menuntut ilmu maupun bekerja ukhti merasa lelah, solusinya ambilah waktu sejenak untuk beristirahat, bukan malah menikah. Karena dalam pernikahan, perempuan akan mengalami kelelahan bertubi-tubi yang harus diterima dengan segenap jiwa dan raga. Baik kelelahan ketika hamil 9 bulan 10 hari, menyusui, membersarkan anak maupun kelelahan dalam budaya patriarki. Kelelahan seperti ini cenderung ukhti dapatkan bukan hanya sekedar lelah seperti ketika sedang menuntut ilmu. Bahkan Allah berfirman tentang kelelahan ini dengan istilah “wahnan ‘ala wahnin” dalam al-Qur’an Surah Luqman ayat 14:
وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ – ١٤
Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.
Ketiga, mungkin ukhti memang siap dan berencana menikah muda, tetapi ketahuilah ukhti, menurut Roslina Verauli seorang psikolog, ada ciri-ciri yang perlu diketahui apabila seseorang siap untuk menikah. Ciri-ciri tersebut adalah independen secara emosional yang cenderung didapat ketika berusia 20 tahun ke atas, independen secara finansial, serta siap untuk berkomitmen dalam sebuah relasi suami istri untuk menjalankan bahtera rumah tangga secara eksklusif.
Ciri-ciri di atas dalam hukum nikah tentu masuk dalam kategori lebih utama jika menikah karena cenderung berkemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya secara lahir batin. Bahkan ada pernihakan yang dihukumi makruh hingga haram apabila motif dalam pernikahan tersebut hanya untuk menyakiti salah seorang dari pernikahan itu sendiri baik suami maupun istri. Jika sunnah, maka menikah yang dimaksud dalam hadist riwayat Bukhari nomor 4779 adalah yang berbunyi: “Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu, maka menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menentramkan mata dan kelamin. Bagi yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa bisa menjadi tameng baginya.”
Sunnah ini bahkan dapat ditinggalkan apabila ada seseorang yang berkeinginan menikah namun belum mampu dari sisi emosional maupun finansial. Pada kondisi ini akan lebih baik jika orang tersebut menyibukan diri untuk memantaskan diri, berpuasa, dan berharap agar Allah segera mencukupinya senada dengan firman Allah SWT dalam al-Qur’an Surah an-Nur ayat 33 yang artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya”.
Berpuasa dapat menjadi salah satu cara untuk menjaga kesucian diri karena dapat menekan hawa nafsu. Sedang menuntut imu di usia yang produktif dapat menjadikan seseorang mulia derajatnya dan meningkatkan kualitas dirinya baik di hadapan Allah maupun hamba-Nya. Menikah untuk memuaskan hawa nafsu justru bukanlah menjadi solusi yang solutif.
Oleh karena itu, sebelum siap untuk nikah muda, persiapkanlah kualitas diri, finansial, dan emosional dengan matang. Karena menikah membutuhkan persiapan-persiapan tersebut serta komitmen untuk mencintai satu orang yang sama di setiap harinya. Anonim berkata bilamana bentuk komitmen cinta sejati dari sebuah pernikahan adalah fall in love is often easy, but falling in love with the same person over and over again is extraordinary.