Kopi pernah dilarang oleh banyak Negara! Lantas kenapa? Apakah kemudian kopi benar berbahaya? Atau malah haram? Tulisan ini akan mengulas tentang bagaimana menjernihkan pikiran bagaimana menyikapi fakta pernah dilarangnya kopi, serta perlukah kita berhenti atau mengharamkan kopi? Ada beberapa hal yang perlu dipilah-pilah untuk menjernihkan pola pikir dalam masalah ini.
Pertama, fakta dilarangnya kopi di beberapa Negara sebenarnya tidak terkait bagaimana pandangan Islam tentang kopi. Tapi terkait problem politik, dimana manfaat kopi yang “menjernihkan pikiran”, telah banyak menyadarkan banyak peminumnya tentang adanya ketidak tepatan tatanan politik Negara yang didiami oleh peminumnya. Inilah yang kemudian memunculkan pemikiran yang ditakuti oleh sebuah rezim pemerintahan, yaitu pemikiran yang sifatnya mengkritik kekuasaan suatu Negara.
Inilah yang terjadi di antaranya di Turki, Makkah, dan beberapa Negara eropa lainnya. Pemerintah Turki Utsmani sendiri pernah melakukan pelarangan atas beberapa alasan. Beberapa di antaranya keadaan masyarakat Turki waktu itu yang menjadikan kedai kopi menjadi tempat yang dianggap sebagian orang tempat bermalas-malasan, sehingga enggan ke masjid.
Persoalan munculnya ide-ide kritis di antara para peminum kopi juga menjadi alasan lain. Namun, karena sebenarnya sumber dari larangan pemerintah adalah kebiasaan di masyarakat bukan pada kopinya, larangan kopi pun berlahan-lahan menghilang.
Maka pada dasarnya larangan pemerintah di zaman lalu sebenarnya adalah persoalan kepentingan pemerintah dalam menjaga stabilitas Negara. Bukan karena Islam mengharamkan kopi. Sehingga kalau meminum kopi untuk tujuan menyegarkan pikiran seusai beribadah atau hendak beribadah, tidak akan ada hubungannya dengan fakta pelarangan kopi di masa lalu.
Kedua, berdasar keterangan Imam Romli dalam Fatawa ar-Romli dan Syaikh Wahbah Zuhaili dalam Fiqhul Islami, dalam pandangan madzhab syafi’I, hukum kopi bertumpu pada tujuan diminumnya kopi tersebut. Sehingga bisa menjadi haram, bisa menjadi halal.
Ini adalah implementasi kaidah fiqh lil wasail hukmul maqasid (dalam perantara ada hukum yang terkandung dalam hal yang menjadi tujuan). Maka kopi bila digunakan untuk tujuan kebaikan menjadi halal. Bahkan mungkin bisa wajib bila menjadi jalan sesuatu yang wajib, semisal menjadi sarana teman diskusi tentang bagaimana memperbaiki moral umat Islam.
Dan jangan dibayangkan bahwa kebaikan itu seperti meminum kopi di teras masjid atau suasana tempat ngopi dipenuhi oleh orang yang berdzikir kepada Allah. Kebaikan amatlah luas. Tidak terikat ruang dan waktu. Kedai kopi yang sama sekali tak berwajah Islami, takkan berpengaruh pada hukum meminum kopi yang dilakukan dua orang, yang memanfaatkan aktivitas ngopi, demi mencari jalan keluar permasalahan rumah tangga, semisal.
Atau mungkin demi mengevaluasi diri, atau bahasa islaminya ber-muhasabah. Memikirkan apakah tujuan hidup yang berupa berfoya-foya tatkala masih ada kesempatan, yang diyakininya itu, sudahkah tepat atau belum.
Ketiga, anggapan adanya larangan meminum kopi karena ada fakta bahwa kopi pernah dipakai sekelompok sufi saat melakukan ibadah, adalah anggapan yang tidak tepat. Sebab hukum kopi tak terkait dengan pernah dipakai atau tidak dipakai oleh siapapun. Dan juga kini meminum kopi pun juga tidak menjadi ciri khas kelompok tertentu.
Bahkan bisa jadi individu yang meyakini larangan di atas, sebenarnya dalam meyakini hukum tidak berangkat pada kopi itu sendiri. Tapi rasa benci pada para sufi, orang-orang yang melakukan latihan-latihan tertentu demi menjalani tazkiyatun nafsi, atau olah batin demi membersihkan sifat-sifat tercela dalam hati. Tasawuf dengan tazkiyatun nafsi adalah sama.
Wallahu a’lam.